tirto.id - Sindrom Kessler adalah bencana antariksa yang dapat terjadi akibat ulah manusia. Bencana ini pun menjadi ancaman nyata yang dapat mengganggu keberlanjutan aktivitas luar angkasa. Lalu, apa itu Sindrom Kessler?
Jauh di atas permukaan bumi, setumpuk sampah luar angkasa bertebaran di orbit rendah Bumi (Low Earth Orbit atau LEO). Kita memang tidak bisa melihatnya secara langsung sehingga langit tetap tampak bersih, tapi area LEO telah berubah menjadi tempat pembuangan sampah antariksa yang jumlahnya mencapai jutaan keping.
Sampah antariksa adalah sisa-sisa objek buatan manusia yang tertinggal di orbit Bumi setelah menjalankan fungsinya dan tidak berguna lagi. Sampah ini bisa berupa satelit yang sudah tidak beroperasi, pecahan roket, atau fragmen dari tabrakan antar objek di luar angkasa.
Puing-puing ini tidak melayang diam, tetapi bergerak dengan kecepatan tinggi sehingga menimbulkan ancaman tersendiri. Akumulasi sampah ini pun bisa menyebabkan efek domino tabrakan yang semakin memperparah masalah dan berujung pada Sindrom Kessler.
Apa itu Sindrom Kessler?
Sindrom Kessler adalah skenario teoretis tentang fenomena bencana luar angkasa, yaitu ketika jumlah puing atau sampah antariksa di orbit Bumi sudah terlalu banyak, lalu bertabrakan satu sama lain sehingga menciptakan lebih banyak puing.
Sampah ini bertebaran di orbit rendah Bumi yang akhirnya membuat lingkungan di sekitar planet ini penuh dengan serpihan berbahaya.
Konsep sindrom tabrakan ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1978 oleh seorang ilmuwan NASA bernama Donald J. Kessler. Dalam sebuah makalah, Kessler menjelaskan bahwa dengan semakin banyaknya satelit yang diluncurkan ke luar angkasa, maka muncul kemungkinan tabrakan.
Tabrakan satelit akan menghasilkan pecahan yang kemudian mengorbit di sekitar Bumi. Masing-masing pecahan ini pun bisa mengalami tabrakan dengan puing lainnya, membuat lebih banyak pecahan yang kemudian menciptakan semacam sabuk sampah luar angkasa di sekeliling Bumi.
Banyaknya sampah ini tentunya akan menimbulkan masalah lain yang lebih berbahaya, termasuk mengganggu misi luar angkasa oleh manusia.
Penyebab Sindrom Kessler
Sindrom Kessler dapat terjadi akibat semakin banyaknya sampah luar angkasa di orbit Bumi sehingga memicu tabrakan berantai yang justru menghasilkan lebih banyak puing. Beberapa hal yang bisa mempercepat terjadinya Sindrom Kessler antara lain:
1. Tabrakan Satelit
Orbit Bumi semakin padat dengan banyaknya satelit yang diluncurkan oleh manusia. Dikutip dari laman Space, manusia telah mengirim lebih dari 12.000 satelit ke luar angkasa sejak sekitar tahun 1957. Diperkirakan ada 7.630 satelit yang masih mengorbit Bumi, tetapi hanya 4.700 satelit yang masih beroperasi.Meski sangat jarang terjadi, tabrakan antar satelit bukan hal yang tidak mungkin. Pada tahun 2009 misalnya, satelit komunikasi Iridium-33 milik Amerika Serikat pernah bertabrakan dengan satelit Kosmos-2251 milik Rusia yang sudah tidak aktif lagi.
Kedua satelit ini bertabrakan dengan kecepatan sekitar 11,7 km/s. Dengan kecepatan yang sangat tinggi, tabrakan satelit ini menghasilkan hampir 2.000 puing antariksa yang akhirnya mengotori orbit Bumi.
2. Uji Coba Senjata Anti Satelit (ASAT)
Beberapa negara diketahui pernah menembak satelitnya sendiri sebagai bagian dari uji coba teknologi senjata anti satelit. China pernah menghancurkan satelit Fengyun-1C (TA-1C) pada 11 Januari 2007 dalam tes rudal anti satelit.Aksi penembakan ini diperkirakan menciptakan lebih dari 32.000 puing, 3.000 di antaranya dapat terlacak, sisanya mungkin terlalu kecil hingga tidak dapat dideteksi.
Di tahun 2019, India juga berhasil menembak jatuh sebuah satelit yang mengorbit di LEO dengan rudal anti satelit. Sementara itu, Rusia pernah menembak satelit mata-mata bernama Kosmos 1408 pada tahun 2021 lalu.
Aksi penembakan satelit ini tak hanya memicu perlombaan pengembangan senjata-senjata canggih, tetapi juga dikhawatirkan menambah jumlah sampah antariksa yang mengorbit di Bumi.
3. Pecahan Roket
Beberapa bagian roket juga bisa menjadi sampah antariksa. Setelah digunakan untuk meluncurkan satelit atau wahana luar angkasa lainnya, terdapat bagian roket yang akhirnya tetap berada di orbit Bumi tanpa kendali. Sisa roket ini akan terus mengorbit dalam waktu lama dan berisiko menabrak satelit atau objek lain.Dampak Sindrom Kessler
Apa efek dari Sindrom Kessler? Sindrom Kessler bisa menimbulkan dampak yang sangat serius bagi aktivitas luar angkasa dan kehidupan di Bumi. Jika jumlah puing luar angkasa terus meningkat, orbit rendah Bumi (LEO) bisa menjadi terlalu berbahaya untuk digunakan.
Berikut adalah beberapa dampak yang bisa terjadi akibat banyaknya sampah antariksa:
1. Kerusakan Satelit
Dikutip dari laman NASA, mayoritas puing antariksa bergerak dengan sangat cepat, bahkan bisa melaju sampai 18.000 mil per jam, hampir tujuh kali lebih cepat dari peluru. Dengan kecepatan seperti itu, serpihan ini bisa merusak satelit yang sedang beroperasi.Akibatnya tentu dapat dirasakan oleh kehidupan di Bumi, mulai dari terganggunya layanan komunikasi, navigasi, pemantauan cuaca, hingga penyiaran televisi.
2. Ancaman bagi Stasiun Luar Angkasa dan Astronaut
Stasiun luar angkasa seperti ISS harus sering bermanuver untuk menghindari tabrakan dengan puing-puing berkecepatan tinggi ini. Dari tahun 1999 sampai 2021, ISS tercatat melakukan setidaknya 29 manuver hanya untuk menghindari sampah luar angkasa.Apabila jumlah puing meningkat drastis, tentunya misi luar angkasa menjadi lebih berisiko. Stasiun luar angkasa jadi lebih sulit bermanuver dan keselamatan astronaut bisa semakin terancam.
3. Eksplorasi Luar Angkasa Semakin Sulit
Kemajuan teknologi membuat manusia berambisi untuk menjelajah ke luar Bumi, termasuk ke bulan atau planet lain. Akan tetapi, Sindrom Kessler dapat menghambat misi ini dan menyulitkan manusia untuk melakukan eksplorasi ke luar angkasa.4. Efek Domino pada Kehidupan Manusia
Jika tabrakan berantai terus terjadi, jumlah puing semakin tak terkendali sampai di satu titik ketika orbit bumi sudah tidak mungkin digunakan lagi. Hal ini membatasi perkembangan teknologi luar angkasa, potensi kerusakan satelit semakin besar, dan mengancam kehidupan manusia yang saat ini sangat bergantung pada satelit.Kapan Sindrom Kessler Terjadi dan Bagaimana Cara Mencegahnya?
Saat ini, Sindrom Kessler masih sebatas skenario teoretis, tapi tanda-tandanya sudah mulai terlihat. Sindrom Kessler juga bukan peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui proses bertahap yang berlangsung seiring meningkatnya jumlah sampah luar angkasa.
Vishnu Reddy, seorang ilmuwan Bumi dan antariksa dari Universita Arizona mengungkapkan bahwa Sindrom Kessler memang belum terjadi, tetapi kita sedang menuju ke peristiwa tersebut dengan sangat cepat.
Jadi, tidak ada yang bisa menjawab kapan Sindrom Kessler akan terjadi, mungkin 5 tahun lagi, bisa juga 10 atau 20 tahun dari sekarang. Alih-alih bertanya kapan, seharusnya kita mulai berpikir bagaimana cara mengatasi Sindrom Kessler?
PBB pernah mengeluarkan kebijakan dan pedoman untuk mengurangi sampah luar angkasa, yakni Pedoman Mitigasi Sampah Antariksa (Space Debris Mitigation Guidelines). Inti dari kebijakan ini antara lain:
- Membatasi pelepasan sampah (debris) selama operasi luar angkasa
- Meminimalkan potensi rusak/pecah pada wahana antariksa selama fase operasional
- Pencegahan ledakan pascamisi
- Pengelolaan satelit yang sudah tidak beroperasi
Salah satu hal yang direkomendasikan oleh SSC adalah agar semua satelit yang beroperasi di atas 400 km dilengkapi dengan sistem propulsi yang memungkinkan satelit dapat bermanuver menjauhi puing dan dapat menghindari tabrakan.
Rekomendasi dari SSC lainnya adalah agar operator pengendali satelit di LEO wajib menyepakati kontrak agar bagian tahap atas roket (upper stages), yang digunakan saat peluncuran satelit, harus dibuang ke atmosfer segera setelah lepas landas. Hal ini dilakukan agar tidak ada bagian roket yang terbuang begitu saja di orbit Bumi.
Sindrom Kessler telah menjadi ancaman nyata bagi kehidupan manusia. Kerja sama internasional dalam pengelolaan sampah antariksa, pengembangan teknologi pembersihan orbit, serta penerapan kebijakan mitigasi yang lebih ketat menjadi kunci untuk memastikan luar angkasa tetap aman bagi generasi mendatang.
Editor: Erika Erilia & Yulaika Ramadhani