tirto.id - Unggahan asli Tirto di laman Facebook adalah soal pembunuhan misionaris Kristen di pedalaman suku kanibal. Tapi ada salah seorang komentator, seperti biasa, yang melontarkan pertanyaan ajaib yang konon selalu mampu menghindarkan warganet dari debat kusir.
“Kenapa ada gaya sex "misionaris"? Kenapa harus pake nama “misionaris”?”
Intisari dari definisi posisi misionaris yang tercantum dalam beberapa kamus besar adalah posisi misionaris sebagai gaya berhubungan seks di mana perempuan berbaring telentang dan pasangan berada di atas tubuhnya, dengan wajah saling bertatapan.
Salah satu akademisi yang pernah mengulas cukup dalam perihal asal-usul etimologis posisi seks "misionaris" adalah Robert J. Priest, profesor studi lintas budaya di Trinity International University, Amerika Serikat. Ia mempublikasikannya ke dalam artikel ilmiah bertajuk Missionary Position: Christian, Modernist, Postmodernist di Jurnal Current Antropology (2001).
Sejumlah sumber yang Robert kutip menerangkan asal-usul istilah “posisi misionaris” berkaitan dengan misi penyebaran ajaran Kristen di pedalaman yang dilakoni oleh keluarga-keluarga misionaris. Kebanyakan dari targetnya berstatus sebagai anggota suku dengan gaya hidup primitif.
Random House Unabridged Dictionary edisi kedua, misalnya, menjelaskan bahwa posisi misionaris “disebut demikian karena diduga disukai oleh misionaris Kristen yang sedang bekerja di tengah-tengah masyarakat adat, ketimbang posisi di mana pria mendekati perempuan dari belakang.”
Keluarga misionaris dari Eropa memulai menjelajah gugusan kepulauan di Samudera Pasifik Selatan sejak awal abad ke-19. Semangat dakwah membuat mereka berani untuk menantang kemungkinan bertemu dengan suku-suku kanibal yang tinggal di Papua Nugini, Kepulauan Fiji, hingga Polinesia Perancis.
Para misionaris, lanjut Robert, kaget karena orang-orang di kawasan tersebut tidak membatasi diri pada satu gaya seks. Misionaris menilainya sebagai aktivitas yang mengandung dosa. Mereka pun akhirnya mengajari orang-orang lokal posisi saling bertatap muka dengan laki-laki di atas perempuan. Oleh warga setempat, gaya itu disebut posisi misionaris.
Namun, rupanya Robert belum puas dengan penjelasan tersebut. Ia kemudian melakukan penelusuran lebih dalam, dan menemukan buku Sexual Behavior in the Human Male, karya seksolog Alfred Kinsey dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1948.
Alfred menyebut orang-orang Amerika memakai istilah “posisi Inggris-Amerika” (English-American position) sebelum istilah “posisi misionaris” populer. Varian lainnya antara lain “posisi perkawinan” (the matrimonial), “posisi Mama-Papa”, atau “posisi superior laki-laki” (the male superior position).
Alfred kemudian membahas buku karya seorang antropolog ternama Bronislaw Malinowski berjudul The Sexual Life of Savages in North-Western Melanesia (1929). Ia menulis:
“Malinowski menunjukkan berbagai posisi yang berbeda-beda yang digunakan hampir secara universal oleh orang-orang di Kepulauan Trobiand (Papua Nugini bagian timur). Saat menunjukkan karikatur posisi Inggris-Amerika selama duduk-duduk di sekeliling api unggun, sebagian dari mereka tertawa dan menyebutnya sebagai ‘posisi misionaris’”.
Perlu diketahui bahwa sebelumnya istilah “posisi misionaris” belum pernah dipakai oleh leksiografer (ahli perkamusan) atau seksolog. Namun, analisis kritis Robert berhasil membongkar beberapa faktor yang menyatakan bahwa Kinsey sebenarnya mengambil kesimpulan secara kacau.
Untuk kesalahan minor, menurut Robert, orang-orang asli Trobiand tidak mengelilingi api unggun, melainkan di bawah cahaya bulan purnama.
Untuk kesalahan yang lebih serius, orang-orang asli Trobiand memang mengejek karikatur yang menunjukkan posisi seks laki-laki di atas perempuan dengan wajah saling bertatapan, tapi tidak memberikan konteks yang jelas. Kinsey bilang posisi itu dipelajari dari “pedagang, tukang kebun, atau pejabat kulit putih”. Tapi orang-orang Trobiand tidak menyebut “misionaris”.
Ada dua kekeliruan utama yang Kinsey lakukan saat menganalisa buku Bronislaw.
Pertama, ia ingat Gereja Katolik abad pertengahan sudah mengajarkan posisi tersebut. Hal ini amat mengendap di kepalanya. Jadi, saat membaca bahwa orang-orang Trobiand tertawa mengejek karikatur posisi seks yang ditunjukkan Bronislaw, Kinsey mengasumsikan bahwa posisi itu diajarkan oleh misionaris.
Kedua, Bronislaw melihat sepasang laki-perempuan Trobiand yang saling bersandar dan memegang tangan. Bronislaw mengira sikap itu wajar dilakukan oleh pasangan yang mau menikah. Tapi ia kemudian diberitahu bahwa perilaku itu sebenarnya dilarang oleh adat. Orang-orang Trobiand belum lama mempraktikkannya dengan meniru perilaku pasangan misionaris.
“Itu misinari si bubunela, atau “kebiasaan misionaris”, salah satu tindakan menyimpang yang diperkenalkan oleh misionaris,” tulis Bronislaw, sebagaimana dikutip Robert.
Kinsey salah tangkap. Ia kira misinari si bubunela berarti posisi misionaris, dan ia dengan mantap memakai istilah tersebut untuk mendeskripsikan gaya hubungan seksual di mana laki-laki berada di atas perempuan dalam posisi wajah saling berhadapan.
“Kinsey rupanya menciptakan sebuah legenda sambil percaya dirinya sedang melaporkan fakta sejarah sembari menciptakan istilah berdasarkan sumber-sumber lama,” simpul Robert.
Terlepas dari segala kekeliruan, hal ini jarang diketahui publik. Namun, pemakaian istilah posisi misionaris meluas, menyebar melalui mulut ke mulut, baik dari orang yang membaca buku, majalah, atau jurnal tentang seks.
The Joy of Sex adalah buku karya Alex Comfort yang menjadi salah satu buku panduan seks non-fiksi paling legendaris sekaligus paling laris. Sejak dirilis pada 1972, Joy of Sex punya andil besar dalam mempopulerkan istilah posisi misionaris.
Kamus-kamus besar segera membakukannya. Kamus Bahasa Inggris Oxford, misalnya, memasukkannya ke daftar kata baru pada 1976. Pada 1990-an kamus-kamus Spanyol, Perancis, dan Jerman menyerapnya. Hasilnya adalah “postura del misionero” dalam bahasa Spanyol, “position du missionnaire” untuk Perancis, dan “missionarsstellung” untuk Jerman.
Nama boleh bervariasi, namun akhirnya gaya inilah yang paling populer di antara gaya lainnya. Ada juga yang menganggapnya sebagai gaya dasar. Seksolog menilainya sebagai salah satu posisi terbaik untuk menghamili pasangan, psikolog beranggapan posisi ini adalah yang paling efektif untuk meningkatkan aspek romantisisme dalam hubungan seksual.
Editor: Windu Jusuf