tirto.id - Tepat pada pukul 3 sore pada 3 Juli lalu pikiran Shinta—alumnus SMA Negeri 10 Bogor—hanya satu: apakah dirinya lolos atau tidak lolos pada seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN).
Beberapa menit setelah Shinta berhasil mengakses laman pengumuman tersebut, air matanya mengalir deras. Ia tidak lolos ujian masuk SBMPTN. "Saya nangis [karena] enggak keterima, sakit hati," kata Shinta.
Shinta amat kecewa karena dirinya merasa telah berjuang sangat keras agar bisa kuliah di Institut Pertanian Bogor atau Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakata. "Sia-sia belajar siang-malam tapi ujung-ujungnya enggak keterima," keluhnya.
Tidak berhenti sampai SBMPTN, Shinta sempat mengikuti ujian seleksi mandiri UNS. Namun, lagi-lagi perjuangannya tidak membuahkan hasil. "Daftar mandirinya UNS juga enggak keterima lagi, sedih banget," ujarnya.
Saat ini, Shinta bertekad untuk ikut seleksi masuk program Diploma 3 IPB. Jika nanti dalam seleksi ujian masuk D3 IPB ini tidak lolos juga, Shinta akan mengambil jeda untuk mencoba tes seleksi masuk PTN lagi tahun depan. "Mau nyoba lagi tahun depan," tukasnya.
Melihat banyaknya siswa SMA yang tidak lolos pada ujian seleksi masuk PTN, besar kemungkinan ada Shinta-Shinta lainnya yang memiliki rencana sama: coba lagi tahun depan.
Persaingan Ketat Masuk PTN
Shinta adalah satu dari banyak lulusan sekolah menengah atas yang tak lulus tes masuk PTN. Wajar, kompetisi untuk masuk PTN memang tak mudah dimenangkan.
Ada tiga jalur masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Pertama, lewat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) atau seleksi penerimaan mahasiswa baru dengan berdasarkan prestasi dan portofolio akademik siswa yang bersumber dari Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS).
Kedua, Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) atau seleksi penerimaan dengan berdasarkan hasil ujian tertulis dengan metode Ujian Tulis Berbasis Cetak (UTBC) atau Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK), atau kombinasi hasil ujian tulis dan ujian keterampilan calon mahasiswa.
Ketiga, jalur Seleksi Mandiri, atau seleksi yang diatur dan ditetapkan oleh masing-masing PTN, dan dapat memanfaatkan nilai hasil SBMPTN. Namun, tidak semua PTN membuka jalur yang ketiga ini.
Untuk daya tampung, pemerintah menetapkan kuota paling sedikit 30 persen untuk jalur masuk lewat SNMPTN dan SBMPTN dari alokasi PTN yang ada, dan Seleksi Mandiri paling banyak 30 persen.
Jika melihat perbandingan antara jumlah siswa yang mendaftar seleksi masuk PTN lewat jalur SNMPTN dan SBMPTN dengan angka jumlah penerimaannya, persaingannya cukup ketat. Saat penerimaan SNMPTN misalnya, dari total jumlah pendaftar sebanyak 586.154 siswa, sedangkan jumlah peserta yang dinyatakan lulus seleksi pada 85 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) se-Indonesia hanya 110.946 siswa.
Dari jumlah tersebut, tingkat keketatan untuk dapat masuk PTN mencapai 1:5, artinya hanya ada satu pendaftar yang akan lolos dari lima pendaftar. Sedangkan jika masuk PTN lewat SBMPTN, menghitung dari jumlah pendaftar sebanyak 860.001 siswa dan yang lolos hanya 165.831 siswa, peluangnya hampir sama dengan masuk lewat jalur SNMPTN yakni 1:5.
Namun sayangnya, hitung-hitungan tersebut berlaku jika dari total jumlah pendaftar, baik lewat jalur SNMPTN, maupun SBMPTN tersebar secara merata ke 85 PTN yang ada. Faktanya terdapat variabel lain yang membuat persaingan untuk masuk PTN semakin ketat, di antaranya adalah kecenderungan pendaftar untuk memilih PTN favorit dan jurusan favorit.
Sementara itu, Ketua Panitia Pusat SNPMB PTN 2018 Ravik Karsidi mengatakan, program studi yang paling banyak diminati pada tahun ini hampir sama dengan tahun sebelumnya.
“Untuk Saintek yang paling banyak diminati Ilmu Kedokteran, Farmasi, Teknik Informatika. Sedangkan untuk Soshum yang paling banyak diminati yaitu Manajemen, Akuntansi, dan Ilmu Komunikasi," kata Ravik lewat keterangan tertulis.
Tak lulus perguruan tinggi tentu bukan hal yang mudah dihadapi. Saran dari jurusan statistik di Universitas Warwick mengungkapkan bahwa jika seseorang otak manusia terlalu tertekan akan mengakibatkan kecemasan bahkan sampai depresi. Selanjutnya, halaman saran ini tak terkait dengan ujian masuk perguruan tinggi, tapi layak juga didengar bagi mereka yang gagal tes.
"Bermurah-hatilah kepada dirimu sendiri dan terimalah bahwa kegagalan adalah sesuatu yang jamak dalam proses perkembangan," demikian salah satu saran di dalamnya.
Mengisi Tahun Jeda
Karena banyaknya populasi orang yang mengambil jeda selama satu tahun baik dari para pelajar yang ingin mengambil jeda selama satu tahun untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya, maupun mereka yang ingin terjun ke dunia profesional, beberapa negara di dunia menganggap hal ini menjadi fenomena yang harus diakomodir dengan baik. Lantas apa sebenarnya pengertian dari gap year itu sendiri?
Merujuk Asosiasi Gap Year di Amerika Serikat, gap year adalah sebuah kegiatan mencari pengalaman selama satu semester atau satu tahun, yang biasanya diambil setelah sekolah menengah atas dan sebelum pendidikan karir untuk memperdalam kesadaran pribadi dan profesional seseorang.
Fenomena ini santer terdengar ketika putri dari mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Mala Obama yang memutuskan untuk menunda waktu kuliahnya selama setahun sebelum melanjutkan kuliahnya di Harvard. Keputusan mala tersebut bertujuan untuk mencari pengalaman baru sebagai bagian dari proses pematangan diri agar lebih siap menjalani kehidupan selanjutnya.
Mala bukan satu-satunya orang yang menjadi sorotan dalam menjalani program gap year. Di Inggris Raya, Pangeran William sempat berkontemplasi dalam masa tunggu setelah mendapat persetujuan dari kerajaan, sebelum dirinya memulai kuliah di Univesitas St. Andrew, Skotlandia.
Dalam masa itu, dia menghabiskan waktu tidur di atas hammock--tempat tidur gantung--di hutan belantara Belize. Selain itu, dia juga bekerja di peternakan sapi perah di Inggris dan blusukan mengajar bahasa Inggris di daerah terpencil di daerah bagian selatan Chili.
Selain William, istrinya, Catherine Middleton juga pernah menjalani gap year. Dirinya menghabiskan waktu belajar di Florence, Italia, dan mengendarai kapal pesiar pada acara Round The World Challange--sebuah kegiatan fisik yang digagas oleh komunitas peduli kaum disabilitas di Inggris--di lepas pantai selatan Inggris.
Hal itu pula yang dilakukan Azizah, mahasiswi tingkat akhir di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, empat tahun lalu. Dia memilih menikmati masa jeda satu tahun sebelum kembali mencoba mengikuti ujian masuk PTN. Selama periode satu tahunnya tersebut, Azizah mengisi waktunya dengan mencari pengalaman bekerja dan belajar.
Pada 2014, sama seperti siswa yang baru lulus SMA pada umumnya, dirinya mengikuti berbagai ujian seleksi agar dapat masuk ke PTN yang ia idamkan. Mulai dari SNMPTN, SBMPTN, dan ujian mandiri telah ia ikuti dengan manuruh pilihan PTN dan jurusan yang sama: UGM, jurusan geografi. Namun sayang dari berbagai upaya tersebut, tak satu pun yang membuahkan hasil. “Tapi enggak ada yang keterima,” kata Azizah.
Selama masa satu tahun itu, Azizah menjalani kerja penuh waktu di salah toko di Kota Bogor. “Saya diajak kerja sama temen jadi pelayan toko,” kata Azizah. “Daripada nganggur mending kerja setengah tahun, setengah tahun lagi belajar SBMPTN sendiri,” timpalnya.
Selain menjalani kegiatan dengan mencari pendapatan, Azizah juga mengikuti kegiatan bimbingan belajar gratis yang diselenggarakan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. “Belajarnya setiap Sabtu dan Minggu,” terangnya.
Melihat dari pengalaman tahun lalu, Azizah merasa dirinya harus berupaya lebih agar tidak terjatuh di lubang yang sama. Dia terus menggali pengalaman dari temannya yang sudah diterima di PTN pilihan mereka. “Saya punya teman anak IPS, saya pinjam buku lesnya dia, pinjam buku les anak yang sudah masuk UI jurusan hubungan internasional,” ujarnya.
“Lumayan berat juga belajar IPS karena dulu aku kan anak IPA,” kata Azizah.
Azizah merasa bersyukur karena dirinya menjadi salah satu orang yang berhasil melewati fase gap year tersebut. Pengorbanannya menanti setahun berbuah manis. Selain sudah berhasil diterima di kampus yang diinginkan, Azizah juga telah memiliki pengalaman kerja. “Akhirnya perjuangan saya terbayar,” tutupnya.
Editor: Maulida Sri Handayani