tirto.id - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengirimkan dokumen Amicus Curiae (sahabat pengadilan) kepada Mahkamah Agung (MA) terkait dengan sidang peninjauan kembali (PK) yang dijalani Baiq Nuril Maknun, terdakwa kasus UU ITE asal Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Direktur ICJR Erasmus A.T. Napitupulu mengatakan, Amicus Curiae berisi penilaian lembaganya sebagai pihak ketiga, terkait dengan putusan kasasi MA yang menghukum Nuril. Sebelumnya, Nuril dibebaskan dari tuntutan pada pengadilan tingkat pertama.
"Kepada majelis hakim yang mengadili perkara PK Baiq Nuril Maknun, agar dapat memutus kasus ini dengan hati-hati untuk memenuhi rasa keadilan bagi Ibu Nuril. Jangan korbankan, korban kekerasan," kata Erasmus melalui rilis kepada Tirto, Senin (25/2/2019).
Amicus Curiae ICJR atas permohonan PK Nuril, yakni menilai MA dalam mengadili perkara di tingkat kasasi telah melampaui kewenangannya sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
"Mahkamah Agung sebagai judex juris (hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara), seharusnya tidak diperbolehkan untuk memeriksa fakta, apalagi menyusun sendiri fakta hukum yang berbeda dengan judex factie (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi)," kata dia.
Erasmus juga mengatakan, MA seharusnya dalam memeriksa perkara di tingkat kasasi tidak diperbolehkan untuk menjatuhkan putusan yang lebih berat dari pengadilan yang sebelumnya.
"Dalam pemeriksaan di tingkat kasasi, majelis hakim gagal dalam melihat fakta, bukan Nuril yang melakukan perbuatan transmisi/distribusi, melainkan orang lain, yang hal ini juga diakui oleh Mahkamah Agung," ungkap dia.
Tidak hanya itu, lanjut Erasmus, apabila MA merujuk perbuatan Nuril untuk memberikan handphone kepada Haji Imam Mudawin (saksi kasus Nuril) sebagai suatu perbuatan membuat dapat diakses, maka hal tersebut juga tidak tepat.
Sebab segala perbuatan, lanjut dia, dalam Pasal 27 (1) UU ITE, harus dilakukan di dalam sistem elektronik.
"Perbuatan menyerahkan handphone bukanlah perbuatan yang dilakukan di dalam sistem elektronik. Perekaman yang dilakukan Nuril dilakukan untuk kepentingan perlindungan dirinya sebagai korban kekerasan seksual. Rekaman itu disetujui untuk diberikan kepada orang lain [Imam Mudawin], karena digunakan barang bukti untuk pelaporan [terduga pelaku pelecehan pada Nuril ke kepala dinas pendidikan]," ungkap dia.
Erasmus juga menilai MA pada tingkat kasasi gagal dalam menjawab pertanyaan hukum yang menjadi masalah dalam putusan judex factie.
Hal itu terkait dengan alat bukti elektronik yang tidak dapat dijadikan dasar dalam membuat dakwaan, sehingga dakwaan yang tidak diterapkan kepada Nuril.
"Perkara ini seharusnya tidak layak untuk diperiksa, sebab alat bukti dalam perkara ini kurang memenuhi syarat aturan minimum alat bukti dalam KUHAP," imbuh dia.
Nuril menempuh PK setelah MA memutus bersalah melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE dengan tuntutan 6 bulan penjara dan denda maksimal Rp500 juta. Sidang pertama telah digelar pada 10 Januari 2019 di Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Editor: Agung DH