tirto.id - Lazimnya ritual Hari Raya, mengunjungi kerabat adalah tugas pokok yang harus dipenuhi agar nama kita tidak dicoret dalam bagan silsilah keluarga besar. Dari daftar kerabat yang harus saya dan keluarga kunjungi saban Lebaran, ada nama yang masuk skala prioritas pertama. Bukan hanya karena faktor sebagai yang dituakan, tapi di situlah ada meja makan yang pantang dilewatkan. Meja makan di rumah Pakde, kakak kedua Ibu saya.
Baru saja kaki melangkah masuk ke rumah, bau sedap itu sudah menggelitik hidung. Demi alasan sopan santun tentu saya sebagai keponakan harus membungkuk-bungkuk dulu. Bersimpuh mohon maaf kepada Pakde dan Bude, mendengarkan rapalan doa yang tiap tahunnya selalu sama, menunggu sampai prosesi sungkeman seluruh rombongan selesai, dan berharap segera turun disposisi untuk bergerak ke ground zero: meja makan Pakde.
Di meja makan itu kami serupa jamaah haji yang sedang melakukan thawaf. Mengelilingi meja makan kayu bercat hitam berbentuk persegi seluas sekitar satu depa orang dewasa dan berkumpul untuk bergantian menyentuh satu titik penting: mangut ikan gurame yang aromanya sudah menggoda sejak kami datang.
Pakde, sebagaimana warga desa-desa di lereng Merapi, punya kolam ikan di rumahnya. Gunung api paling aktif di Indonesia itu selain memberikan kemurahan tanah vulkanik yang subur, pasir dan batu yang terus ditambangi, juga menjadi menara air yang menyediakan pasokan untuk sungai-sungai yang mengaliri lereng Merapi. Dari kolam yang dialiri air Merapi itu hidangan mangut ikan gurame datang.
Dua hari sebelum Lebaran biasanya kolam tadi dikuras untuk dipanen ikannya, atau ngesat. Jika daging sapi atau ayam jadi starting eleven di klub sebelah, hidangan berbasis ikan kolam air tawar jadi andalan di meja makan warga lereng Merapi untuk menjamu taulan di hari raya. Termasuk oleh Pakde dan Bude.
Gurame yang menduduki klasemen teratas di liga ikan air tawar ini lalu dimasak menjadi mangut dengan cara saksama namun tidak dalam tempo sesingkat-singkatnya. Mangut adalah versi ringan dari gulai. Bumbu dasarnya serupa: bawang putih, bawang merah, cabai merah, cabai rawit, kunyit, jahe, kencur, lengkuas, sereh, dan daun salam. Kuahnya adalah santan kelapa. Minus di penggunaan rempah seperti kapulaga, adas, kayumanis, cengkeh, dan pala.
Menurut buku 100 Maknyus Joglosemar yang ditulis Bondan Winarno dkk. (2016), ada dua versi mangut: versi Mataraman dan Pesisir. Versi Mataraman seperti yang dijumpai di meja makan Pakde: berbahan dasar ikan air tawar, berkuah jingga mencolok dari gerusan kunyit dan cabai merah, dan cenderung bercita rasa gurih. Sementara genre Pesisir menggunakan ikan laut utamanya ikan pari asap atau iwak pe, berkuah lebih pucat, serta menonjok lidah lewat kuahnya yang pedas sepanas hawa Pantai Utara Jawa.
Pakde dan Bude memasak mangut gurame ini sehari sebelum Lebaran. Sebagai warga Muhammadiyah, keduanya sudah mendapat kepastian tanggal 1 Syawal tanpa harus menunggu sidang isbat Kementerian Agama yang kadang membuat kecele para ibu yang sudah kadung memasak. Ikan gurame segar dari kolam kemudian dibersihkan, dikucuri dengan jeruk nipis agar tidak amis, lalu digoreng setengah matang agar tidak hancur saat dimasak berjam-jam dengan api kecil.
Bumbu-bumbu yang sudah digerus sampai halus dengan cobek dan ulekan batu Merapi ditumis sampai baunya cukup mengintimidasi orang-orang yang melewati rumah Pakde, lalu diguyur dengan santan kental dari kelapa tua. Ikan gurame goreng setengah matang tadi kemudian meluncur masuk, dibiarkan berendam dalam kuah santan kental sebentar, lalu diguyur kembali dengan santan encer. Tak lupa dibubuhi dengan daun jeruk purut. Daun jeruk ini adalah detail kecil yang mungkin terlihat tak penting. Namun jika alpa, cerita mangut Pakde ini tidak lagi sama.
Esok harinya sebelum disajikan, mangut ini dipanaskan oleh Bude sambil melakukan beberapa koreksi seperti menambahkan garam sampai mengguyur kembali dengan santan encer. Saat sudah sampai meja, festival dimulai.
Gurame sebesar kepalan tangan itu saya kerat separuhnya dulu lalu saya benamkan di nasi beras mentik wangi yang harum dan pulen. Lalu kuah berwarna vibrant diguyur. Selanjutnya adalah mata yang merem melek, kepala yang mengangguk-angguk, dan mulut yang terus mengunyah.
Daging guramenya lembut, padat, dan nihil bau tanah yang sering jadi momok dalam mengolah ikan air tawar. Kuahnya yang berlinang rempah begitu seimbang dan bergantian menjejalkan rasa gurih dan pedas, well-rounded. Pedasnya ini tidak arogan dan brutal. Hanya nylekit, mencubit sedikit-sedikit, tapi dilakukan dengan konsisten. Mirip perangai orang Jawa saat ngrasani kelakuan orang lain. Saya juga konsisten untuk kembali menyiduk nasi dan mengambil mangut gurame yang masih tersisa, dengan atau tanpa arahan Pakde dan Bude yang pasti meminta untuk kembali nambah.
Selain mangut gurame, di meja makan Pakde juga ada ikan nila goreng hasil panen dari kolam ikan miliknya. Ikan nila yang sudah direndam bumbu bawang putih, bawang merah, dan kunyit digoreng beberapa saat sebelum kami datang. Ikan nila goreng ini ditemani sambal. Garing di luar, gurih dan lembut di dalam. Sambal bawangnya pun segar dengan tomat merah yang langsung diulek Pakde begitu batang hidung kami tampak.
Mohon maaf lahir batin Megawati ketua Dewan Pengarah BRIN, Anda boleh saja mencela perkara goreng menggoreng. Tapi ikan nila goreng garing dan sambal bawang Pakde ini adalah alasan kesekian untuk balik mencela Anda.
Pencuci mulutnya adalah aneka penganan manis. Dari jenang, wajik, sampai yangko kacang. Yangko ini bukan seperti yangko khas Kotagede yang bertekstur padat dan rasa manisnya menggigit. Yangko yang jamak ditemui di wilayah Magelang dan sekitar ini lebih mirip moci yang dipotong persegi. Teksturnya lebih kenyal, tidak terlampau manis, dengan isian yang mirip dengan yangko Kotagede: kacang tanah tumbuk dan gula merah. Yangko ini disajikan dengan pulasan dari “bedak” tepung ketan supaya tidak lengket satu sama lain. Perayaan ini kemudian ditutup dengan segelas teh nasgitel.
Dari cerita Ibu, sejak muda Pakde memang cekatan untuk urusan pekerjaan rumah tangga di keluarga Simbah yang beranak pinak sampai enam orang. Dari urusan mencuci pakaian sampai membuat sambal, beliau termasuk prigel, tas tes, sat set, bat bet kalau istilah Jawanya.
Meja makan Pakde ini seolah membuat kami melupakan kesehariannya sebagai grumpy old man. Sosok yang seringkali menggerutu ulah keponakan-keponakannya yang seakan selalu salah di mata beliau. Pun meski beliau harus menjalani diet rendah garam dan gula karena kompikasi darah tinggi dan diabetes, menu-menu tadi tetap disajikan tanpa mengurangi takaran bumbu, sembari beliau mencuri kesempatan sedikit-sedikit untuk mencicipi buah karya bersama istrinya.
Tapi sudah dua Lebaran mangut dan ikan nila goreng Pakde tidak lagi sama. Pandemi membuat anjangsana ke rumah Pakde tidak lagi bisa dilakukan. Pun, meski tahun ini mudik sudah boleh dilakukan, saya tak lagi bisa bertemu Pakde yang sudah mendahului kami menghadap Yang Kuasa pada penghujung tahun 2019 lalu. Saat itu selepas melayat Pakde saya beringsut untuk pergi ke Rumah Makan Cindelaras yang punya sajian mangut ikan air tawar yang terpujikan. Pakde seringkali membawa menu mangut ikan untuk buah tangan saat berkunjung ke rumah Simbah, tempat saya tinggal dari SMA sampai lulus kuliah.
Saat kembali datang ke rumah makan tua di pinggiran kota Muntilan itu suasananya masih sama. Susunan meja kursinya masih sama, nenek tua yang meracik hidangan masih sama, rasanya juga masih sama: kuah santan penuh rempah namun punya aftertaste "enteng" serta ikan yang garing tapi moist. Saya membayangkan Pakde makan dengan antusias, lalu diakhiri sendawa panjang "Aaaalhamdulillah..”, seperti ketika saya mentraktir beliau, Simbah, Paklik, dan sepupu-sepupu saya makan-makan selepas wisuda sarjana 12 tahun silam.
Al-Fatihah, Pakde. Selamat mancing ikan di sungai-sungai surga dan masak mangut bersama para penghuni surga.
Editor: Nuran Wibisono