tirto.id - Pada 26 Januari 1949, tepat hari ini 70 tahun silam, pesawat komersial milik maskapai Indonesia pertama kali mengudara. Itulah pesawat milik Indonesian Airways bernama Seulawah dengan nomor RI-001. Kalkuta-Rangon adalah rute pertama yang diterbangi Seulawah.
Sebermula adalah pidato Presiden Sukarno di Aceh pada 16 Juni 1948. Ia mengatakan Indonesia kini butuh pesawat untuk pertahanan udara dan penghubung antarpulau. Pidato itu berkaitan dengan gagasan KSAU kala itu, Komodor Udara Suryadi Suryadarma.
Untuk kepentingan pembelian pesawat itu Suryadarma membentuk Fond Dakota. Suryadarma lantas menunjuk Opsir Muda Udara II Wiweko Soepono sebagai Kepala Biro Rencana dan Propaganda serta Opsir Muda Udara Salatun sebagai Kepala Biro Penerangan. Opsir Salatun lalu menggalang dana ke beberapa daerah di Sumatra bersamaan dengan safari Presiden Sukarno.
Mengapa Sumatra dijadikan daerah kampanye penggalangan dana?
Laman resmi Dinas Penerangan TNI AU (Dispenau) menyebut bahwa Sumatra secara geografis lebih memungkinkan untuk membangun hubungan dagang dengan luar negeri. Tentu dengan cara menyelundup karena adanya blokade Belanda.
“Karena potensi itulah Sumatera sangat tepat untuk dijadikan sasaran dana Dakota. Daerah yang dituju adalah Lampung, Bengkulu, Jambi, Pekanbaru, Bukittinggi, Tapanuli, dan Aceh,” tulis Dispenau dalam artikel "Mengenang Pesawat Dakota RI-001 Seulawah".
Sukarno mampu menggugah rakyat Aceh untuk berderma demi Republik. Segera setelah pidato usai, terbentuklah Panitia Dana Dakota yang diketuai Djuned Yusuf dan Muhammad Al Habsji. Ada pula Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) yang urun serta.
Dalam Daud Beureueh: Pejuang Kemerdekaan yang Berontak (2011) yang disunting Nugroho Dewanto, disebut bahwa Gasida berhasil mengumpulkan dana 130 ribu straits-dollar hanya dalam dua hari kampanye. Itu masih ditambah dengan lima kilogram emas. Dengan dana sejumlah itu saja sebenarnya bisa terbeli dua buah Dakota.
Opsir Wiweko lah yang kemudian ditugasi membeli pesawat dengan dana itu. Ia pergi ke Filipina dan membeli sebuah pesawat Dakota milik Amerika Serikat. Karena suatu sebab, pesawat itu tak bisa langsung diterbangkan ke Indonesia. Maka, mula-mula ia diterbangkan ke Hong Kong, Yogyakarta, lalu baru sampai ke Aceh. Pesawat Dakota itu lantas diberi nomor registrasi RI-001 dengan nama Seulawah dan sampai di Indonesia pada Oktober 1948.
Sejarawan Asvi Warman Adam menyebutkan beberapa detail yang berbeda dari kedua sumber sebelumnya. Dalam artikel bertajuk “Hari Lahir Garuda” yang terbit di harian Kompas, 23 Oktober 2009, Asvi mencatat emas yang terkumpul sebenarnya lebih banyak, mencapai 20 kilogram. Juga, Wiweko membeli pesawat Dakota bukan di Filipina, melainkan di Singapura.
Jadi Indonesian Airways
Sejak awal pesawat itu dioperasikan AURI sebagai alat transportasi bagi pejabat negara. Karena itulah nomor registrasinya menggunakan kode “RI”.
“Tugas pertamanya membawa Hatta dalam kunjungan kerja ke Sumatera (Yogyakarta- Jambi-Payakumbuh-Kutaraja-Payakumbuh-Yogya). Awal Desember 1948 pesawat harus mendapat servis dan penambahan kapasitas tangki bahan bakar sehingga diterbangkan ke Calcutta. Perawatan ini diperkirakan akan memakan waktu tiga pekan,” tulis Asvi.
Pada 6 Desember 1948 Seulawah diterbangkan ke Kalkuta, India, untuk keperluan overhaul dan pemasangan tangki bahan bakar jarak jauh. Pekerjaan itu baru selesai pada 20 Januari 1949. Namun, sayangnya Seulawah tak bisa pulang karena Indonesia saat itu sudah diduduki Belanda akibat Agresi Militer II.
Daripada nganggur, tentu lebih baik pesawat itu dioperasikan saja di luar negeri. Dengan cara dikomersialkan Seulawah juga bisa berguna untuk menghidupi awaknya yang luntang-lantung tak bisa pulang. Tetapi, kaum militer lebih suka menggunakan alasan heroik menggalang dana bagi perjuangan di Indonesia. Atas dasar itulah trio Wiweko Soepomo, Sutarjo Sigit, dan Sudaryono berinisiatif membikin maskapai penerbangan komersial.
Ketiganya lalu mendapat bantuan dari Duta Besar Indonesia untuk India Dr. Sudarsono. Indonesian Airways pun dibentuk dan pemerintah Myanmar menjadi penyewa jasanya. Seulawah mengudara pertama kali dalam status sebagai pesawat komersial pada 26 Januari 1949, dari Kalkuta ke Rangon.
Laman Dispenau menulis, “RI-001 Seulawah yang dioperasikan dengan nama perusahaan Indonesian Airways sebagai pesawat komersial tidak seperti perusahaan penerbangan air line lainnya. RI-001 Seulawah tidak mengangkut penumpang perorangan. Pesawat RI-001 dicharter oleh pemerintah Birma sebagai pesawat dalam oprasi militer.”
Bukan Hari Lahir Garuda
Asvi mencatat usaha Indonesian Airways cukup berhasil. Dari laba beberapa bulan operasi maskapai mampu membeli lagi sebuah pesawat dan menyewa satu pesawat dari Hongkong. Namun, Indonesian Airways berumur singkat, hanya 19 purnama.
Pada Agustus 1950 usai RI berdaulat kembali, Indonesian Airways dilikuidasi. Pesawat Seulawah dan awaknya lalu kembali bertugas untuk keperluan perhubungan militer.
26 Januari 1949 tentulah tarikh bersejarah dalam kronik kedirgantaraan Indonesia. Namun, bertahun-tahun kemudian terjadi kerancuan perihal tanggal ini karena dijadikan sebagai hari tanggap warsa maskapai Garuda Indonesia Airways (GIA). Itu mulai terjadi sejak 1979.
Kala itu, Wiweko, salah satu pendiri Indonesia Airways, sudah menjabat sebagai direktur utama GIA sejak 1968. Pada Januari 1979 Wiweko mendapat hibah hari ulang tahun dari Kepala Staf TNI AU Ashadi Tjahjadi.
Surat hibah itu diketik rangkap enam pada kertas dinas berlogo TNI AU. Sejarawan militer Nugroho Notosusanto tercantum sebagai saksinya. Tapi, surat itu anehnya tak dilengkapi nomor registrasi dan cap jabatan KSAU.
“Dengan kata lain, surat itu tidak tercatat sebagai surat yang pernah dikeluarkan TNI AU, melainkan dapat dianggap sebagai surat pribadi Ashadi Tjahjadi yang kebetulan memakai kertas surat dinas,” tulis Asvi dalam artikelnya.
Selama bertahun-tahun 26 Januari selalu diperingati oleh GIA sebagai hari lahirnya. Padahal bukan. Dan lagi, GIA bukan pula ahli waris Indonesian Airways karena jalur sejarah keduanya berbeda.
Faustinus Djoko Poerwoko, purnawirawan marsekal muda TNI AU, dalam artikel berjudul “Garuda Bukan Indonesian Airways” yang terbit di harian Kompas 26 Januari 2007 menjelaskan bahwa nenek moyang GIA yang sebenarnya adalah Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) yang berdiri pada November 1928.
Di masa akhir Hindia Belanda, KNILM beroperasi menghubungkan Batavia dengan Surabaya, Makassar, Denpasar, Balikpapan, Tarakan, Palembang, hingga Singapura. Pada masa pendudukan Jepang maskapai ini menyingkir ke Australia dan menjadi bagian AU Belanda. Usai perang, KNILM kembali beroperasi lagi di wilayah Indonesia dengan bertransformasi menjadi KNILM-Inter Insulair Bedrijf (IIB).
“Maskapai inilah yang kelak setelah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949 beserta seluruh harta kekayaan Belanda lainnya diserahkan kepada RIS, sedangkan IIB menjadi Garuda Indonesian Airways NV,” tulis Faustinus.
Kiprah pertama GIA adalah pada 28 Desember 1949 kala bertugas mengantar Sukarno kembali ke Jakarta dari Yogyakarta. Sebuah pesawat Douglas C-47A Dakota beregistrasi PK-DPD menjemput presiden dan rombongan untuk kembali ke Jakarta dari Yogyakarta. Lalu pada 31 Maret 1950, Garuda Indonesian Airways NV secara resmi diumumkan sebagai perusahaan negara melalui Berita Negara RIS Nomor 136.
Lalu bagaimana menyikapi kerancuan tanggal ini?
Asvi memberi jalan keluar, “sebaiknya tanggal 26 Januari dijadikan hari penerbangan nasional, sedangkan tanggal 28 Desember diperingati sebagai hari terbang perdana Garuda [...] Sementara itu, yang diperingati oleh Garuda seyogianya bukan hari jadinya yang masih bisa diperdebatkan, tetapi penerbangan pertama pesawat perusahaan tersebut tahun 1949 yang memperoleh tugas kehormatan mengangkut orang nomor satu di republik ini.”
Editor: Ivan Aulia Ahsan