tirto.id - Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) menemukan ada 728 ijazah yang dikeluarkan oleh STMIK Triguna Utama tanpa dasar pada 2017. Temuan ini mengindikasikan ada praktik jual beli ijazah dengan modus kuliah fiktif.
STMIK Triguna Utama bukan kali pertama ini bermasalah. Pada tahun yang sama, kampus ini pernah membuka kelas jauh dan ada 33 mahasiswanya yang tak diakui karena sistem kelas tersebut, dianggap tanpa sepengetahuan pengurus kampus. Namun, pada 2018, beberapa mahasiswanya dinyatakan lulus dan ikut wisuda.
STMIK Triguna, bersama STIE ISM dan STKIP Sera, adalah milik Mardiyana, pemain lama dalam jual beli ijazah bodong. Pada 2015, ketiga kampus ini pernah dinonaktifkan karena terindikasi mencetak ijazah abal-abal.
Namun, pada 2018, ketiga kampus ini rupanya sudah kembali aktif. Bahkan, ketiganya akan bergabung bersama dua kampus lain menjadi satu universitas. Bagaimana kampus bermasalah itu bisa kembali aktif?
Tirto mendapatkan dokumen memo dari Abdul Wahid Maktub, staf khusus Menteri Ristekdikti Mohamad Nasir, terkait masalah kampus STKIP Sera dan STMIK Triguna Utama. Memo itu ditujukan kepada Direktur Pembinaan, Direktorat Kelembagaan Kemenristekdikti Totok Prasetyo. Isinya agar Totok bisa "membantu" masalah kedua kampus tersebut.
Berikut wawancara Tirto dengan Abdul Wahid Maktub sebagai upaya mengonfirmasi memo yang ia buat tersebut.
Soal kampus abal-abal, tahun 2015 ada 243 kampus yang dinonaktifkan...
Betul, itu dinonaktifkan, supaya ada efek jera. Biar publik juga tahu dan tidak mendukung sesuatu yang tidak benar.
Sekarang dari 243 kampus itu bagaimana?
Ada yang ditutup, ada juga yang disehatkan. Kami terus melakukan pembinaan. Pembinaan ini tentu memberikan bimbingan teknis, gimana cara supaya perguruan tinggi itu bagus. Dan kami dorong untuk perguruan tinggi yang kuat memberikan bantuan kepada PTS yang lemah. Karena kami memang banyak sekali [kampus] yang tidak sehat, terutama di luar Jawa.
Itu termasuk kampus yang pernah digerebek pada 2015?
Iya. Mereka hanya mengeluarkan ijazah, tidak melakukan proses belajar, hanya orientasi formalitas. Ini sangat membodohi publik.
Dan ada resistensi karena mereka tidak paham dikira kami mau menghambat, padahal tidak. Tujuannya masalah mutu tapi juga tanpa mengorbankan akses.
Seputar kampus yang menjualbelikan ijazah, kami menemukan ada kampus yang sudah ditutup pada 2015, tapi sekarang beroperasi. Kondisinya tidak berubah: tidak ada perkuliahan, tapi melakukan wisuda.
Itu bisa dilaporkan. Karena kami punya keterbatasan. Bisa saja mereka kembali nakal. Karena yang namanya sehat dan sakit, bisa terjadi setiap saat. Katanya sehat tapi ternyata sakit. Tolong kami diberitahu karena kami punya keterbatasan. Kami akan keras dan tegas.
Ada dua kampus yang kami cek. STKIP Sera (Cikokol, Tangerang) dan STMIK Triguna (Cinere, Depok). Itu yang ditutup tahun 2015, sekarang sudah diaktifkan lagi oleh kementerian.
Begini, memang [di kampus] swasta ini kami tidak memberikan bantuan yang dibutuhkan sama sekali. Jadi treatment kepada PTN dan PTS itu berbeda. Kalau PTN itu dari kami. Kalau PTS itu kompleks, karena itu kami harus hati-hati melihatnya. Kalau kesalahan itu memang sudah berlebihan, ya kami memang harus keras.
Kami melihat pemilik kedua kampus itu dikelola oleh satu yayasan, pemiliknya sama dalam kasus 2005 [kasus jual beli ijazah yang melibatkan nama-nama pejabat, termasuk eks Wakil Presiden Hamzah Haz dan mantan Kapolri Jenderal Roesmanhadi].
Kalau sekarang tidak mungkin lagi karena kami punya kontrol melalui pangkalan data. Karena dulu itu kami tidak pakai online sehingga susah untuk mengontrolnya, sekarang misalnya akan gampang mendeteksi yang abal-abal, karena akan ketahuan. Kami juga sudah punya penomoran ijazah nasional. Ini agak sedikit ribet.
Pada 2017, di STMIK Triguna, pernah ada mahasiswanya kuliah kelas jauh tapi hanya seperti tempat kursus. Kemudian diputuskan mahasiswanya tidak diakui STMIK Triguna. Tapi kemudian di pangkalan data, mereka tercatat dan diwisuda pada Maret 2018.
Coba tolong disampaikan kepada saya, supaya bisa kroscek. Kalau begitu berarti ada yang main. Bisa jadi ada yang di dalam sini.
Saya mengonfimasi Mardiyana dan dia menyebut Anda yang membantu untuk penyehatan [kampus-kampus dia] begitu?
Saya lupa. Intinya bagi saya semua orang maju. Jadi kami sebagai orang tua harus menyadari, ibarat kami punya anak-anak, tidak ada semuanya baik. Tapi intinya, bagaimana yang sakit menjadi sehat, jadi bukan disembelih. Harus diberi pembinaan. Pembinaan itu sangat penting, bukan pembinasaan. Karena kompleks. Yang penting bagaimana publik ikut, karena ada ribuan [kampus bermasalah], banyak sekali.
Saya dapat dokumen memo tulisan tangan Anda kepada Direktur Pembinaan Totok Prasetyo dalam kasus STMIK Triguna. Ini benar Anda yang buat?
Iya ... saya sudah lupa. Jadi saya selalu begitu, 'Pak Totok, kalau sudah sesuai dengan aturan, mohon dibantu.' Kan begitu. Jangan dipersulit. Tapi saya enggak ngecek di lapangan.
Dari 33 mahasiswa STMIK Triguna yang tidak diakui, kemarin kami cek ada di pangkalan data.
Berarti itu individual. Coba diinvetaris ke saya, tapi laporan secara tertulis. Saya bisa kontrol. Ini sebenarnya bukan urusan saya. Saya hanya ingin memastikan baik di luar dan di dalam. Kadang tidak hanya di luar, yang di dalam juga nakal.
Saya di sini tidak pandang [bulu]. Pak Totok, Dirjen, juga saya sikat. Saya terbuka dengan siapa pun. Kalau ada apa-apa, silakan. Yang penting ada bukti. Nanti saya langsung dengan Pak Menteri [Nasir]. Saya enggak bisa hanya berdasarkan prasangka atau katanya. Harus ada bukti. Kalau memang sudah sehat, kenapa harus ditutup?
Kami sudah mengecek kedua kampus bermasalah itu dan tidak melihat ada perkuliahan. Rekomendasi tahun 2015 kan dibekukan.
Enggak. Itu ada peringatan. Tapi yang penting kalau memang setelah kami peringati .... kami evaluasi lagi. Kalau ini pelanggaran berat, kami cabut.
Tapi kami bina dulu, kami beri peringatan. Intinya, kalau masih bisa selamatkan, kami selamatkan. Tapi kalau tidak, nanti ada tim. Setelah itu akan keluar rekomendasi.
Selain ke STMIK Triguna, Anda memberikan memo ke kampus lain?
Enggak tahu. Lupa saya. Banyak. Tapi saya selalu mengontrol karena di sini ada orang melapor. Kami kan berupaya mengubah yang tidak baik menjadi baik.
Ini di bawah wewenang Anda?
Enggak, tapi saya sebagai staf khusus menteri yang sifatnya politis harus pasang mata dan pasang telinga. Sejauh mana mereka melayani. Ini menunjukkan kepada saya bahwa sudah melakukan upaya-upaya. Kalau sudah waktunya, sudah baik, kenapa harus dipersulit? Ini tulisan saya (menunjuk memo STMIK Triguna).
Tapi itu kelas jauhnya masih buka.
Ya itu tolong dikasih tahu. Saya enggak cuma ngurusi ini.
=========
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam