tirto.id - Sejak 2014, Fauzul Muna punya keinginan melanjutkan sekolah ke luar negeri. Untuk bisa mewujudkan keinginan itu, ia harus memiliki sertifikat berbahasa Inggris dengan nilai sesuai standar universitas dan para pemberi beasiswa.
Dari beberapa tes kemampuan Bahasa Inggris yang ada, Muna memilih International English Language Test System (IELTS). Alasannya praktis, karena IELTS diterima hampir di seluruh universitas dan pemberi beasiswa.
Februari 2014, ia mengikuti tes IELTS pertamanya di Semarang. Waktu itu, biaya tes IELTS masih Rp2,25 juta. Muna mendapatkan hasil sesuai syarat pemberi beasiswa, tetapi masih belum memenuhi syarat kampus tujuannya. Ia terpaksa harus mengikuti tes lagi.
Sampai sebelum ia berangkat ke Inggris pada September tahun lalu, Muna mengikuti lima kali tes IELTS dengan harga yang terus naik. Terakhir, ia harus membayar Rp2,7 juta. Total uang yang ia habiskan untuk mendapatkan sertifikat kemampuan Bahasa Inggris itu sekitar Rp12,5 juta.
Sebelum berangkat sekolah, Muna sempat bekerja di Jakarta dengan penghasilan di atas Rp6 juta per bulan. Biaya yang ia keluarkan untuk sekali tes IELTS hampir separuh gajinya. Menurutnya untuk sebuah tes bahasa, angka itu cukup mahal. Ia membandingkan dengan biaya test TOEFL paper based yang hanya Rp300 ribu. “Memang sih ada speaking dan writing-nya, tapi selisihnya tetap aja jauh,” katanya.
Muna menilai, tes IELTS ini hanya bisa ditempuh para kelas menengah. Orang-orang dengan penghasilan per bulan sekitar Rp1-2 juta per bulan tentu harus menabung dulu untuk bisa mengambil tes.
IELTS merupakan uji coba kemampuan berbahasa Inggris yang diselenggarakan bersama oleh Universitas Cambridge, British Council dan IDP Education Australia. Ia digunakan sejak tahun 1989. Hingga saat ini, jumlah pengambil tes IELTS di seluruh terus bertambah.
Menurut data dari IELTS.org, 1,4 juta orang mengikuti tes IELTS pada 2009. Tahun 2011, jumlah bertambah menjadi 1,7 juta. Tahun 2012, peserta tes melebihi 2 juta dan tahun 2014 sudah menyentuh angka 2,5 juta. Artinya, tahun 2014 itu, pendapatan dari IELTS mencapai $500 juta atau sekitar Rp6,5 triliun.
Di situs resmi Education First (EF), Kate, author EF Blog menuliskan perincian peruntukan biaya yang membuat IELTS begitu mahal. EF adalah lembaga pendidikan yang tersebar di 116 negara.
Hal pertama adalah biaya membuat soal-soal tes. Dalam setahun ada sekitar 48 kali tes IELTS diselenggarakan. Jika peserta tes mengambil tes 48 kali dalam setahun, ia tentu akan menemukan pertanyaan yang berbeda. Biaya IELTS mencakup penulisan dan kalibrasi soal tes yang senantiasa baru.
Ada juga biaya pemasaran. Tahun 1995, hanya 43.000 orang yang mengambil tes IELTS. Satu dekade kemudian, jumlahnya menjadi 2,5 juta. Pertumbuhan itu tentu didukung oleh pemasaran yang membutuhkan biaya. Semakin banyak otoritas imigrasi dan universitas yang meminta skor IELTS untuk aplikasi, maka semakin banyak orang yang membutuhkan IELTS. Saat ini, lebih dari 9.000 organisasi menerima IELTS.
Biaya tes yang dibayarkan untuk IELTS juga termasuk biaya penilaian. Ada empat hal yang diuji dalam IELTS, listening, reading, writing, dan speaking. Dua yang terakhir membutuhkan penilai khusus. Untuk memeriksa hasil writing, mereka harus membaca satu per satu tulisan tangan para peserta ujian. Untuk menguji speaking, mereka harus mewawancarai satu per satu juga.
Elemen terakhir yang membutuhkan biaya adalah pengelolaan pusat tes. IELTS dikelola bersama oleh British Council, Cambridge English Language Assessment, dan IDP Education. Biaya yang dibayarkan peserta IELTS digunakan juga untuk mengembangkan lembaga-lembaga itu.
Dari semua elemen itu, menurut Kate, salah satu yang membuatnya begitu mahal adalah monopoli. “Tidak ada banyak tes Bahasa Inggris yang terstandardisasi. Sejumlah universitas menerima tes lain selain IELTS, tetapi beberapa universitas hanya menerima IELTS. Ketika kau memonopoli, kau bebas menentukan harga,” tulis Kate.
Ada beberapa jenis tes Bahasa Inggris lain yang sedikit lebih murah. Cambridge English Advance hanya mematok biaya $164. Atau Trinity ISE II yang cuma $155. Ada juga PTE yang harganya mendekati IELTS, $185. Beberapa pemberi beasiswa seperti Chevening menerima ketiga tes itu, imigrasi di Australia juga sekarang sudah menerima hasil tes selain IELTS.
Namun, organisasi yang menerima IELTS lebih banyak. Kampus-kampus di Amerika yang sebelumnya hanya menerima TOEFL, kini bahkan sudah menerima IELTS. Itu sebabnya IELTS memenangkan persaingan.
Harga Sama, Fasilitas Beda
April tahun lalu, Dara Azilya—karyawan swasta di Jakarta—mengikuti tes IELTS untuk pertama kalinya. Saat itu, karena rupiah yang terus melemah, tarif tes IELTS ada di angka Rp2,8 juta. Di Indonesia, ada beberapa penyelenggara IELTS, di antaranya; British Council, IALF, dan IDP. Dara memilih di IDP.
Kebetulan ia mendapat lokasi ujian di salah satu sekolah di Jakarta Selatan. IDP tak selalu menggelar ujian di sekolah, terkadang di hotel. Dua lokasi yang berbeda ini memiliki fasilitas yang berbeda pula.
Di sekolah, ruangan yang dipakai adalah ruang kelas dengan peserta hanya 20 orang setiap kelas. Di hotel, tes biasanya digelar di ballroom. Jadi, seluruh peserta mengikuti ujian di satu ruangan besar.
Saat Dara mengikuti tes bagian listening, fasilitas pendukung yang digunakan penyelenggara hanya sebuah tape yang diletakkan di depan kelas. Dara duduk paling belakang. Alhasil, dia tidak bisa mendengar dengan jelas percakapan.
“Persoalanya bukan di volume sih, tapi kualitas suara yang tidak jernih,” kata Dara kepada Tirto.
Selain itu, tes speaking juga digelar di lokasi yang berbeda. Parahnya, tak ada kursi saat para peserta mengantre giliran tes.
Muna juga pernah mengalami pengalaman yang sama seperti Dara. Dari lima kali tes IELTS, hanya satu kali ujian yang menurutnya kualitas suara saat listening cukup bagus sebab ujian digelar di hotel, bukan sekolah.
Saat dikonfirmasi ke pihak IDP, mereka membenarkan bahwa ujian IELTS kerap digelar di sekolah. "Standarnya memang di sekolah, kami sudah booking di sana untuk setahun, tetapi kadang-kadang pihak sekolahnya pakai ruangan. Kalau begitu, baru kami pindah ke hotel," ujar Yapto, staf yang mengangkat telepon ketika dihubungi Tirto, Rabu (3/5).
Dia juga membenarkan, kalau di sekolah, peserta tes dibagi ke dalam kelas-kelas yang isinya sekitar 20 orang tiap kelas. Tetapi kalau di hotel, semua peserta dikumpulkan dalam satu ruangan. Sementara itu, jika mengikuti ujian lewat British Council di Jakarta, tes akan digelar di hotel, dengan pengeras suara yang terbagi rata ke semua ruangan. Bagi Dara yang penghasilan perbulannya di atas Rp6 juta, membayar Rp2,8 untuk sekali tes masih terasa berat. Selain itu, Dara tak habis pikir, mengapa biaya tes yang mahal itu tidak berbanding lurus dengan fasilitas yang didapatkannya. Fasilitas buruk yang malah menghambatnya mendapatkan nilai terbaik. Meski begitu, Dara akan mencobanya lagi, di tempat yang berbeda. Sebab bagaimanapun, untuk melanjutkan sekolah, dia butuh skor IELTS.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti