tirto.id - “Semuanya akan dievaluasi. Tidak hanya masalah itu [kasus korupsi Kabasarnas]. Semuanya karena kita tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi.” Begitu pernyataan Presiden Joko Widodo saat menanggapi kasus dugaan korupsi yang menyeret Kepala Basarnas yang notabene perwira aktif TNI.
Polemik ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Marsdya Hendri Alfiandi yang saat ditangkap berstatus sebagai Kepala Basarnas. OTT tersebut bermasalah karena KPK dinilai melewati kewenangannya. TNI menganggap penetapan tersangka anggota TNI adalah wewenang mereka dan bukan KPK sebagai institusi sipil.
Detail kasus ini dapat dibaca dalam dua laporan Tirto, yaitu: “Polemik OTT Basarnas” dan “Merunut Kasus Korupsi di Basarnas.”
Penempatan TNI di Lembaga Sipil
Penempatan TNI di instansi sipil memang bukan hanya di Basarnas. UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI mengatur tentang daftar posisi sipil yang bisa diisi oleh TNI. Misalnya, Pasal 47 ayat (2) berbunyi “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung. [PDF]
Namun, penempatan TNI aktif di era Jokowi tidak lagi terbatas di instansi-instansi tersebut. Mengutip policy brief penguatan reformasi TNI melalui penolakan usulan revisi UU TNI yang diterima Tirto dari YLBHI pada 22 Mei 2023 --mereka mengutip data Kontras-- ada 10 perwira menengah dan perwira tinggi TNI duduk di kursi strategis. Seperti komisaris BUMN, staf khusus menteri (salah satunya Brigjen Aria Priwaseso yang menjadi Stafsus Menparekraf Sandiaga Uno), hingga direktur jenderal kementerian (salah satunya Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Laksma Nurdin Awaludin).
Dalam sumber yang sama, data Ombudsman Republik Indonesia bahkan mencatat terdapat 397 orang penyelenggara negara/pemerintahan yang terindikasi merangkap jabatan komisaris di BUMN pada 2019.
Dalam konteks instansi asal Lembaga Non-Kementerian, 65 persen didominasi oleh 5 instansi dengan yang terbanyak berasal dari institusi TNI (27 orang), Polri (13 orang), Kejaksaan (12 orang), Pemda (11 orang), BIN (10 orang) dan BPKP (10 orang).
Penempatan TNI di berbagai instansi sipil ini menjadi sorotan masyarakat sipil hingga munculnya policy brief tersebut. Kemunculan policy brief juga tidak lepas dari rencana pemerintah untuk merevisi Undang-Undang TNI, terutama Pasal 47 yang mengatur soal penempatan prajurit di instansi sipil.
Berdasarkan paparan yang beredar ke publik pada April 2023, TNI ingin menambah setidaknya 8 kementerian/lembaga baru. Penempatan pun bisa bertambah di kementerian/lembaga lain sebagaimana kebijakan presiden.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan menilai, permasalahan utama TNI saat ini adalah urgensi revisi UU Peradilan Militer. Ia beralasan, UU Peradilan Militer saat ini masih membawa kesan rezim otoriter dan tertutup di tengah era demokrasi. Menurut dia, UU TNI sudah sedikit demokratis karena memberi ruang penindakan kepada militer yang melakukan pelanggaran pidana umum lewat UU TNI. Namun, UU Peradilan Militer masih memberi ruang potensi impunitas dalam peradilan pihak militer.
Namun, kata dia, jika dikaitkan dengan sikap Jokowi yang ingin mengevaluasi penempatan TNI di jabatan sipil, Halili pesimistis evaluasi dikaitkan dengan revisi UU TNI. Di sisi lain, ia menilai revisi UU TNI memang harus menjadi atensi, bila isu yang difokuskan adalah pembatasan TNI masuk di ruang sipil.
“Saya tidak yakin presiden betul-betul akan melaksanakan kemarin statement dia untuk meninjau ulang, saya tidak yakin itu, tapi sesungguhnya kalau kita mau baca dari konteks reformasi militer, memang UU TNI itu harus direvisi, terutama revisi itu untuk satu membatasi interupsi militer ke sipil, ke ruang sipil,” kata Halili, Senin (7/8/2023).
Halili menambahkan, “Jadi masuknya militer apalagi militer aktif ke dalam organ sipil itu memang harus dibatasi, dikurangi dan tidak boleh tidak OMSP (operasi militer selain perang) itu memang harus dikurangi ruangnya. Jangan semakin ditambah.”
Sebab, kata Halili, jika semakin ditambah, maka penambahan itu berpotensi akan semakin memperbesar interupsi atau masuknya militerisme ke dalam ruang-ruang sipil. “Dan itu pasti akan melemahkan supremasi sipil,” kata Halili.
Selain itu, Halili menyarankan agar kontrol sipil terhadap militer diperkuat. Ia ingin rekrutmen jabatan fungsi tidak memperkuat posisi militer ketika revisi UU TNI dilakukan.
“Yang lain di level bawah tidak ada pilihan lain selain penegakan hukum yang dimungkinkan terhadap prajurit dan itu pilihan satu-satunya adalah revisi Undang-Undang [Peradilan] Militer,” kata Halili.
Halili mengatakan, revisi UU TNI sebenarnya tidak mendesak kecuali membatasi ruang gerak TNI seperti membatasi ruang gerak mereka dalam operasi militer selain perang (OMSP).
Hal itu akan berimbas pada pembatasan ruang gerak TNI di instansi sipil. Pembatasan ruang gerak akan membuat negara minim mengalami impunitas saat melakukan penegakan hukum terhadap anggota TNI yang berdinas di instansi sipil.
Halili menilai, Jokowi sebagai presiden yang notabene Panglima TNI tertinggi harus menyelesaikan masalah penempatan TNI yang tidak sesuai aturan. Ia harus menegakkan aturan atau setidaknya mengembalikan posisi TNI yang beredar di instansi sipil yang tidak sesuai UU TNI ke tempat asalnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menyambut positif rencana evaluasi yang akan dilakukan Jokowi. Ia mengatakan, ada “hawa” dwifungsi ABRI meski berbagai aturan sudah dihapus sejak reformasi bergulir.
“Secara normatif dwifungsi memang sudah dihapus seiring reformasi dan berlakunya UU 34/2004 tentang TNI. Namun pada kenyataannya, praktik-praktik pelibatan TNI dalam urusan-urusan sipil memang tak sepenuhnya dapat ditiadakan. Ada sejumlah urusan pemerintahan yang masih memerlukan kehadiran prajurit,” kata Fahmi.
Fahmi menilai, keberadaan prajurit di lembaga sipil harus diatur secara ketat. Jika tidak, maka kelenturan penempatan prajurit bisa membentuk persepsi negatif ketidakmampuan bahkan kegagalan sipil dan seolah hanya militer yang dapat diandalkan perannya dalam mengelola pemerintahan dan negara.
Ia mengakui Pasal 47 UU TNI sudah mengatur batasan penempatan prajurit. Prajurit pun harus mundur dari kursi militer ketika menduduki jabatan sipil. Pasal 47 juga mengatur kementerian lembaga mana yang diperbolehkan untuk diisi prajurit TNI aktif.
Namun, akibat amanat undang-undang dan kebutuhan, muncul lembaga baru yang memerlukan peran TNI sehingga revisi UU TNI, terutama penempatan personel sebagaimana Pasal 47 harus dilakukan. Di sisi lain, regulasi yang menjadi payung penempatan TNI saat ini di lembaga baru bukanlah membatasi, melainkan memberi ruang besar.
Dalam kacamata Fahmi, revisi UU TNI penting untuk mengakomodasi penempatan personel TNI di kementerian lembaga yang belum dimasukkan TNI selama memiliki kewenangan atau beririsan dengan tupoksi TNI. Kedua, revisi harus punya batasan kuat agar tidak berdampak pada posisi sipil di kementerian lembaga terkait.
“Ketiga, memberikan ancaman sanksi bagi penyelenggara negara dan atau menteri/pimpinan lembaga yang urusan/kewenangannya tidak berkaitan/beririsan dengan tugas dan fungsi TNI, namun nekat meminta prajurit aktif untuk mengisi jabatan di lembaganya. Nah, ketentuan-ketentuan itu kemudian harus diatur juga penegakan dan pengawasannya agar tidak sekadar jadi aturan omong kosong dan diabaikan,” kata Fahmi.
Fahmi menyinggung bagaimana ada sejumlah kementerian/lembaga yang tidak relevan dalam menempatkan TNI. Ia mencontohkan staf khusus menparekraf yang berasal dari prajurit TNI. Padahal, Kementerian Parekraf dinilai tidak memiliki urgensi peran dengan TNI.
Hal itu menjadi indikator negara masih tutup mata dalam penegakan aturan tentang penempatan TNI. Contoh terbaru, kata Fahmi, adalah penempatan Amarulla Oktavian sebagai Wakil Kepala BRIN, padahal ia masih tercatat sebagai prajurit TNI aktif.
“Terhadap yang tidak relevan atau mengada-ada inilah ketentuan UU harus ditegakkan. Sebagai kebijakan transisi, pilihannya hanya dua: berhentikan mereka (mengundurkan diri juga bisa) dari status sebagai prajurit dan alihkan menjadi ASN; Jika tidak mau dan memilih tetap berstatus prajurit (pengunduran diri ditolak juga bisa), ya mereka harus dikembalikan atau ditarik ke lingkungan TNI," tegas Fahmi.
Di saat yang sama, Fahmi juga menyinggung soal evaluasi penempatan personel Polri. Ia menilai penempatan anggota Polri di kementerian/lembaga juga perlu dipisah. Sesuai perundang-undangan, Polri memang sudah dinyatakan sebagai perangkat sipil negara dan tunduk pada hukum sipil. Namun mereka punya tugas dan fungsi yang sudah jelas dalam rangka melindungi masyarakat, memelihara keamanan dan ketertiban umum serta menegakkan hukum.
“Menurut saya, tugas dan fungsi mereka itu semestinya juga memerlukan batasan dan demarkasi yang jelas dengan fungsi sektor-sektor pemerintahan lainnya. Perlu evaluasi serupa pada penempatan personel Polri di sejumlah kementerian/lembaga yang urusan dan kewenangannya tidak relevan, tidak berkaitan/beririsan dengan tugas dan fungsi Polri,” kata Fahmi.
Bahkan, kata Fahmi, evaluasi terhadap penempatan personel Polri ini sangat mendesak dilakukan.
“Polri memang sudah dianggap sebagai bagian dari perangkat sipil, namun apakah hal yang tepat dan bijak jika karena itu kemudian penempatan mereka menjadi lebih mudah dan longgar? Sama seperti terhadap TNI, jika tidak ada aturan yang membatasi, yang mengendalikan dan ditegakkan dengan baik, bukan tidak mungkin penempatan yang tidak terkendali justru berekses pada pembinaan karier pegawai di lingkungan kementerian/lembaga yang dimasuki,” kata Fahmi.
Terkait masalah ini, reporter Tirto berupaya meminta tanggapan Kantor Staf Presiden (KSP) lewat Deputi V KSP Jaleswari Pramodawardhani. Namun hingga artikel ini rilis, ia belum merespons.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz