tirto.id - Bakal calon presiden yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan belakangan ini menjadi sorotan. Mantan Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 itu baru-baru ini melempar gagasan pembangunan jalan tol berkeadilan, jika nanti terpilih menjadi Presiden dalam Pemilu 2024.
Ia mengusulkan supaya lahan milik warga maupun desa tak perlu dibeli oleh investor yang membangun jalan tol. Menurutnya, lebih baik lahan warga maupun desa yang terdampak pembangunan jalan tol menjadi penyertaan modal proyek tersebut.
“Sehingga ketika jalan tol menghasilkan keuntungan maka keuntungannya jalan tol itu tidak hanya datang ke Jakarta, bagi para investor atau internasional tapi juga rakyat sepanjang jalan tol yang ratusan kilometer itu, mereka semua bisa mendapatkan faedahnya,” kata Anies akhir Juli 2023.
“Ketika kemudian ada dividen tahunan, dividen tahunan bukan hanya berujung di kantor- kantor Jakarta atau rumah- rumah Jakarta, tapi biarkan dividen itu dirasakan rakyat-rakyat sepanjang jalan itu.”
Anies mengungkapkan pembangunan jalan tol sudah dimulai sejak era Presiden Indonesia ke-2 Soeharto. Pada 9 Maret 1978, Soeharto meresmikan jalan tol Jagorawi sepanjang 26,5 kilometer. Tol Jagorawi merupakan jalan bebas hambatan pertama yang dibangun di Indonesia.
Pembangunan jalan tol terus berlanjut hingga Presiden Joko Widodo, namun kedepannya perlu memasukkan unsur berkeadilan dalam menyusun kebijakan. Sehingga desa yang menyertakan tanah ke dalam pembangunan tol bisa mendapatkan manfaat.
“Kalau itu kita hitung penyertaan modal dari rakyat, dan hasilnya dirasakan oleh rakyat di daerah itu maka mereka tidak hanya sebagai penonton atas kendaraan-kendaran yang lewat di depan kampungnya,” kata Anies. “Bahkan mereka sendiri belum tentu naik tol itu, tapi mereka akan merasakan kampung kami itu, ini bisa dibangun (a), ini bisa bangun (b) karena apa? karena kami dapat 0,000 sekian persen dari manfaat tol.”
Tak hanya jalan tol, lanjut Anies, rest area harusnya bisa dimiliki oleh koperasi desa, kecamatan maupun kabupaten. Dia mengungkapkan jangan hanya orang Jakarta yang punya kesempatan untuk memiliki rest area, tapi orang desa juga memiliki kesempatan yang sama.
“Orang Jakarta dekat (dengan) pengambil keputusan, mereka tahu letaknya rest area, di situ mereka beli tanah, ribuan mobil akan mampir di situ (rest area) tiap minggu. Rakyat di sana menonton saja dan pemilik tanah itu menyesal, sayang sekali ya, dulu tanahnya saya jual, saya gak tahu bakal jadi rest area,” ungkap Anies.
Diketahui, proses pembangunan tol biasanya dengan melakukan pembebasan lahan warga. Namun, dalam pembangunan tol terkadang terhambat karena sistem ganti rugi atau sistem ganti untung yang tak berpihak ke pemilik lahan.
Jaka (46), salah satu warga yang terkena dampak pembangunan tol Jogja-Solo. Ia dirugikan dengan sistem appraisal tanah dan bangunan yang tak sesuai data di lapangan. Dua couple rumah kontrakannya disebut hanya satu.
"Orang lepas bangunannya wajar dapat untung, kalau rugi orang gak bakalan lepas," kata Jaka dihubungi Tirto, Sabtu (5/8/2023)..
Usut punya usut, bukan hanya Jaka yang dirugikan dalam sistem appraisal, tapi ada 16 kepala keluarga yang dirugikan karena tak sesuai data lapangan.
Jaka menjelaskan pada awal pembebasan lahan, ia didatangi pihak kepala dusun sekitar tahun 2018. Dalam proses pembebasan lahan tersebut tak ada informasi pergantian tanah dalam bentuk lain; tanah pengganti atau saham- dari pemerintah
“Informasi itu seolah-olah jadi barang tidak penting. Undangan untuk warga hanya ganti rugi. Seolah-olah harganya sudah final. Terus bentuk ganti rugi yang ditawarkan seperti apa?. Secara real gak pernah disebut bentuk lain, pasti ngarahnya ke uang,” kata Jaka
Padahal dalam aturan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, ada sejumlah bentuk ganti kerugian tanah yang bisa diterima masyarakat. Dalam pasal 123 angka 9 UU Cipta Kerja disebutkan sejumlah bentuk ganti kerugian; pertama berupa uang, kedua tanah pengganti, ketiga pemukiman kembali, keempat kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Informasi berbagai bentuk ganti rugi tanah untuk kepentingan umum ini tak banyak diketahui warga. Namun, bagi para elite penguasa yang mengetahui aturan ini bisa digunakan sebagai bahan negosiasi.
Dalam kasus pembangunan tol Jogja- Bawen, Gubernur DIY Sri Sultan HB X secara tegas menolak melepaskan kepemilikan tanah. Keraton Yogyakarta sebagai pemilik tanah hanya akan menyewakannya kepada pengelola tol.
Tol Berkeadilan, Bisakah Dilaksanakan?
Pakar Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga mengatakan bahwa gagasan calon presiden Anies Baswedan ihwal tol berkeadilan itu bisa dilakukan tetapi menyulitkan banyak pihak.
"Mungkin (bisa dilakukan), tapi menyulitkan. Itu yang perlu dimengerti. Taruh lah ini seperti koperasi ya, di mana para pemilik lahan tadi patungan terus kemudian tanahnya disewakan terus kemudian baru dibangun jalan tol kan konsepnya seperti itu, tapi dalam pelaksanaannya akan sulit," kata Nirwono, Jumat, (4/8/2023).
"Untuk mengumpulkan lahan seperti itu, kan lahannya belum tentu luas-luas. Ini tentu akan menyulitkan perdasaran, penghitungan, maupun juga pelibatan mereka di dalam pelaksanaan pembangunannya."
Ia mengingatkan bahwa pembangunan jalan tol juga memiliki risiko merugi, sehingga apabila para pemilik tanah turut memiliki saham dalam proyek tersebut, maka potensi kerugian juga turut menjadi beban mereka.
"Pertama, siapa nanti yang mengoperasionalkan? Terus kemudian yang kedua, dalam konteks ini tadi kalau untung enak dibaginya, kalau rugi? Jangan lupa untuk membangun calon tol itu sebenarnya proyek jangka panjang bahkan bisa jadi lebih dari 20 tahun baru balik modal kan," kata Nirwono.
Ia menilai perlakuan terhadap tanah milik Kasultanan Yogyakarta tidak bisa digunakan untuk tanah milik perorangan. Pasalnya, keseluruhan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta berstatus milik Kasultanan sehingga tidak memerlukan persetujuan individu-individu yang berdampak langsung terhadap pembangunan infrastruktur tersebut.
"Jogja itu semuanya tanah sultan yang merupakan status lahan milik Keraton Yogyakarta. Di mana sultan sebagai ketuanya, sehingga kalau ada purga pembangunan di area masuk wilayah daerah yogyakarta, ya otomatis tanahnya adalah tanah sultan. Dan tanah sultan tidak dijual. Tetapi itu disewakan," katanya.
Pernyataan tersebut juga didukung oleh pakar kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah. Ia mengatakan bahwa masyarakat memiliki kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan dalam jangka pendek.
"Sulit dalam arti bahwa kalau masyarakat itu kan keuntungannya maunya jangka pendek. Kalau berarti investasi di situ kan berjangka panjang. Kadang pemiliknya sudah sampai meninggal baru dapat keuntungan. Nanti susah lagi, karena pengalihannya kepada anak cucu kan butuh proses hukum juga," kata Trubus.
Trubus juga menilai gagasan ini akan sulit diwujudkan karena bagi masyarakat yang merasa membutuhkan keuntungan jangka panjang dengan cara turut memiliki saham, mereka dapat membeli melalui pasar saham.
"Masalahnya masyarakat selama ini sudah bisa membeli saham aja di pasar bursa saham. Jadi kalau memang, keadaannya membutuhkan dividen, dia (beli) di bursa saham aja punyanya Waskita Karya," katanya.
Terkait Sultan Ground yang menerapkan sistem sewa untuk pembangunan tol Jogja-Bawean, senada dengan Nirwono, Trubus mengatakan bahwa Kasultanan merupakan badan hukum yang berdiri atas nama keraton, bukan individu. Sehingga mekanisme sewa tersebut memungkinkan untuk dilakukan.
"Sultan atas nama keraton itu berbadan hukum, kalaupun sultannya meninggal ya nanti pengurus keraton berikutnya yang diuntungkan. Jadi nggak masalah, tapi kalau masyarakat umum ya susah," katanya.
Selain itu, Trubus juga menyoroti adanya permasalahan pembagian keuntungan jika mekanisme tersebut dijalankan. Pasalnya, mekanisme koperasi juga tak menutup celah adanya penyelewengan dana yang pada akhirnya merugikan anggotanya.
"Bagaimana menjamin keuntungan dari pengelolaan jalan tol itu bisa masuk ke koperasi? Koperasi itu sampai ke anggotanya ini kan gak ada jaminan, bisa diselipkan, malah ini yang koperasi itu banyak juga yang tutup, karena pengelolaannya kan gak beres undang-undang koperasi di kita itu, undang-undangnya undang-undang yang tahun 1992," katanya.
Gagasan Politis atau Filosofis?
Pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakir memiliki pandangan lain terkait gagasan tersebut. Ia mengatakan gagasan Anies mungkin bisa dilakukan selama ada kesepakatan dari kedua belah pihak.
"Intinya pilihan tersebut harus disetujui oleh kedua belah pihak. Artinya selama ini tidak diberlakukan karena informasi kepada masyarakat tidak diberikan alternatif itu," kata Mudzakir.
Ia menilai gagasan tersebut baik untuk meninjau kembali falsafah tanah kelahiran yang selama ini diamini oleh masyarakat Indonesia. Dengan implementasi gagasan tersebut, diharapkan masyarakat punya pilihan lain selain melepas tanah miliknya. Terlebih hal tersebut juga sudah diatur oleh undang-undang.
"Saya kira itu menjadi gagasan yang bagus kalau itu untuk meninjau kembali pembebasan lahan untuk jalan tol. Filsafatnya orang Indonesia itu tanah kelahiran, tanah kelahiran itu nggak bisa dipindahkan kepada siapapun. Oleh sebab itu kita mengenal tanah adat, tanah keluarga dan macam-macam," kata Mudzakir.
Ia menilai sejumlah praktik ganti rugi yang dijalankan pemerintah selama ini hanya dapat dinikmati dalam jangka pendek oleh masyarakat. Untuk itu, kepemilikan saham dinilai dapat menjadi solusi supaya masyarakat dapat menikmati keuntungan jangka panjang dari penggunaan tanah milik mereka.
"Bisa diteliti apakah tanah-tanah yang dipakai untuk jalan tol dan berpindah hak milik apakah semakin makmur atau semakin menderita. Ganti rugi pertamina itu kan begitu dikasih uangnya dipakai beli mobil, dia nggak ngerti merawat mobil itu seperti apa. Artinya penyusutan harta itu sangat drastis sekali," katanya.
Lain hal dengan Mudzakir, Nirwono menilai gagasan tersebut cenderung memiliki tendensi politis, pasalnya selama ini proyek jalan tol memang cenderung dianggap tidak pro rakyat.
"Saya takutnya ini lebih kepada motif politik gitu ya, kemudian mengatasnamakan rakyat terhadap sebuah proyek tol, yang dalam tanda petik, itu kan dianggap istilahnya tidak pro rakyat gitu kan. Saya takutnya pemahaman seperti itulah yang digunakan oleh Pak Anies gitu ya, untuk meng-counter bahwa bagaimana jalan tol bisa lebih kerakyatan, termasuk melalui kepemilikan," katanya.
Padahal, menurutnya, sebagai bakal calon presiden, Anies harusnya mementingkan mekanisme evaluasi terhadap jalan tol yang sudah terbangun.
"Misalnya memberikan dampak manfaat bagi kota kabupaten yang dilewati terutama juga dengan warga atau masyarakat yang menggunakan jalan tol. Kalau menurut saya yang perlu diangkat sekarang adalah kita melakukan kajian. Kajian terhadap pemanfaatan jalan tol bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat," kata Nirwono.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Reja Hidayat