tirto.id - Charles van der Plas adalah mantan Gubernur Jawa Timur sebelum 1942. Kala Jepang merebut Hindia Belanda, dia ikut mengungsi bersama birokrat-birokrat kolonial Belanda lainnya ke Australia. Di Australia, Belanda lalu membangun jaringan intelijen Netherlands Forces Intelligence Service (NEFIS).
NEFIS punya tugas utama mengumpulkan informasi intelijen terkait Indonesia yang diduduki Jepang. Salah satu langkah kongkritnya adalah mengirim mata-mata. Untuk daerah Surabaya dan sekitarnya,van der Plas mengusulkan agar NEFIS mengirim Sersan Penerbang KNIL Raden Iswahjoedi Wirjomihardjo.
Menurut Louis de Jong dalam Het Koninkrijk de Nederlanden in de Tweede Wareldoorlog—Deel III C Nederlands-Indie III (1986, hlm. 56), para pejabat Belanda—termasuk van der Plas—mulanya memilih mengirim orang Belanda totok untuk misi intelijen. Namun, di tengah pendudukan Jepang, seorang Belanda kulit putih yang berkeliaran di luar kamp tawanan bisa memancing kecurigaan. Misi semacam itu pun pernah dicoba di Sulawesi dan terbukti gagal.
Maka NEFIS mengganti strateginya dengan mengirim bumiputra yang lebih bisa membaur. Iswahjoedi pun jadi salah satu yang terpilih, meski dia belum lulus sekolah penerbangan kala itu. Van der Plas kemudian memberinya nama baru serta alamat seorang pejabat di daerah Besuki untuk berkoordinasi.
Iswahjoedi yang kala itu berusia sekira 24 tahun tergabung dalammisi Tiger II yang diberangkatkan dengan kapal selam K-12 milik Belanda. Dia mendarat di Teluk Serang, Blitar, secara diam-diam pada 27 November 1942. J.J. Noritier dalam Acties in de Archipel: De Intelligence-operaties van NEFIS-III in de Pacific-oorlog (1985, hlm. 78) menyebut personel lain yang juga tergabung dalam misi Tiger II di antaranya Letnan Laut Kelas Tiga B. Brocx (24 tahun), dan Kelasi Juru Masak Sadimoen (36 tahun).
Meski telah disusun dengan lebih rapi, misi Tiger II—juga misi Tiger lain—nyatanya tetap terendus oleh militer Jepang. Semua personel yang yang diterjunkan hampir semuanya tertangkap dan kemudian dieksekusi mati.
Iswahjoedi rupanya dinaungi nasib mujur. Meski tertangkap, dia urung dihukum mati. Bahkan, dia lantas bebas dan kembali ke kota kelahirannya, Surabaya. Iswahjoedi kemudian jadi pegawai sipil di kantor gubernur Jawa Timur yang dikuasai Jepang.
Liku Hidup Seorang Penerbang
Iswahjoedi lahir di Surabaya pada 15 Juni 1918. Bapaknya adalah Raden Wirjomihardjo dan ibunya bernama Issumirah. Raden Wirjomihardjo adalah pegawai kantor sindikat gula Surabaya. Jelas bahwa Iswahjoedi tumbuh besar dalam keluarga berada dan karena itu dia bisa mengakses pendidikan terbaik di masanya.
Iswahjoedi punya delapan saudara, di antaranya adalah mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Oerip Widodo dan Kepala Provos Angkatan Udara Kolonel Tranggono.
Sebelum masuk militer, Iswahjoedi menempuh pendidikan kedokteran di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) Surabaya. Dia lantas angkat kaki dari sanadan masuk pelatihan penerbangan di Vrijwilligers Vliegers Corps (VVC—Korps Penerbang Sukarela) di Kalijati, Subang.
Peserta VVC umumnya adalah lulusan sekolah menengah kolonial. Kala itu, tidak banyak pemuda bumiputra yang masuk dalam pelatihan ini. Mardanus Sofwan dalam biografiIswahyudi (1983, hlm. 16) menyebut, “Iswahyudi berhasil memperoleh Klien Militarie Brevet.”
Siswa bumiputra lain yang juga mampu meraih brevet itu adalah Agustinus Adisoetjipto dan Sambujo Hurip.
Setelah Jepang angkatkaki dari Indonesia, hidup Iswahjoedi sempat berada dalam bahaya karena statusnya sebagai mantan agen NEFIS. Dia sempat terlibat insiden dengan Mayor Sabaruddin, seorang perwira Polisi Tentara Keamanan Rakjat (PTKR).
Jika dirunut, pada 1944, Iswahjoedi mulai mengapeli gadis bernama Suwarti yang kemudian dinikahinya. Suwarti adalah adik dari seorang guru bernama Raden Iskak. Mereka berdua adalah anak seorang Asisten Wedana di Slawi, Kabupaten Tegal.
Sekitar 1945, Iskak dan Iswahjoedi ditangkap oleh segerombolan pemuda dari kelaskaran. Boleh jadi, menurut Suhario Padmodiwirio alias Hario Kecik dalam Memoar Hario Kecik (1995, hlm. 162), gerombolan pemuda itu curiga pada Iskak yang beristri seorang Belanda bernama Alida van de Kuinder.
Bagi gerombolan pemuda itu, Iskak kemungkinan punya hubungan dengan mata-mata Belanda melalui istrinya. Tuduhan ngawur macam itu memang lazim di era awal Revolusi yang disebut juga Masa Bersiap. Tuduhan macam itu tak jarang juga berakibat fatal, meski belum terbukti kebenarannya.
Iswahjoedi yang memang pernah terlibat dengan NEFIS tentu paham benar risiko itu. Selain Iskak dan Iswahjoedi, ada pula Soerjoatmodjo yang ditangkap atas tuduhan yang sama hanya karena terdapat foto yang menunjukkan dirinya bersalaman dengan Ratu Wilhelmina.
Iswahjoedi, Iskak, dan Soerjoatmodjo kemudian dibebaskan oleh Hario Kecik yang juga perwira PTKR kala itu. Tapi, Soerjoatmodjo kemudian dikabarkan terbunuh oleh Sabaroedin.
Setelah masa-masa tak menentu itu lewat, Iskak dan Iswahjoedi jadi orang berguna di Yogyakarta. Iskak jadi pelatih perwira di Sarangan dan Iswahjoedi menjadi pilot Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Iswahjoedi kemudian dikirim ke Sumatra untuk mengomandani Pangkalan Udara Gadut di Bukittinggi.
Gugur dalam Misi
Di Bukittinggi, Iswahjoedi berperan penting dalam proses transaksi pembelian pesawat baru dari Autralia. Pesawat itu adalah Avro Anson VH-PBY dan diterbangkan ke Sumatra oleh Paul Keegan, seorang pilot Australia yang pernah bergabung dengan armada udara Inggris pada Perang Dunia II.
Pesawat itu berhasil didapat denganganti 12 kilogram emas. Iswahjoedi pulalah yang pertama kali mempelajari pesawat yang kemudian diberi kode RI-003.
“Saya ingat Pak Iswahjoedi sibuk berlatih pesawat baru. Selama seminggu dia berlatih keras. Masih terbayang diingatan, betapa bangganya kita saat itu memiliki pesawat baru karena semua pesawat yang kita punya biasanya pesawat rongsokan bekas Jepang,” aku Hoepoedio kepada majalah Kartini edisi 1-14 Desember 1976.
Iswahjoedi—bersama Abdul Halim Perdanakusumah—menerbangkan pesawat RI-003 itu ke Thailand untuk negosiasi pembelian senjata dan pesawat untuk perjuangan RI. Karena Belanda kala itu menerapkan blokade ketat atas Indonesia, penerbangan itu jelas sebuah misi yang berbahaya.
Iswahjoedi selalu aman kala menerbangkan pesawat rongsokan Jepang. Dia bahkan dua kali selamat dari ancaman eksekusi sebelumnya. Namun, dia justru sial kala menerbangkan pesawat baru RI-003.
Dalam perjalan pulang usai menjalankan misi di Thailand itu, pesawat RI-003 diadang cuaca buruk. Pesawat itu kemudian dikabarkan jatuh di pantai di sekitar Tanjung Hantu, Malaya. Pada 14 Desember 1947, Iswahjoedi dan Halim dinyatakan meninggal dunia.
Atas jasa-jasanya,Iswahjoedi dan Halim dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 1975 dan namanya diabadikan untuk sebuah pangkalan udara di Jakarta dan Madiun.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi