tirto.id - Nelty Khairiyah jadi buah bibir. Guru agama Islam SMAN 87 Jakarta ini diduga mendoktrin anak muridnya agar anti-Jokowi.
Di media sosial tersebar tangkapan layar yang menyebut Nelty mengumpulkan muridnya di mesjid. Di sana dia memutarkan video tentang korban gempa Palu-Donggala, Sulawesi Tengah.
Salah satu tangkapan layar berisi teks sebagai berikut: "Kemudian ibu guru bertanya kepada murid-murid, 'ini salah siapa? Salah Jokowi. Masih mau pilih dia untuk presiden ke depan?'"
Sekolah telah menonaktifkannya sejak Rabu, 10 Oktober lalu.
Kepala Sekolah SMA 87 Jakarta Patra Patriah mengatakan kepada Tirto pada Jumat (12/10/2018) kalau menonaktifkan Nelty bukan dalam rangka memberikan sanksi, "tapi penonaktifan sementara hingga proses ini selesai diselidiki."
Patra mengatakan kondisi fisik dan psikis Nelty tidak memungkinkan untuk mengajar. Pun dia masih harus mengikuti penyelidikan Dinas Pendidikan DKI.
"Ia seolah linglung untuk menjawab pertanyaan," kata Patra.
Pada Kamis 4 Oktober sekitar pukul 11 siang, ketika sedang berada di Gedung G Balai Kota DKI Jakarta, masuk tiga pesan dari nomor tak dikenal ke ponsel Patra. Semuanya menginformasikan kalau Nelty berbuat tak patut: menggiring murid untuk menjelekkan Jokowi dan mempengaruhi agar mereka memilih Prabowo.
"Terima kasih infonya. Ini bapak atau ibu, ya? Saya akan membina guru tersebut," jawab Patra kala itu, tanpa menyebut siapa persisnya yang melapor.
Patra kemudian membentuk tim investigasi untuk meminta keterangan dari para siswa.
Senin, 8 Oktober, usai upacara di SMAN 90 Jakarta—Patra menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Sekolah di sana—ia dan tiga Wakil Kepala Sekolah memanggil Nelty.
Patra mengkonfrontir langsung kepada Nelty sembari membawa Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Dalam pertemuan itu Patra mengatakan Nelty akhirnya mengaku bersalah.
"Awalnya ia mengelak dan mengatakan bahwa ia netral ketika mengajar. Namun, setelah itu ia mengakui [menyetel video gempa dan menggiring opini siswa] dan minta maaf," jelas Patra. Pihak sekolah kemudian membuatkan berita acara pemeriksaan (BAP) internal yang ditandatangani Patra dan Nelty.
Nelty sebetulnya tetap menyangkal semua tuduhan setelah pemanggilan itu. Ia mengatakan apa yang ramai di media sosial tidak seperti kejadian sebenarnya. "Saya mohon banget diklarifikasi," kata Nelty, mengutip Detik.com.
Meski begitu ia tetap meminta maaf ke pihak sekolah. Bukan karena mengaku salah, tapi merasa apa yang ia alami turut membuat sekolah merugi.
Terlepas dari benar atau tidaknya kejadian itu karena masih dalam tahap investigasi, Kepala Sekolah mengatakan sebetulnya Nelty tidak pernah membuat ‘masalah’. Ia malah termasuk yang berprestasi.
"Saya pernah supervisi beliau, saya datangi kelasnya. Ketika itu beliau menyetelkan video hasil buatan siswa dan itu bagus. Saya apresiasi dia juga di ruang guru, semua guru mendengarkan itu," jelas Patra.
Siswa: Nelty Guru yang Baik
Beberapa siswa yang saya temui mengaku kalau Nelty tak pernah neko-neko dan malah termasuk guru favorit. Bayu, siswa kelas XII IPS, mengatakan Nelty adalah pengajar yang punya karakter keibuan.
"Dia mengayomi kami, selalu mengingatkan untuk salat sunah. Dia juga enggak pernah marah dan suka bercanda," ucap pemuda 17 tahun ini.
Jasmine yang kini sudah siswi tingkat akhir juga mengatakan hal serupa.
"Bu Nelty asyik, enggak pernah marah, enggak menghukum juga. Dia baik," katanya. Dia diajar Nelty pada Rabu dan Jumat.
Kedua siswa itu mengatakan Nelty, yang menurut seorang Satpam bernama Anjas mengendarai mobil sendiri tanpa sopir, tidak pernah menyetel video soal korban gempa dan tsunami Sulawesi Tengah ketika mengajar di kelas mereka. Mereka juga tidak tahu dari mana isu itu mencuat.
"Bisa saja salah paham, karena bu Nelty tidak pernah mendoktrin murid. Di kelas saya, enggak nyetel video itu," ucap Jasmine. Lalu, Bayu menanggapi: "Ibu Nelty enggak pernah menyuruh kami untuk pilih salah satu calon presiden. Itu hak orang untuk memilih siapa calon presidennya."
Selain mengajar, Nelty juga kerap mengorganisir pertemuan di masjid sekolah, demikian pengakuan Tri, 43 tahun, seorang penjual makanan di kantin.
Tri mengaku tidak mengenal Nelty secara personal, bahkan guru tersebut ia nilai jarang mendatangi kantin. "Tapi," kata Tri, "dia sibuk ngurus pengajian sama anak-anak (siswa) di masjid kami. Dia aktif dalam pengajian itu.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino