Menuju konten utama

Sejarah PGRI Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan Indonesia

Sejarah HUT PGRI sebelum dan sesudah kemerdekaan RI berkaitan dengan Hari Guru Nasional.

Sejarah PGRI Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan Indonesia
Logo PGRI. wikimedia commons/fair use/ The official website of Persatuan Guru Republik Indonesia

tirto.id - Hari Guru Nasional (HGN) diperingati setiap tanggal 25 November dan tahun ini jatuh bertepatan pada hari Jumat (25/11/2022). Sejarah peringatan HGN bersamaan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) PGRI.

Peringatan HGN erat kaitannya dengan perhelatan Kongres Guru Indonesia di Surakarta pada 23-25 November 1945.

Kongres Guru Indonesia dinilai berhasil menyatukan para guru dari seluruh wilayah Indonesia yang berbeda latar belakang, ideologi, dan status profesi.

Pada kongres tersebut, yang terlibat tak hanya guru yang masih aktif mengajar saja, tetapi juga para pensiunan guru.

Ahmad Kosasih dalam jurnal Sosio e-Kons (Vol. 8, 2016) "Perjuangan Organisasi Guru di Masa Revolusi Sejarah PGRI di Awal Pendiriannya" menyebutkan, kelak kongres itulah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Dikutip dari situs resmi PGRI, organisasi ini disebut sebagai perkumpulan yang unitaristik, independen, dan non-partisan. Artinya, arah pandang organisasi dan keanggotannya bersifat nasionalisme pluralistis.

Sejarah Perserikatan Guru Sebelum Kemerdekaan RI

Beberapa dekade sebelum Kongres Guru Indonesia dihelat, para guru terdahulu membentuk organisasi Persatoean Goeroe Hindia Belanda (PGHB).

Salah seorang anggota Budi Utomo, Dwidjosewojo mulai memikirkan nasib para guru bumiputra di ujung tanduk kolonialisme Belanda.

Memoar Dwidjosewojo ditulis rinci oleh D. Sutamto dalam Dwidjosewojo 1867-1943: Tokoh Pergerakan Nasional Pendiri Bumiputera 1912 (1992). Di situ, Dwidjosewojo disebut sebagai guru lulusan Kweekschool Probolinggo tahun 1886.

Waktu itu, Kweekschool dan Hoogere Kweekschool dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda guna mencukupi pemenuhan kebutuhan tenaga pendidik bumiputra bagi sekolah-sekolah bentukan Pemerintah Hindia Belanda.

Selanjutnya, para lulusannya ditempatkan di sekolah di atas sebagai guru bersertifikat "mantri guru" yang gajinya setara dengan asisten wedana.

Namun kenyataan di lapangan justru berbeda. Kebutuhan hidup bulanan di Hindia Belanda selalu lebih tinggi dibanding penghasilan. Sementara itu di lain sisi, guru-guru bumiputra non-sertifikat ditelantarkan oleh pemerintah.

Dwidjosewojo lalu berinisiatif mengumpulkan para guru bumiputra. Mula-mulanya, ia mengajak Karto Hadi Soebroto (guru Bahasa Melayu di MOSVIA, Magelang) dan N. Boediardjo guna mendiskusikan gagasannya itu.

Usulan Dwidjosewojo terkait kesejahteraan guru akhirnya diterima oleh forum, hingga dibentuklah PGHB pada 1 Januari 1912.

Kemudian kongres lanjutan diselenggarakan di Magelang pada 12 Februari 1912 guna membahas struktur organisasi.

Hasil putusan kongres menyatakan Karto Hadi Soebroto sebagai ketua, Dwidjosewojo menjabat sekretaris, dan Adwiwidjojo (Guru Sekolah Kelas Satu Magelang) selaku bendahara.

Selain itu, Dwidjosewojo juga berhasil mendirikan lembaga asuransi bernama Onderlinge Levensverzekering Maatschappij PGHB.

Nantinya, lembaga asuransi ini menjadi Asuranji Jiwa Boemipoetra yang membantu kelangsungan hidup para guru bumiputra.

Selain itu, PGHB juga mendapatkan lisensi kelembagaan resmi dari Pemerintah Hindia Belanda pada 18 Desember 1912.

Pada 1932, PGHB mengumumkan perubahan nama organisasinya menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI).

Pengumuman ini menimbulkan perdebatan di kalangan Pemerintah Hindia. Pasalnya, penyematan "Indonesia" yang dipilih guna menggantikan "Hindia Belanda" ditengarai sebagai upaya revolusi. Akibatnya, PGI dibekukan oleh pemerintah.

Sejarah PGRI Setelah Kemerdekaan

Selama masa pembekuan, aktivitas PGI ikut padam. Apalagi sewaktu pendudukan Jepang, segala praktik kependidikan dari kalangan pribumi dilarang keras. Sampai akhirnya, PGI benar-benar bisa mencuat ke permukaan.

Tepat 100 hari pasca-kemerdekaan atau 23-25 November 1945, PGI kembali menggelar kongresnya usai lama vakum.

Kongres itu dipimpin oleh Amin Singgih yang kemudian lahirlah PGRI sebagai salah satu upaya membantu RI mencerdaskan kehidupan bangsa.

Selain membantu lewat jalur pendidikan, para anggota PGRI juga turut mengokang senjata ketika Agresi Militer Belanda.

Sebagian dari mereka meleburkan diri bersama TKR guna mengusir Belanda yang hendak menduduki kembali wilayah Indonesia.

Sementara beberapa guru perempuan bertugas di dapur umum atau bergabung ke Palang Merah Indonesia (PMI), membantu tenaga logistik dan medis para kombatan republik. Pengakuan itu ditulis oleh PGRI di Buku Sejarah Perjuangan Jatidiri PGRI (2008).

Selanjutnya, sebagai upaya memajukan serta meningkatkan taraf pendidikan, PGRI mulai merombak metode pengajaran berbasis wacana kolonialisme ke nasionalisme.

Orientasinya didasarkan pada pandangan landasan ideal Pancasila dan UUD 1945.

Selain itu, PGRI juga menyusun publikasi media massa sebagai sarana komunikasi dan informasi. Mereka mendirikan majalah Guru Sasana 1948, yang namanya berubah menjadi majalah Suara Guru.

Sebagai upaya penghormatan dari pemerintah kepada guru, tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional melalui Perpres No. 78/1994 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PGRI atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Iswara N Raditya