tirto.id - Setelah menjadi perwira di Legiun Mangkunegaran, Raden Soehardjo Hardjowardojo (1901-1969) hijrah ke Tanjung Karang, Bandar Lampung. Alasan Soehardjo pindah, seperti diberitakan De Locomotief (02/02/1937), karena dia punya masalah perdata terkait pemalsuan yang juga melibatkan Liem Tjien Goen. Di Lampung, Soehardjo lantas bekerja sebagai perwira kepolisian hingga masa Pendudukan Jepang (1942-1945).
Ketika Revolusi berkecamuk di Lampung (1945-1949), Raden Soehardjo berdiri di belakang Republik Indonesia.
Mayor Jenderal Alamsjah Ratu Prawiranegara dalam H. Alamsjah Ratu Prawiranegara: Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu (1995, hlm. 42) punya versi sendiri soal sepak terjang Raden Soehardjo. Menurutnya Alamsjah, pada 1943, Soehardjo memutuskan untuk bergabung dalam Giyugun Sumatra (tentara sukarela seperti PETA di Jawa). Namun, Jepang menolaknya. Meski begitu, Soehardjo lantas diterima bekerja untuk Kempeitai (polisi rahasia) yang terkenal kejam hingga 1945.
Mengapa Soehardjo yang punya pengalaman militer—di Legiun Mangkunegaran dia mampu mencapai pangkat kapten—ditolak oleh Jepang? Pokok soalnya adalah masalah kepercayaan. Tentara Pendudukan Jepang yang sangat anti-Belanda enggan percaya pada bekas perwira Belanda di Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) maupun pasukan yang berafiliasi dengannya, seperti Legiun Mangkunegaran.
Lagi pula, Soehardjo sebenarnya agak “rugi” jika benar-benar masuk Giyugun. Di Jawa, perwira dengan pengalaman seperti Soehardjo lebih cocok menjadi komandan batalyon. Padahal, Giyugun tidak punya kesatuan tingkat batalyon di Sumatra. Karena itu, dia hanya akan diposisikan sebagai komandan peleton jika pun diterima.
Penculikan Kepala Polisi Lampung
Di awal revolusi, berdirilah Badan Keamanan Rakyat (BKR) Lampung yang dipimpin Pangeran Emir Muhamad Noer (kelahiran 1916). Pangeran Noer adalah bekas perwira senior di Giyugun dan cukup berpengaruh. Menurut Mestika Zed dalam Giyugun: Cikal Bakal Tentara Nasional di Sumatra (2005, hlm. 137), Pangeran Noer yang paham berpolitik terlihat hebat di mata pengikutnya yang fanatik dan dia adalah pemimpin yang kharismatis.
Selain BKR, di Lampung ada pula Angkatan Pemuda Indonesia (API), Laskar Rakjat, Pesindo, Napindo, hingga Hizbullah yang sama-sama mendukung Republik Indonesia. Meski begitu, hubungan antara BKR dan milisi atau antara sesama milisi sendiri tidak selama akur.
Raden Soehardjo pernah pula terseret dalam perselisihan antarlaskar semacam itu. Kala itu, Raden Soehardjo telah ditunjuk menjadi Kepala Polisi Republik Indonesia daerah Lampung.
Suatu hari, pihak BKR mendapat telepon dari Residen Lampung Mr. Abbas yang mengabarkan rumah Raden Soehardjo sedang dikepung. Anggota BKR berkesimpulan bahwa Raden Soehardjo diculik oleh API. Karena itu, BKR kemudian mengirim pasukan untuk mengepung dan menggerebek markas API di daerah Teluk Betung.
“Ternyata bukan hanya beliau (Raden Soehardjo) yang diculik,” aku Memed Roeyani dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan I (1991, hlm. 287). Rupanya ada orang lain bernama Suranto dan Taniran yang juga diculik oleh kelompok API. Dari keduanya, diketahui bahwa Soehardjo dibawa ke daerah Pesing.
Pasukan BKR pun dikerahkan untuk membebaskan Raden Soehardjo. Usaha itu berhasil dan Raden Soehardjo pun selamat.
Menurut Alamsjah, Soehardjo ditangkap laskar bersenjata karena dianggap pro-Jepang. Padahal, sikap pro-Jepang itu—yang otomatis juga berarti anti-Belanda—adalah hal lazim di antara orang-orang di Jawa dan Sumatra. Alamsjah sendiri mengaku lebih loyal pada Jepang ketika bergabung dalam Giyugun. Dan lagi, banyak orang bekerja dan rela jadi serdadu kala pasukan Dai Nippon berhasil mengusir Belanda dari Indonesia.
Setelah peristiwa itu, Soehardjo berpindah tugas ke Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Raden Soehardjo pun menjadi orang kepercayaan dari pemimpin sipil seperti Adnan Kapau Gani. Menurut buku Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI Angkatan Darat (1972, hlm. 41), A.K. Gani adalah koordinator Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sumatra dan Soehardjo ditugasi memimpin markas besar TKR Sumatra. Untuk jabatan itu, Soehardjo memperoleh kenaikan pangkat menjadi jenderal mayor (setara brigadir jenderal atau mayor jenderal).
Minum Air untuk Cebok
Sekitar Desember 1945, Alamsjah baru bertemu Pangeran Noer di Pagaralam. Pangeran Noer ditunjuk oleh banyak perwira TKR untuk menduduki jabatan Panglima Tentara Sumatra Selatan. Meski begitu, perlu beberapa waktu agar hasil pemilihan itu disahkan oleh pemerintah pusat.
Setelah pertemuan, Pangeran Noer pergi ke Jambi dan Alamsjah ke Palembang. Ketika singgah di Sekayu, Alamsjah dan rombongannya disambut oleh Wedana, TKR, dan Hizbullah. Yang terjadi setelah itu adalah kekacauan.
“Setelah dijamu kami ternyata ditangkap dan dimasukan ke penjara. Selama 21 hari, kami benar-benar diperlakukan seperti tawanan […] bayangkan untuk minum misalnya kami diberikan air yang diambil dari air untuk cebok di WC,” kenang Alamsjah.
Bagi Alamsjah, hal semacam itu adalah perlakuan yang tidak layak. Belakangan Alamsjah tahu bahwa penangkapannya itu adalah buntut dari kecurigaan pihak A.K. Gani. Rupanya, terdapat ketidakcocokan di antara A.K. Gani dan Pangeran Noer.
A.K. Gani agaknya tidak suka TKR dikendalikan oleh Pangeran Noer yang merupakan serdadu didikan Jepang. Menurut Alamsjah, alasan itu tidak masuk akal. Pasalnya, A.K. Gani justru lebih percaya pada Raden Soehardjo. Jadi, pada dasarnya kedua perwira itu sama-sama jebolan Jepang.
Alamsjah sendiri terseret dalam konflik itu karena dia diketahui cukup menghormati Pangeran Noer. Peruncingan perseteruan itu membuat nama Pangeran Noer tidak muncul dalam susunan komando TKR Sumatra. Setelah kekacauan itu, pemerintah pusat lantas memanggil Pangeran Noer ke Yogyakarta untuk dimintai keterangan.
Menurut Mestika Zed, Pangeran Noer kemudian dipecat karena dianggap menyulitkan pemerintah.
Soehardjo Hardjowardojo belakangan ditarik ke Jakarta. Seperti dicatat Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1988, hlm. 339), Soehardjo pernah menjadi Kepala Rumah Tangga Istana Presiden dan Inspetur Jenderal Angkatan Perang sebelum tutup usia 27 November 1969. Di kemiliteran, pangkat terakhirnya adalah letnan jenderal.
A.K. Gani mirip benar seperti sahabatnya Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin yang juga tidak percaya pada Jepang. Amir menganggap perwira didikan Jepang itu fasis. Karena itu, dia lebih rela mempercayakan sesuatu kepada tentara-tentara bekas KNIL, Koninklijk Marine (Angkatan Laut Belanda), atau bekas NEFIS (intelijen Belanda) sekalian.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi