Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Lokasi Pusat Kerajaan Majapahit: Benarkah di Trowulan?

Benarkah lokasi pusat Kerajaan Majapahit terletak di Trowulan?

Sejarah Lokasi Pusat Kerajaan Majapahit: Benarkah di Trowulan?
Gerbang Bajang Ratu Anggun peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.

tirto.id - Lokasi pusat Kerajaan Majapahit, terutama pada masa kejayaannya di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389), kerap diyakini terletak di Trowulan atau yang kini berada di wilayah Mojokerto, Jawa Timur. Benarkah sejarah mengenai letak ibu kota Majapahit tersebut?

Pujangga legendaris Majapahit, Mpu Prapanca, pernah meriwayatkan prosa-prosa romantisisme tentang kerajaan besar tersebut. Lewat Nagarakertagama (1365), ia menuturkan silsilah para raja pendahulu Majapahit, upacara dan tradisi kerajaan, lawatan hingga aksi heroik para penguasa, serta arsitektur masyhur tinggalan peradaban Hindu-Buddha.

Satu hal yang cukup menarik untuk dikaji ialah uraian lokasi Keraton Majapahit sewaktu Hayam Wuruk bertakhta pada 1350 hingga 1389. Hayam Wuruk disebut-sebut raja terbesar Majapahit yang membawa kerajaan ini ke puncak kejayaan bersama Mahapatih Gajah Mada.

Hayam Wuruk memerintah dari singgasana keraton, kompleks pusat adikuasa Majapahit. Poros kompleks itu menghadap ke arah barat. Di tengahnya, mengalir jernih air dari sungai kecil yang bermuara di tebat kecil pula. Daun pintu gerbangnya dibikin dari besi kokoh nan molek lekuk ukirannya.

Begitulah kiranya rekaan rupa singgasana Majapahit yang digambarkan Negarakertagama. Sejatinya, kompleks itu serupa kota. Bangunannya mirip dengan gedung-gedung besar yang menjulang tinggi.

Tak serta merta arsitektur di kawasan tersebut cuma mengacu perkara pemerintahan, tetapi juga urusan politik dan ekonomi. Dari situlah, Sartono Kartodirdjo dalam Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial (1977) menggambarkan pusat Kerajaan Majapahit seumpama kota berteknologi.

Teknologi yang dimaksud tentu saja sesuai dengan perkembangan peradaban di Jawa kala itu yang masih kental nilai tradisinya, yakni dari kebudayaan Hindu-Buddha.

Benarkah Trowulan Pusat Kerajaan Majapahit?

Banyak literatur menyebut Situs Trowulan merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit. Untuk meneliti lebih detail, pemerintah kolonial Hindia Belanda khusus membentuk badan purbakala bernama Oudheidkundige Vereeneging Majapahit (OVM) pada 15 April 1924.

OVM didirikan oleh para insinyur dan arkeolog Belanda yang diprakarsai oleh Henry Maclaine Pont. Mereka meneliti segala artefak di Trowulan, mulai dari bangunan, struktur, arca, relief, pecahan gerabah dan keramik, serta lainnya. Data menunjukkan, terdapat kehidupan yang mendiami wilayah ini sejak dahulu kala.

H.M. Pont lewat "Madjapahit, Poging tot Reconstructie van het Stadsplan, nagazocht op het Terrein aan de Hand van den Middelleuws chen Dichter Prapanca" yang terhimpun dalam arsip OV:36-75 & 157-199 (1924) memaparkan terkait hasil risetnya terkait Trowulan ini.

Disebutkan, nama Trowulan berhulu dari istilah Setra Wulan dan Sastrawulan. Pont menyimpulkan Setra Wulan usai memaknai Serat Kandha. Sedangkan istilah kedua merujuk kepada wasiat raja terakhir Majapahit, Brawijaya V, agar dimakamkan di daerah bernama Sastrawulan.

Lantas, apakah Trowulan merupakan ibu kota Majapahit? Perdebatan terkait hal ini sempat mencuat dan ditulis dengan beberapa catatan oleh Agus Aris Munandar dalam Ibukota Majapahit, Masa Kejayaan dan Pencapaian (2008).

Pertama, jika merujuk pada Kitab Pararaton, Raden Wijaya mendirikan Majapahit di sekitaran Hutan Trik, tepi Sungai Brantas. Sementara Situs Trowulan yang dikenal sekarang, terletak di daerah pedalaman dan lumayan jauh dari Sungai Brantas.

Kedua, apabila hipotesis mengenai kepindahan pusat kerajaan ke Trowulan diyakini, mestinya diuraikan dalam bentuk prasasti tertentu. Sedangkan Negarakertagama dan literatur lainnya yang diproduksi pada era Majapahit tidak menyinggung ihwal pemindahan ibu kota.

Bukti kuat posisi ibu kota mengarah ke Trowulan adalah laporan pelayar Cina, Ma-Huan, yang berlabuh di pesisir utara Jawa Timur pada 1413, di sekitar Surabaya sekarang. Ia kemudian menyusuri Kali Mas lalu menambatkan kapal di Desa Canggu sebelum menelusuri pedalaman dengan jalur darat menuju arah barat daya.

Dalam laporan itu, tertulis nama Man-che-po-i (Majapahit) setelah Cang-ku (Canggu). Diriwayatkan, perjalanan dari Cang-ku menuju Man-che-po-i memakan waktu satu setengah hari. Gagasan itu serasa logis, melihat jarak lurus Canggu ke pusat Majapahit yakni Trowulan adalah sejauh 20 km.

Tulisan A.S. Wibowo berjudul "Nagarakertagama dan Trowulan" yang terhimpun dalam jurnal Arkeologi (Vol. 4, 1983) berkesimpulan bahwa perdebatan Trowulan sebagai pusat Kerajaan Majapahit tak pernah berujung.

Para ahli, termasuk Wardenaar (peneliti tertua di Trowulan yakni pada 1815) hingga masa Pont (1920) tak pernah mengidentifikasikan dengan pasti bahwa Trowulan adalah ibu kota Kerajaan Majapahit.

Di sisi lain, kisah-kisah lisan alias oral history justru bermunculan sejak awal abad ke-19, sehingga berpotensi mengurangi objektivitas sejarah. Bahkan, klaim-klaim lemah muncul usai para peneliti mencetuskan hipotesis mengenai Trowulan sebagai ibu kota Majapahit (post-factum).

Lingkungan Trowulan kini telah bertransformasi menjadi sosok yang berbeda dengan zaman dahulu. Toponiminya telah bergeser ke modernisme, meninggalkan identitas tradisional era Majapahit.

Tentang Situs Trowulan

Menurut tulisan Nurhadi Rangkuti berjudul "Daerah Pinggiran Kota Majapahit" dalam makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi (2002), Trowulan diklaim sebagai situs terluas Majapahit dengan wilayah mencakup masing-masing dua kecamatan dan kabupaten.

Selain itu, Situs Trowulan juga menyimpan cukup banyak artefak. Pada pertemuan Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II pada 1988, Fadhila Arifin Aziz menyampaikan gagasannya lewat tulisan bertajuk "Limbah Sisa Fauna: Salah Satu Bentuk Hasil Perilaku Konsumsi Pangan Masyarakat Trowulan Kuno".

Di pertemuan itu, Fadhila menyebut bahwa berbagai aktivitas agama, perdagangan, pertanian, dan pemerintahan Majapahit berlangsung di Trowulan. Aktivitas itu ditandai dengan peninggalan materialistik berupa candi, arca, lingga, yoni, saluran air, kanal, waduk, prasasti, dan mata uang.

Prasasti tertua yang ditemukan di Trowulan bertarikh 861 Saka, sezaman dengan pemerintahan Mpu Sinduk (929-947 M) di Kerajaan Medang atau Mataram Kuno. Dari sini dapat dikaji bahwa Trowulan sudah punya peradaban jauh sebelum Kerajaan Majapahit muncul pada 1293 Masehi.

Sementara prasasti termuda yang ditemukan di Situs Trowulan termuda adalah batu nisan di kompleks pemakaman Islam Tralaya dan bertarikh 1487 Saka.

Candi Tikus

Candi Tikus. wikimedia commons/free/Gunawan Kartapranata

Di sisi lain, meskipun Trowulan terletak di daerah pedalaman berupa dataran rendah, terdapat keyakinan jika kanal-kanal air berjejaring menghubungkan kota dengan sungai.

Sugeng Riyanto melalui tulisannya di jurnal Berkala Arkeologi (Vol. 30, 2010) yang berjudul "Tinjauan Kembali Keberadaan 'Kanal' di Kota Majapahit" belum bisa memastikan kanal-kanal itu dibangun pada masa Majapahit, tetapi bisa jadi masa sesudahnya.

Perkiraan ini meninjau daerah Trowulan semasa penjajahan Belanda digunakan sebagai sentra industri pabrik gula. Maka dari itu, dibangunlah saluran irigasi guna mengairi pertanian tebu.

Sayangnya, konstruksi historis Majapahit di Trowulan ada yang rusak dan berubah bentuknya karena aktivitas manusia seperti eksplorasi liar atau ekskavasi ilegal.

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Iswara N Raditya