tirto.id - Seks dapat menjadi perkara yang berpengaruh besar terhadap kondisi hubungan pasangan suami istri. Ketidakpuasan maupun komunikasi yang buruk soal hubungan seks bisa jadi bom waktu dalam pernikahan. Tak hanya itu, ada pula masalah lain semisal nihilnya aktivitas seks dalam kurun waktu lama, atau biasa disebut sexless marriage. Pernikahan zonder seks.
Tahun 2015, Seth Stephens-Davidowitz sempat menulis artikel di New York Times. Ia menyebutkan, per bulan ada rata-rata 21.090 Googling dengan kata kunci sexless marriage. Padahal, di saat bersamaan, kata kunci unhappy marriage hanya 6.029 pencarian, loveless marriage sebanyak 2.650, dan no sex sebanyak 1.300. Ini artinya, pernikahan tanpa seks bukan masalah yang tak umum.
Ada ragam pemahaman tentang sexless marriage. Dikutip dari buku Low Fertility and Reproductive Health in East Asia (2015), Japan Society of Sexual Science mendeskripsikan sexless sebagai kondisi ketiadaan aktivitas seksual pasangan yang berlangsung selama sebulan atau lebih dan kondisi ini terus berlanjut di masa depan.
Keengganan mengubah situasi seperti yang dideskripsikan itu, sesuai dengan temuan survei Japan Family Planning Association tahun 2016. Dari 655 responden berstatus menikah, 47,2 persen mengaku tidak berhubungan seks selama lebih dari sebulan dan tidak berniat mengubah kondisi ini. Jumlah itu naik dari tahun 2014, yakni 44,6 persen.
Pemahaman lain tentang sexless marriage adalah hubungan badan pasangan menikah yang terjadi kurang dari 10 kali dalam setahun. Namun, pandangan ini dikritisi oleh Susan Yager-Berkowitz, salah satu penulis Why Men Stop Having Sex: The Phenomenon of Sexless Relationship and What You Can Do About It. Dalam Reader’s Digest ia menyatakan, “Bila pasangan merasa puas dengan hubungan intim kurang dari sekali sebulan dan merasa bahagia dalam pernikahannya, saya ragu mereka akan menyebut kondisi rumah tangganya sebagai sexless marriage…”
Beragam media pun merilis artikel untuk memperbaiki kondisi ini dengan mencantumkan pendapat para pakar. Seks kerap diamini sebagai suatu hal menyenangkan dan penting dalam membentuk keintiman sebagai syarat pernikahan bahagia.
Ditilik dari alasannya, ada sejumlah faktor yang mendasari terciptanya kondisi pernikahan tanpa seks. Berdasarkan penelitian di Jepang tadi, lebih dari sepertiga laki-laki menikah mengatakan banyaknya pekerjaanmembuat mereka terlalu letih untuk bercinta. Alasan-alasan lainnya adalah pandangan bahwa istri hanya salah satu anggota keluarga, bukan partner seksual, serta perubahan hasrat bercinta seiring dengan kehadiran anak.
Alasan medis dapat pula menyebabkan hal ini. Sussan K. Whitbourne, Ph.D., profesor emerita Kajian Psikologis dan Otak di University of Massachusetts Amherst menyatakan, penyakit yang diderita salah satu atau kedua pihak dan konsumsi obat-obatan tertentu bisa mengakibatkan menurunnya libido.
Seiring waktu, pasangan yang sudah lama menikah juga dapat mengalami kejenuhan sehingga aktivitas seksual tidak lagi semenarik seperti saat awal mereka menjadi suami-istri. Terkait dengan pekerjaan, kepuasan bercinta bagi sebagian orang dirasa tidak lebih memuaskan dibanding dengan ganjaran dari prestasi yang diperoleh dalam karier. Fokus pencarian kepuasan mereka bergeser dari intimasi dengan pasangan ke aktualisasi diri dan imbas positif dari kolega, atasan, atau klien.
Kekecewaan atas perlakuan atau sakit hati setelah mengalami peristiwa lain di luar masalah ranjang bisa pula berimbas terhadap minat bercinta pasangan. Pengalaman Heri (33, bukan nama sebenarnya), saat berumah tangga sejak 2009 hingga 2017 menunjukkan hal ini.
Sepanjang 2015, Heri mengatakan bercinta dengan sang istri kurang dari sepuluh kali. Kehidupan seks Heri memburuk karena pikiran istrinya tidak bisa lepas dari permasalahan keluarga yang berlarut-larut. Ia bercerita, pada masa-masa seperti itu, pola komunikasinya dengan istri begitu buruk.
“Pas awal-awal menikah, istri saya malah yang lebih sering berinisiatif memulai bercinta, lalu kondisinya jadi berbalik,” kata Heri, “Dia berkali-kali ngomongin soal keluarga dan trauma-traumanya. Mulanya saya dengarkan dan tanggapi, tapi lama kelamaan karena keluhannya sama, saya biarkan dan lanjut kerja. Lantas, dia marah.” Karena permasalahan yang melulu dipikirkannya ini, istri Heri kerap menolaknya bercinta.
Menurut Whitbourne, penolakan untuk bercinta dapat menimbulkan penilaian atau kepercayaan diri yang menurun karena merasa mereka tidak menarik lagi. Perasaan tertolak inilah yang berpotensi menggerogoti hubungan pernikahan seseorang sehingga perhatiannya beralih ke hal lain yang mendatangkan kesenangan baginya.
Namun bagi Heri, bukan penolakan berhubungan seks yang membuat relasinya makin buruk. Ia masih bisa mencari alternatif pemenuhan kebutuhan seksual dengan bermasturbasi. Tetapi, pilihan tindakan tersebut malah memicu kemarahan lain istrinya. Keadaan tidak menyenangkan ini masih coba dihadapi oleh Heri sampai awal 2016. Ia masih berusaha mengajak istrinya makan bersama atau menonton.
“Walau sedang ada masalah dalam hubungan kami, selama 2015 itu kami masih tidur bareng sambil berpelukan. Cuma aktivitas seksual aja yang menurun banget,” terang dia. Setahun sejak 2016, mereka akhirnya memilih berpisah rumah.
Apakah Heri menganggap berkurangnya aktivitas seksual dengan istrinya masalah besar dalam pernikahannya dulu? “Dengan atau tanpa seks dengan istri, saya bisa bertahan dalam relasi asalkan memang ada koneksi emosional dengan dia. Tapi nyatanya, saya malah makin merasa berjarak dengan istri pada akhir masa pernikahan dulu,” jabar Heri. Selain lebih memprioritaskan koneksi emosional, ia juga mengaku memiliki dorongan seks yang tidak terlalu tinggi sehingga jarangnya aktivitas seksual dianggap bukan masalah utama.
Sexless marriage yang dialami Heri terjadi karena ada masalah dalam relasinya dengan istri, tetapi lain halnya dengan kisah personal yang tertulis dalam artikel “ ‘I Don’t Think We’ll Ever Have Sex Again’: Our Happy, Cuddly, Celibate Marriage” di The Guardian. Pasangan Brian-Alison, bukan nama sebenarnya, menginjak usia 40-an akhir dan sudah 25 tahun menikah pada 2017 lalu. Selama 20 tahun terakhir, mereka menyatakan tidak lagi berhubungan seks.
Brian dan Alison sudah memiliki satu putri dan setelah kelahiran anaknya itu, mereka berdua merasa tidak berhasrat bercinta. Sempat Alison berpikir untuk mengunjungi konselor pernikahan bersama suaminya karena merasa hubungan mereka tidak normal dalam aspek seks pasangan menikah. Namun, Brian tidak memperkarakan apa yang dianggap normal atau tidak bagi mayoritas masyarakat. Yang terpenting buatnya adalah satu sama lain masih saling tertarik dan mau menghabiskan waktu bersama.
Alison pun pada akhirnya sepaham dengan Brian. Ketiadaan hubungan seks dengan sang suami tidak membuatnya berniat melirik laki-laki lain karena ia sudah bahagia bersama Brian. Ia mengkritisi pula bagaimana keselibatan dalam pernikahan masih dianggap tabu, padahal sepengalamannya, hal tersebut bukan sesuatu yang negatif dan Alison tidak malu menjalani hubungan pernikahan tanpa seks.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nuran Wibisono