Menuju konten utama

Angkatan Udara Berjuang dan Berkorban

Tanggal 29 Juli 1947 merupakan hari penting bagi Angkatan Udara. Operasi udara mengebom posisi lawan sukses dilakukan di tiga kota yang diduduki Belanda. Namun, operasi itu harus dibayar mahal dengan nyawa tiga perwira pentingnya.

Angkatan Udara Berjuang dan Berkorban
Ilustrasi, cerita singkat pesawat Dakota VT-CLA milik Biju Patnaik dari Kalinga Air ditembak pesawat pemburu Kittyhawk milik Belanda. [Grafis/TF Subarkah/Foto-foto/www.adveyntureindonesia.wordpress.com]

tirto.id - Pesawat Dakota VT-CLA pembawa obat-obatan dari Palang Merah Malaya itu jatuh ditembak pesawat pemburu P-40 Kittyhawk milik Militer Belanda. Padahal, paginya Angkatan Udara baru saja memberi serangan balasan ke wilayah pendudukan militer Belanda di Semarang, Ambarawa dan Salatiga dengan memakai pesawat-pesawat rongsokan tinggalan Tentara Jepang.

Kepala Staf Angkatan Udara, Suryadi Suryadarma harus kehilangan perwira-perwira pentingnya. Juga kolega-kolega penting dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.

Pagi Gemilang Sebelum Sore Naas

Sejak 20 Juli 1947, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus van Mook menyatakan Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian Linggarjati. Sehari setelahnya, militer Belanda sudah melanggar perjanjian tersebut.

Banyak daerah yang punya nilai ekonomis, seperti Jawa Barat yang punya banyak perkebunan, diduduki. Operasi militer ini pun disebut sebagai Operatie Product (operasi produk) atau Aksi Polisionil. Oleh orang-orang Indonesia, aksi tersebut belakangan menyebut Agresi Militer pertama atau Clash pertama.

Pada 21 Juli 1947, Lapangan Udara Maguwo di Maguwoharjo, Yogyakarta juga mulai diserang pesawat-pesawat Belanda. Dua hari kemudian, serangan kembali dilontarkan Belanda. Militer Belanda mengerahkan pesawat P-5 Mustang, P-40 Kittyhawk bahkan pesawat pembom B-25.

Serangan berlanjut pada 25 Juli. Serangan dilakukan siang dan petang. Pada serangan petang hari, militer Belanda berhasil menghancurkan pesawat-pesawat Angkatan Udara Indonesia hasil rampasan dari pesawat Jepang seperti Cikiu dan Curen.

Para petinggi Angkatan Udara mulai merencanakan serangan balasan. Mereka punya pemikiran, pertahanan terbaik adalah menyerang. Rencana ini ditentang Komodor Adisutjipto yang menjabat Komandan Sekolah Penerbang. Menurutnya, Sumber Daya Angkatan Udara tak mumpuni untuk melakukan serangan itu. Hanya ada sedikit pesawat yang tersisa.

Rencana nekat itu tetap berjalan. Adisutjipto sendiri tak bisa menghalangi. Apalagi ketika rencana nekad itu dipersiapkan, Adisutjipto berangkat ke luar negeri. Malam hari, 28 Juli 1947, secara rahasia Kadet Udara pilihan dari Sekolah Penerbang dipanggil Komodor Suryadarma selaku Kepala Staf Angkatan Udara. Mereka adalah Mulyono, Sutardjo Sigit, Suharnoko Harbani, dan Bambang Saptoadji. Tanpa ragu, keempatnya menerima tugas berbahaya itu.

Komodor Muda Halim Perdanakusuma menjelaskan rencana pengeboman kota-kota yang diduduki Belanda di Jawa Tengah. Bersama para penerbang itu, sersan udara selaku juru tembak seperti Kaput, Dulrachman dan Sutardjo diikutsertakan. Semula akan ada empat pesawat, tetapi hanya tiga yang berangkat sebelum fajar 29 Juli 1947.

Satu pesawat Hayabusha yang akan dipiloti Bambang Saptoadji tidak bisa dioperasikan. Hanya dua Curen yang dipiloti Suharnoko Harbini dan Sutardjo Sigit, lalu Guntei yang dipiloti Mulyono. Mereka bergerak melambung ke arah timur dari Maguwo, tetapo berbelok ke barat, menuju Salatiga, Ambarawa, dan Semarang.

Serangan balasan pesawat Angkatan Udara itu sukses. Kota Semarang, Salatiga, dan Ambarawa berhasil dibom. Sesuai perintah, semua pesawat kembali ke Maguwoharjo, Yogyakarta. Militer Belanda marah dan tak tinggal diam. Pesawat Kittyhawk dengan diawaki Letnan B.J. Ruesink dan Sersan Mayor W.E. Erkelens dikerahkan ke arah kota Yogyakarta sebelum sore.

Sore Naas Angkatan Udara

Dari Singapura, pesawat Dakota VT-CLA milik Biju Patnaik dari Kalinga Air, bergerak menuju Yogyakarta. Pesawat tersebut merupakan armada pengangkut obat, bukan pesawat militer. Kala itu, statusnya adalah pesawat angkut sipil. Pesawat itu sebenarnya tak diperbolehkan terbang oleh Belanda dan juga Inggris, meski bukan pesawat militer milik Republik. Pesawat itu sudah ditunggu-tunggu petinggi Angkatan Udara di Maguwo.

Sementara itu pesawat-pesawat tempur yang pagi harinya sukses melakukan operasi telah disembunyikan di beberapa tempat berbeda. Awak pesawat yang sukses mengebom Semarang, Ambarawa, dan Salatiga sudah berada di Kota Yogyakarta. Suharnoko dan rekannya, sedang santai sore itu di Mess Tugu.

Dua pesawat pemburu Kittyhawk milik Belanda setengah mati mencari pesawat milik Angkatan Udara Republik Indonesia. Yang mereka temukan adalah pesawat sipil Dakota VT-CLA dari arah Singapura yang akan mendarat di Maguwo. Dakota itu pun jadi sasaran empuk pesawat pemburu Belanda itu. Kittyhawk yang diawaki Letnan B.J. Ruesink dan Sersan Mayor W.E. Erkelens pun menyemburkan tembakan ke Dakota.

“Waktu menunjuk pukul 17.00 ketika tembakan dilepaskan beberapa kali, peluru mengenai pesawat angkut tanpa senjata tersebut. Sebuah motornya terbakar, dan usaha terakhir mengarahkan pesawat ke landasan ternyata gagal,” tulis Irna Hanny Nastoeti dan timnya dalam buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950.

Suharnoko dan kawan-kawannya melihat Dakota malang yang makin merendah dan berasap itu. Setelah terpana sejenak mereka mengikuti ke mana pesawat itu akan jatuh. Tanpa peduli lagi bahaya dua Kittyhawk yang bisa saja membabi-buta menembaki orang-orang di Yogyakarta.

Pesawat itu akhirnya jatuh menghantam tanggul sawah lalu meledak dan terbakar di perbatasan desa Ngoto dan Wojo di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, sekitar 3 Kilometer dari Yogyakarta. Semula, orang-orang desa yang mengerumuni pesawat menyangka itu pesawat Belanda.

Pesawat itu diterbangkan oleh pilot mantan Royal Australia Air Force, Noel Constantine dengan co-pilot mantan Royal Air Force Inggris, Roy Hazelhurst. Komodor Udara Adisucipto, Komodor Abdulrahman Saleh, Opsir Udara Adisumarmo Wiryokusuma, Zainal Arifin, Bidha Ram dan Istri Noel Constantine yang ikut serta dalam pesawat pun ikut meninggal. Hanya Abdul Gani Handonotjokro yang selamat.

Angkatan Udara kemudian menjadikan 29 Juli sebagai Hari Bhakti Angkatan Udara. Tak lupa, nama Adisucipto dijadikan nama lapangan udara di Maguwoharjo sejak 1959, meski sebagian orang masih menyebut nama Maguwo pada bandara itu. Belakangan, lapangan udara milik Angkatan Udara itu difungsikan juga sebagai bandara komersil hingga sekarang.

Di Solo, nama Adisumarno sang pendiri Sekolah Radio Telegrafis Angkatan Udara dan bertindak sebagai juru radio pesawat Dakota VT-CLA yang naas itu juga menjadi nama bandara. Dulunya, bandara itu bernama lapangan udara Panasan. Sementara nama pendiri Angkatan Udara, Radio Republik Indonesia, Profesor Fisiologi Indonesia juga seorang dokter bernama Abdulrahman Saleh, yang ikut jadi korban Dakota VT-CLA, dijadikan nama bandara yang dulunya hanya dikenal lapangan udara Bugis di Malang.

Baca juga artikel terkait ANGKATAN UDARA REPUBLIK INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti