tirto.id - Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) per 2017 mensyaratkan sistem pengujian Bahasa Inggris internasional (IELTS) atau tes Bahasa Inggris sebagai bahasa asing (TOEFL IBT) untuk mahasiswa yang ingin kuliah di luar negeri. Aturannya makin ketat.
Pengetatan aturan oleh LPDP bukan tanpa sebab. Pada 2016, ketika saya mengajukan perpindahan universitas tujuan dari dalam negeri ke luar negeri, permohonan saya tidak serta merta dikabulkan meski saya telah memenuhi syarat IELTS LPDP bahkan telah mendapat LoA Unconditional—surat pernyataan telah diterima oleh sebuah perguruan tinggi—dari Newcastle University, Inggris. Permohonan saya dikabulkan setahun kemudian pada saat saya sudah menerima beasiswa lain.
Saya paham jika kebijakan LPDP saat itu mulai ketat. Namun, memenuhi syarat kecakapan Bahasa Inggris bukanlah jaminan akan mampu menyelesaikan studi di luar negeri tepat waktu. Ada saja mahasiswa yang secara administrasi memenuhi syarat kecakapan berbahasa Inggris, tapi tetap gagal studi di negara tujuan.
IELTS dan TOEFL IBT adalah dua jenis tes kemampuan Bahasa Inggris paling populer. Sampai sekarang, IELTS dan IBT masih dianggap sebagai tes bahasa terbaik dari yang lain. Kedua tes ini, dengan minimum skor tertentu, disyaratkan oleh penyedia beasiswa dan kampus-kampus di luar negeri sebagai salah satu syarat pendaftaran. Tetapi, seberapa akurat kedua tes ini mengukur kemampuan Bahasa Inggris seseorang?
Kedua tes ini sama-sama mengukur semua elemen dasar kecakapan berbahasa: listening (mendengarkan), speaking (berbicara), reading (membaca), dan writing (menulis). IELTS sering dikiblatkan pada kampus-kampus di Inggris-Australia, sementara TOEFL IBT disandarkan pada kampus-kampus di Amerika Serikat; meskipun kini semua kampus menerima kedua jenis tes Bahasa Inggris tersebut.
Terlepas dari apa pun perbedaan dan persamaannya, dalam beberapa hal, akurasi kedua tes ini dianggap belum bisa mengukur kemampuan Bahasa Inggris. Dengan kata lain, tidak bisa sepenuhnya jadi patokan tunggal kesuksesan studi di negara tujuan.
Minim Kesadaran Budaya
Bahasa tidak dapat dilepaskan dari “kesadaran budaya” (cultural awareness) dari realitas kebudayaan di mana bahasa tersebut digunakan.
Topik-topik dalam tes IELTS dan TOEFL berorientasi pada kebudayaan “barat”, sementara siswa-siswa yang mempelajarinya berasal dari kebudayaan berbeda, yang tentu berbeda dari Amerika Serikat, Inggris, atau Eropa Barat pada umumnya.
Seringkali siswa tidak akrab dengan topik yang diujuikan dalam tes TOEFl/IELTS, sehingga mereka tak hanya kekurangan bahan atau ide, tetapi juga kehilangan kepercayaan diri. Tak heran jika siswa seringkali gagal pada tes writing dan speaking.
Dalam tes writing dan speaking, misalnya, topiknya adalah museum dan binatang peliharaan. Di barat, masyarakat terbiasa mengunjungi museum sejak kecil dan memperlakukan binatang peliharaan layaknya keluarga. Di Indonesia, derajat binatang masih dianggap di bawah manusia.
Budaya berbicara dan sistem penulisan juga berpengaruh. Budaya menulis kita adalah umum ke khusus, tidak langsung ke pokok yang ingin disampaikan. Sebaliknya, kultur menulis dalam budaya barat (khususnya Anglo-Saxon) adalah dari khusus ke umum, langsung ke pokok, dan lugas. Yang manakah yang benar? Bukan soal benar-salah, ini soal kebiasaan saja.
Pertanyaannya, apakah IELTS/TOEFL perlu menuntut kemampuan berbahasa (language ability) atau kemampuan untuk mengikuti tes bahasa (taking test ability) saja?
Ketika belajar bahasa Inggris (atau bahasa asing lain), kita memang tahu dan menyadari sepenuhnya aturan-aturan bahasa di dalamnya. Dalam kondisi ini, pengetahuan kita adalah deklaratif. Kita memproduksi bahasa tersebut dengan memakai aturan-aturan yang telah kita pelajari, alih-alih mengucapkannya secara otomatis.
Pengetahuan deklaratif ini bersifat eksplisit dan biasa diistilahkan sebagai k (knowledge) “that”. Dengan k “that” ini, kita dapat memenuhi standar nilai IELTS dan TOEFL. Namun, lepas dari konteks deklaratif, pengetahuan tersebut diproses untuk diotomatisasi sehingga kita tidak lagi mengandalkan aturan-aturannya yang diingat.
Saat sudah otomatis, pengetahuan bahasa kita menjadi prosedural (k “how”). Dengan K “how”, kita tidak sekadar memenuhi syarat skor IELTS/TOEFL, tetapi juga mendapat bekal untuk tinggal di negara tujuan.
Sudah semestinya pengajaran Bahasa Inggris sampai pada k “how” sehingga siswa tak hanya belajar bahasa untuk mendapatkan jawaban benar, tetapi juga memahami konten dan konteks bahasanya. Umumnya siswa belajar IELTS/TOEFL hanya belajar rumus atau strategi untuk mengisi jawaban dengan benar seperti cara membaca cepat (scanning/skimming), sehingga tak punya pemahaman konten dan konteks budaya bahasa yang dipelajarinya.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.