Menuju konten utama

Sudah Sepantasnya Aksi Debt Collector Diproses Hukum Sejak Dulu

Dalam kasus Clara, polisi seharusnya tidak mendamaikan. Eksekusi barang hanya bisa dilakukan sesuai putusan sengketa perdata.

Sudah Sepantasnya Aksi Debt Collector Diproses Hukum Sejak Dulu
Ilustrasi penagihan utang. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “Debt collector-debt collector macam itu, jangan biarkan, lawan, tangkap, jangan pakai lama.”

Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadhil Imran marah. Hal tersebut tidak lepas dari beredarnya video viral debt collector atau penagih utang yang mengambil mobil milik selebgram Clara Shinta.

Aksi debt collector ini semakin mendapat sorotan karena melawan polisi yang kala itu berupaya menengahi proses pengambilan mobil Clara. Dalam video yang viral, debt collector tersebut memaki Bhabinkamtibmas yang berusaha memediasi kedua pihak.

“Saya lihat preman ini sudah mulai agak merajalela di Jakarta. Sampai tadi malam saya tidur jam 03.00, darah saya mendidih itu, saya lihat anggota dimaki-maki,” ucap dia.

Fadhil pun meminta agar jajarannya segera menindak jika ada laporan kejadian atau upaya kekerasan penagih hutang. Ia meminta polisi untuk menelusuri pihak pemberi sewa penagihan dari pelaku debt collector. “Temasuk yang order, siapa perusahaan leasing yang order [jasa penagih]. Tidak boleh lagi debt collector menggunakan kekerasan, meneror orang, tidak boleh.”

Aksi penagihan debt collector secara kasar tidak hanya dialami Clara. Sejumlah pihak sudah lama mengeluhkan adanya penagihan secara kasar di masa lalu dengan menggunakan bahasa kasar, bahkan dibarengi intimidasi.

Ketua Umum Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengapresiasi aksi Kapolda Metro Irjen Fadhil Imran yang mau bersikap tegas terhadap aksi arogan debt collector. Julius menegaskan, Kapolda seharusnya sejak dulu berani bergerak terkait aksi penagih utang yang meresahkan itu.

“Tentu apresiasi juga ya dengan sikap Kapolda yang langsung fast respons dengan kondisi demikian di mana korbannya ini adalah masyarakat, tapi sebetulnya tanpa menunggu viral ya melihat fenomena ini sudah lama terjadi,” kata Julius kepada reporter Tirto.

Julius menceritakan bahwa proses penagihan dengan sikap premanisme muncul sejak lama. Kala itu, penagihan model premanisme hanya dilakukan pada perusahaan kontraktor. Kini, penagihan model tersebut dilakukan ke skema penagihan utang-piutang kepada personal.

“Jadi ini fenomena lama yang kemudian berevolusi bertransformasi dan korbannya juga semakin luas, tipikal korbannya, karakter korbannya,” kata Julius.

Julius menilai, pemerintah harus bergerak. Ia mengingatkan bahwa kasus penagihan adalah masalah keperdataan. Ia mengacu pada konvenan sipil dan politik serta Pasal 81 KUHP bahwa kasus keperdataan tidak bisa dipidana.

Julius beranggapan bahwa pemerintah harus membuat kebijakan yang bersifat sistemik untuk mencegah kasus seperti Clara terulang. Ia menilai lembaga perbankan seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk bekerja sama dengan Polri agar ada penindakan menyeluruh, yang tidak fokus pada sanksi administratif.

“Jika terjadi pelanggaran terhadap kebijakan larangan penggunaan penagihan dengan skema preman tadi, itu hanya berdampak pada pencabutan izin semua yang bersifat administrasi dapat dilengkapi oleh Polri dengan tindakan-tindakan penegakan hukum agar lebih konkret,” kata Julius.

Julius menekankan bahwa keperdataan yakni ada negosiasi, membuat kesepakatan penundaan pembayaran, mekanisme gugatan di pengadilan, gugatan wanprestasi atau mekanisme PKPU atau kepailitan dan segala macam keseluruhannya harus dalam skema perdata.

“Jadi penagihan yang sifatnya keperdataan ini, ya itu harus diselesaikan juga segala bentuk persoalannya, permasalahannya, penundaannya dengan skema keperdataan," kata Julius.

Oleh karena itu, khusus dalam ranah tindak lanjut perintah Kapolda Metro Jaya, ia berharap tindakan konkret pada kelompok debt collector bisa serius dilakukan. Hal itu penting untuk membuat wajah ibu kota menjadi kota humanis dan dunia bisnis jauh dari premanisme.

Di sisi lain, di tingkat nasional, pemerintah harus membuat kebijakan nasional di bidang penagihan utang agar tidak terulang.

“Ini harusnya jadi satu pegangan kebijakan hukum juga di level aparat dalam menggunakan kacamata atau perspektif penanganan masalah hukum kaitannya dengan penagihan utang,” kata Julius.

Debt Collector Bisa Ditindak Secara Hukum

Ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho menegaskan, aksi debt collector membentak polisi sudah termasuk pelanggaran pidana. Ia menilai, kejadian Clara dan debt collector termasuk delik propia atau delik di mana pelaku melanggar petugas yang bekerja. Debt collector itu bisa ditindak secara hukum.

“Sebagai bentuk kewibawaan negara, negara tidak boleh kalah dengan oknum-oknum preman kayak gitu, pelaku-pelaku premanisme itu sehingga harus dibabat habis,” kata Hibnu kepada reporter Tirto, Rabu (22/2/2023).

“Pertanyaannya dengan polisi saja mau bentak, apalagi sama masyarakat? Itu sangat meresahkan,” kata Hibnu menegaskan.

Hibnu mengingatkan, kehadiran debt collector tidak menjadi masalah, melainkan aksi yang dilakukan debt collector seperti yang terekam dalam video yang viral itu yang meresahkan. Ia mengingatkan debt collector harus memegang sertifikasi penagihan.

Hibnu menilai, debt collector bisa dipastikan kena pidana karena melawan petugas.

Ia juga menilai masalah debt collector ini harus diselesaikan, tidak hanya di Jakarta. Ia mengatakan banyak kasus penagihan kasar yang hampir serupa. Masyarakat bisa melaporkan debt collector dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan hingga perampasan. Polisi juga harus berani responsif setelah menerima laporan kejadian penagihan tidak menyenangkan.

“Negara, polisi nggak boleh kalah [dengan tindakan premanisme] seperti itu,” kata Hibnu.

Sementara itu, ahli pidana dari Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Affandi menilai, kasus debt collector tidak lepas dari kegagalan pemerintah dalam upaya eksekusi hukum.

“Ini kegagalan sistemik soal eksekusi sebenarnya. Jadi kalau misalnya secara hukum yang bisa menarik itu, kan, harus, kalau ada sengketa, kan, harus ada putusan pengadilan. Jadi nggak bisa ada kuasa kemudian ditarik, dipaksa itu bisa kena pasal pidana,” kata Fachrizal.

Ia mencontohkan, penagihan dengan kekerasan bisa melanggar Pasal 351 KUHP yang berkaitan dengan penganiayaan maupun pasal lain. Akan tetapi, polisi kerap diam dalam menyikapi kehadiran kelompok debt collector yang menagih secara kasar.

“Selama ini, kan, itu jadi praktik dalam tanda kutip yang dilazimkan, polisi selama ini juga diam saja tuh. Kalau memang konsisten, ya harus (ditindak) dan itu memang sudah tidak sesuai dengan undang-undang gitu loh,” kata Fachrizal.

“Cuma memang ini harus apa namanya, harus ada penataan reformasi eksekusi. Itu, kan, sengketa perdata sebenarnya. Orang nggak bisa bayar, kan, perdata, tapi kita punya masalah di sistem hukum perdata dieksekusi. Kalau itu nggak dibenerin, ya akan begini terus. Itu sistemik,” kata Fachrizal.

Spesifik terkait kasus Clara, kata dia, polisi seharusnya tidak mendamaikan. Eksekusi barang hanya bisa dilakukan sesuai putusan sengketa perdata. Ia mengingatkan bahwa perampasan hanya bisa dilakukan negara sesuai putusan pengadilan.

Proses sebelum putusan pun bertahap, yakni ada mediasi, persidangan jika ada penolakan dan menunggu putusan pengadilan. Aksi penagihan dengan paksaan tidak diatur dalam perundang-undangan seperti tindakan debt collector yang menarik kendaraan bermotor dengan menganiaya pengendara.

“Dasar hukumnya tidak [ada]. Debt collector dengan cara paksaan yang dilakukan oleh para preman itu melanggar hukum,” kata Fachrizal.

Fachrizal menilai, ketidakpastian hukum memicu leasing untuk mencari jalan pintas dengan menyewa preman untuk eksekusi. Padahal, eksekusi dilakukan panitera atau jaksa.

Di sisi lain, kejadian polisi dibentak debt collector, kata dia, menandakan polisi mengamini aksi penagihan kasar. “Artinya, kan, kalau sampai debt collector berani begitu, kan, mereka merasa selama ini apa yang mereka lakukan didiamkan oleh pihak aparat keamanan,” kata Fachrizal.

Oleh karena itu, Fachrizal mendorong agar ada reformasi eksekusi perdata supaya kejadian seperti kasus Clara dan debt collector membentak polisi tidak terulang.

“Eksekusi perdatanya yang harusnya lebih bisa cepat gitu, kan. Dan memberikan kepastian. Jadi kayak tilang gitu ya. Kalau misalkan sudah eksekusi, tapi yang eksekusi jangan debt collector, harus negara, panitera kalau perdata kan,” kata Fachrizal.

Baca juga artikel terkait DEBT COLLECTOR atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz