Menuju konten utama

Menganggur Setelah Lulus Tak Selalu Buruk

Kamu bisa mengisi waktu dengan bertualang, menjadi sukarelawan, ikut kursus, atau...merenungkan hidup.

Menganggur Setelah Lulus Tak Selalu Buruk
Ilustrasi kelulusan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Lahir, tumbuh, bersekolah, ke perguruan tinggi, bekerja, menikah, punya anak, pensiun, dan menghabiskan masa senja bersama keluarga. Tahapan-tahapan ini seperti menjadi pakem bagi sebagian besar masyarakat. Sukses ditakar dari pencapaian tahapan-tahapan tersebut pada batas usia tertentu.

Melirik ke tetangga yang ternyata selangkah lebih di depan tak pelak membuat seseorang kerap iri dan memacu diri untuk membalapnya. Minimal setara. Padahal, tidak semua manusia punya modal yang sama buat merengkuh anak-anak tangga kehidupan yang sama, kalau tahapan-tahapan tadi memang dibayangkan vertikal.

Beda pikir, beda stamina, beda mimpi, beda pula cara memenuhi kebutuhan diri. Bekerja adalah satu dari sekian banyak bentuk mengaktualisasikan diri—suatu hal yang berada pucuk piramida kebutuhan manusia ala Abraham Maslow. Banyak yang beranggapan, begitu lulus kuliah atau sekolah, lantas mengantongi pekerjaan—apa pun itu—artinya seseorang telah mencetak suatu prestasi, kebaikan, hal yang pantas dibanggakan. Minimal, ia bisa menafkahi dirinya sendiri. Artinya dia telah layak disebut mapan.

“Nak, kamu sudah dapat pekerjaan?” demikian sempat disampaikan seorang kawan terkait pertanyaan rutin ibunya, sebulan dua bulan setelah ia menjadi sarjana di kota yang berbeda dari domisili ibunya. Kawan saya ini memang lulus pada tahun terakhir tenggat masa kuliahnya. Jamak ditemukan orangtua seperti orangtua kawan saya ini yang tak sabar menunggu anaknya berkabar ia dapat pekerjaan.

Si Ibu lantas membicarakan soal teman kecil kawan saya yang sudah diangkat menjadi PNS. Atau tentang sepupunya yang baru-baru ini diangkat menjadi manajer hotel. “Kamu enggak mau tanya dia, ada lowongan atau ndak di perusahaannya?” sambung kawan saya, meneruskan ucapan ibunya.

Orangtua memang akan seoptimal mungkin mendorong anaknya untuk mencapai kesuksesan. Versi mereka. Apa itu yang benar-benar diingini atau dibutuhkan anak? Mesti ditanyakan kembali. Bila beruntung, anak akan diajak berkomunikasi dengan orangtua tentang apa yang ingin dicapainya selepas lulus kuliah.

Lebih beruntung lagi bila itu sudah dilakukan sedari memilih jurusan kuliah. Bukan hal yang langka ditemukan, mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir, ketika ditanya mengapa mengambil jurusan tertentu menjawab, “Karena disuruh orangtua saya, Bu.”

“Kamu senang menjalani kuliah-kuliahnya?”

“Ya…senang-enggak senang. Habis mau gimana lagi, kata orangtua saya, jurusan ini dibutuhkan di mana-mana. Jadi, nanti gampang cari kerjanya.”

Baca juga: Jurusan-Jurusan Sangar yang Membikin Mahasiswa Menangis

Klasik. Bayangkan seribu orangtua berpikiran serupa, sementara perusahaan yang membutuhkan lulusan jurusan tersebut cuma punya dua slot untuk karyawan baru.

Lantas, apa yang dapat dilakukan lulusan-lulusan universitas saat mereka belum kunjung mendapat panggilan wawancara kerja? Merenungi nasib? Menyesali pilihan saat kuliah? Termangu dan iri ketika di media sosial, teman-teman memublikasikan foto kantor perdana?

Bertualanglah. Menjadi sukarelawan. Isi enam bulan hingga setahun dengan kegiatan-kegiatan yang disuka, yang tidak sempat benar-benar ditekuni saat berkuliah. Jajallah bertemu komunitas baru, masyarakat yang asing. Ikuti kursus-kursus.

Deretan saran ini bukan sembarang dicantumkan di aneka media massa. Sejumlah pakar psikologi dan akademisi melihat adanya efek positif dari rehat sejenak selepas studi sebelum melangkah ke tahap berikutnya: bekerja atau kembali menuntut ilmu di jenjang lebih tinggi. Waktu jeda yang diambil ini kerap disebut gap year.

Bertualang ke tempat-tempat baru—bukan sekadar singgah ke negara atau kota tertentu untuk berbelanja atau wisata alam—dan mengenal kehidupan masyarakatnya bisa menambah modal pengalaman yang berguna bagi seseorang saat bekerja kelak.

Interaksi dan kerja sama dengan masyarakat setempat selama hitungan bulan akan membantu mengenal budaya luar. Hal ini menumbuhkan sikap apresiatif dan toleransi terhadap orang-orang di luar kelompoknya. Mengambil jeda untuk bertualang pun bisa menambah koneksi seseorang yang nantinya bisa berguna bagi karier.

Merefleksikan kembali hal-hal yang telah dilalui dan mengevaluasi bagian mana yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan adalah aktivitas penting yang berpengaruh terhadap perkembangan diri seseorang. Kapan hal ini diwujudkan bila gagasan untuk terus melaju nonstop ke tahap-tahap hidup berikutnya terus diamini? Pasca-kelulusanlah saat yang tepat untuk ini.

Perpindahan dari SMA ke kuliah biasanya tak dibiarkan lowong lama oleh orang-orang. Pasalnya, ada pemikiran bahwa uang kuliah akan merangkak naik bila mereka tak langsung mendaftar sebagai mahasiswa. Berbeda kondisinya dengan perpindahan dari kuliah ke ranah profesional.

Tidak ada tenggat-tenggat seketat waktu pendaftaran kuliah saat orang ingin melamar kerja. Menyadari hal ini, momen setelah lulus kuliah dapat dimanfaatkan sebagai waktu yang tepat untuk melihat kembali apa yang sudah dicapai sebelumnya.

Benarkah bidang yang dipelajari di kampus kemarin benar-benar ingin ditekuni secara profesional? Apakah ada keinginan untuk menjalani hobi tertentu dan menggelutinya sebagai pekerjaan tetap? Apa kelemahan dan kelebihan diri yang dipelajari selama studi kemarin? Setelah mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan diri, tantangan apa yang potensial muncul saat bekerja nanti?

Pertanyaan-pertanyaan macam ini bisa saja dipandang sebelah mata. Namun sebenarnya, banyak orang yang tidak bertahan lama di tempat kerja karena tidak cukup mengenali potensi dan kelemahannya. Belum lagi ada tekanan kerja yang sudah menunggu di depan mata. Bila tak benar-benar siap mental dan mengantongi pengalaman bekerja sama dengan macam-macam orang atau berada di variasi situasi, seseorang sangat mungkin “meledak”.

Baca juga: Kantor Perlu Tangani Stres Pada Karyawan

Keputusan mengambil jeda sebelum langsung bekerja sempat dilakukan oleh Naomi Pardede (23). Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjajaran ini mengatakan bahwa ia tak langsung terjun ke dunia profesional begitu dinyatakan lulus. Alih-alih, ia memilih berlibur dan melanglang buana ke berbagai tempat untuk menyegarkan kembali pikirannya.

“Untung orangtua gue juga bukan tipe yang mengejar-ngejar anaknya untuk segera cari kerja. Jadi, mereka membiarkan gue rehat dulu setelah lulus kuliah,” ucap Naomi. Kapan lagi bisa bersantai dan melepas penat dalam jangka waktu cukup lama bila bukan selepas kuliah? demikian pikir Naomi. Ia sadar, kehidupan kantor akan memberi lebih sedikit kemungkinan untuk merasakan keadaan nyaris tanpa beban sebagaimana masa selepas lulus kuliah.

Jeda yang diambilnya setelah kuliah bukan berarti diisinya dengan bersenang-senang semata. Ia pun melakukan hal-hal produktif dengan sesekali membantu pekerjaan orangtuanya. Penting dicatat, gap year dalam hitungan bulan atau bahkan setahun bukan berarti mesti diisi dengan berpelesir.

Sejumlah anak muda di India menceritakan kisah-kisah mereka menjalani gap year dalam The Times of India. Pratima misalnya, memilih mengambil kursus Komunikasi Massa setelah merasa tidak yakin ingin meneruskan berkarier di bidang yang sama dengan jurusan kuliahnya. Ia sadar, menulis sudah menjadi kecintaannya dan saat kuliah pun, ia rajin menulis di majalah kampus dan jurnal. Inilah yang mendasari pilihannya untuk mengambil studi informal yang sejalan dengan hobinya.

Lain lagi dengan cerita Rachit. Setelah menjadi Sarjana Teknik, laki-laki ini memilih bersantai sejenak, melakukan trekking dan hal-hal lain yang disenanginya. Sembari melakukan hal-hal tersebut, Rachit juga tetap mengerjakan proyek-proyek kecil yang pastinya akan ia rindukan bila telah menjabat sebagai karyawan perusahaan kelak.

Pilihan sebagaimana diambil Rachit atau menjadi freelancer bisa menjadi alternatif sebelum benar-benar mengambil pekerjaan tetap. Selain bisa mendatangkan penghasilan, menjalani proyek kecil akan membuat kemampuan atau keterampilan seseorang terus terasah. Hasilnya, saat bekerja kelak, ia tidak akan “kaget” karena terlalu lama bersantai.

Baca juga: Mengapa Milenial Kepincut Pekerjaan Freelance?

infografik enjoy aja dulu

Tak melulu hal-hal berorientasi uang yang bisa dijalani selama gap year. Mendaftar sebagai sukarelawan di organisasi nirlaba pun bisa menjadi pilihan tepat bagi para lulusan universitas. Bukan hanya karena hal ini bisa menambah pengalaman dan wawasan, catatan sebagai sukarelawan juga bisa menjadi poin plus dalam CV.

Hal yang tersirat dari menjadi sukarelawan adalah kemampuan berinteraksi dalam masyarakat, bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain, serta keinginan berkontribusi yang tinggi dalam diri seseorang. Kualitas-kualitas inilah yang beririsan dengan kualitas karyawan yang dibutuhkan dalam perusahaan.

Apa pun pilihan yang diambil seseorang selepas kuliah, pastikan hal tersebut berdampak positif bagi perkembangan dirinya atau orang sekitar. Tak melulu mesti mengikuti pakem. Terkadang, yang dibutuhkan seseorang adalah mengambil ancang-ancang sesaat sebelum melesat ke depan.

Baca juga artikel terkait PEKERJAAN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani