tirto.id - Aksi prajurit TNI mendatangi Polrestabes Medan, Sumatra Utara mendapat sorotan publik. Sebab, tindakan tersebut dinilai sebagai bentuk intervensi terang-terangan terhadap kewenangan Polri serta dianggap sebagai bentuk pelanggaran disiplin militer.
Kejadian itu terjadi pada Sabtu, 5 Agustus 2023, sekira pukul 14.00. Saat itu, puluhan prajurit TNI berseragam loreng menggeruduk Polrestabes Medan. Mereka merupakan prajurit Kodam I Bukit Barisan.
Mayor Dedi Hasibuan, penasihat hukum kesatuan Hukum Daerah Militer I/Bukit Barisan, diduga sebagai pemimpin mereka. Prajurit bergerak ke lantai dua markas polisi. Lalu, Dedi mencari Kasatreskrim Polrestabes Medan Kompol Teuku Fathir Mustafa.
Dalam pertemuan itu, Dedi membahas perihal kewenangan penyidik menahan seorang tersangka dugaan pemalsuan surat berinisial ARH. ARH diduga merupakan saudara Dedi dan dia mempertanyakan soal penangguhan penahanan.
Seorang pria pun terlihat berbicara dengan Kompol Fathir dengan nada tinggi. “Kami (berdasar) perintah komandan. Kalau belum selesai, tidak pulang. Kalau perlu diratakan saja ini,” kata dia.
Sekitar pukul 16.00, puluhan prajurit itu keluar dari markas kepolisian. Tapi hingga pukul 19-an mereka masih berada di depan polres, hingga kemudian ARH akhirnya dibebaskan dari penahanan.
Intervensi Terselubung?
Selain koordinasi, Mayor Dedi Hasibuan juga mengaku silaturahmi untuk membantu penegakan hukum, meski kunjungan itu lebih menyerupai intervensi kinerja penegakan hukum, yang sedang dilakukan oleh Polrestabes Medan.
“Cara yang dilakukan oleh [Dedi] Hasibuan dan sikap permisif Kodam Bukit Barisan dan Polda Sumatera Utara, sebagaimana ditunjukkan oleh masing-masing juru bicaranya, akan mendorong 'normalisasi intimidasi' penegakan hukum pada banyak sektor," kata Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, Minggu, 6 Agustus 2023.
Pola penyelesaian semacam ini sudah berulang dalam beberapa kasus dengan konstruksi yang sama seperti di Kupang (19/4/2023) dan Jeneponto (27/4/2023). Semuanya berakhir dengan pernyataan bersama antara perwakilan institusi TNI dan Polri.
Hendardi menegaskan "sinergi dan soliditas artifisial" inilah yang membuat kasus serupa berulang dan tidak pernah diselesaikan dalam kerangka relasi sipil dan militer yang sehat dalam negara demokratis, serta kepatuhan asas kesamaan di muka hukum dalam kerangka negara hukum.
Supremasi TNI dengan privilese peradilan militer adalah salah satu penyebab permanen 'normalisasi' intervensi penegakan hukum akan terus terjadi. "Meskipun orang yang bermasalah dengan hukum bukan anggota TNI, tapi menunjuk TNI sebagai penasihat hukum, cara intervensi penegakan hukum di Polrestabes Medan bisa terjadi," terang Hendardi.
Dinilai Mencoreng Citra Institusi
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Irvan Saputra berpendapat, Dedi yang membawa kurang lebih 40 anggota TNI adalah hal aneh. “Apakah ini penggerudukan atau memberikan terapi kejut kepada Polrestabes Medan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh yang bersangkutan?" ucap dia kepada Tirto, Senin, 7 Agustus 2023.
Karena itu, kata Irvan, “LBH Medan meminta Pangdam I/Bukti Barisan untuk menindak tegas anggota tersebut. Karena tidak ada kewenangan mayor untuk diduga memaksa penangguhan penahanan.” Penangguhan penahanan adalah hak penyidik kepolisian, itu diatur dalam Pasal 31 KUHAP.
Pasal 31 ayat (1) KUHAP menyebutkan “Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.”
Ketika kepolisian telah menahan tersangka berdasar aturan yang berlaku, kata Irvan, maka tindakan Dedi cs merupakan bukti ketidaktaatan terhadap hukum. Bahkan ada dugaan terdapat laporan dan pelapor yang sama dalam perkara dugaan pemalsuan surat, tapi salah satu tersangka ada yang mendapatkan penangguhan penahanan.
“Jika (benar) yang disampaikan mayor, maka sepatutnya Kapolrestabes dan Kasatreskrim Polrestabes Medan harus diperiksa. Kenapa ada dugaan pilah-pilih penangguhan penahanan?" kata Irvan.
LBH Medan pun meminta tegas agar penangguhan ARH dicabut sebagaimana amanat Pasal 31 ayat (2) KUHAP. Tindakan Dedi, lanjut Irvan, mencoreng dan mempermalukan institusi, padahal masyarakat sangat respek kepada TNI.
Sementara itu, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso berpendapat, tindakan Dedi adalah intervensi terang-terangan terhadap kewenangan Polri dan tindakan tersebut adalah pelanggaran disiplin militer. Maka Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen M. Hasan Hasibuan harus memberikan sanksi disiplin kepada anggotanya.
“Bila pimpinan TNI tidak tegas untuk mengingatkan anggotanya terkait tugas dan kewenangan Polri pasca berlakunya UU Nomor 2 Tahun 2002, maka tetap potensi gesekan tetap akan muncul," ujar Sugeng.
IPW juga menyayangkan sikap Polrestabes Medan yang serta-merta tunduk pada tekanan atau intervensi tersebut dengan menangguhkan ARH. “Sikap lemah Polrestabes Medan ini akan menjadi preseden buruk praktik penegakan hukum ke depan.”
Respons Polri dan TNI
Kabid Humas Polda Sumatra Utara, Kombes Pol Hadi Wahyudi merespons hal tersebut. “Kantor polisi itu area publik, siapapun boleh datang dan polisi melayaninya,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin, 7 Agustus 2023.
“Jadi siapapun yang datang tentu ingin berkomunikasi, koordinasi mencari solusi masalah hukum sosial dan lain-lain," sambung Hadi.
Kombes Hadi juga mengklaim TNI dan Polri solid.
Sementara itu, Kapendam I Bukit Barisan Kolonel Inf. Rico Siagian berkata, Dedi bersama beberapa rekan-rekannya sesama anggota TNI mendatangi kantor polisi untuk berkoordinasi dengan penyidik perihal sejauh mana proses penanganan perkara.
Di sisi lain, Rico juga menyesali tindakan Dedi yang membawa anggota TNI kala itu. “Kodam I Bukit Barisan dan Polda Sumatra Utara solid berkomitmen setiap persoalan hukum mempercayakan semua prosesnya terhadap kepolisian dalam hal ini Polrestabes Medan.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz