tirto.id - Indonesia pernah menjadi penghasil beras berkualitas tinggi yang diminati pasar luar negeri. Menurut Pieter Creutzberg dalam "Pasaran Harga Beras di Hindia Belanda" yang dihimpun dalam buku Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia (1987:96), beras yang diekspor tersebut sebagian besar dihasilkan di Indramayu dan Lombok.
Tingginya produksi beras di Jawa membuat Jepang menjadikan pulau ini sebagai kunci untuk menopang sumber makanan tentaranya dalam Perang Asia Timur Raya.
Petinggi militer Jepang, seperti dicatat Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa, 1942-1945 (1993), “berkeinginan memperoleh beras dari Jawa, dan kebijakan mereka ditujukan untuk memaksimumkan produksi dan mengumpulkan beras.”
Mereka menyerbu Jawa di saat yang tepat. Bulan Maret 1942 adalah dimulainya panen padi di musim penghujan. Pengumpulan padi pun segera diadakan dengan membentuk semacam koperasi yang bernama kumiai.
Menurut Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan dalam Sejarah Nasional Indonesia, Volume 6 (1984), lewat koperasi tersebut Jepang mengurangi hak petani, yakni hanya boleh menyimpan 40 persen dari hasil panennya. Sisanya, 30 persen diserahkan untuk bibit di lumbung desa dan 30 persen lagi diserahkan ke kumiai.
Terhadap koperasi bentukan Jepang tersebut, orang Indonesia menafsirkannya secara berbeda-beda. Menurut Aiko Kurasawa, masyarakat banyak yang menyebut kumiai adalah toko milik pemerintah. Sementara yang lain menganggapnya sebagai agen penggilingan beras, dan ada pula yang menganggapnya bagian dari Hokokai yang terlibat dalam distribusi.
Soal pengambilan beras yang dilakukan kumiai juga terbelah. Sebagian sumber menyebut kumiaihanya memungut padi dari masyarakat tanpa imbalan. Sebagian lagi menyebutkan bahwa kumiaimembeli padi dari petani.
Sumber Bencana Kelaparan
Terlepas dari sejumlah perbedaan tersebut, yang jelas sikap yang diambil Jepang saat mereka menduduki Indonesia semuanya bermuara pada kesengsaraan rakyat. Biaya perang yag semakin tinggi membuat mereka kian kejam.
Menurut Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid 2 (2008:15), petani dipaksa menjual padinya kepada pemerintah balatentara Jepang dengan harga sangat murah. Tak ada petani yang bisa lolos dari perdagangan yang mencekik ini.
“Petani hanya mempunyai hak untuk menggarap sawah, namun tidak mempunyai hak untuk memungut dan menikmati hasil kerjanya,” tulis Slamet Muljana.
Dalam sebuah wawancara dengan Tirto (17/06/2019), Sriyono--mantan pengawal Presiden Sukarno--yang pada zaman Jepang masih menyebutkan bahwa stok beras di daerahnya tidak sedikit, tapi beras tersebut tidak bisa dinikmati oleh masyarakat.
"Kita banyak beras tapi tidak bisa makan beras, yang makan beras mereka (Jepang). Rakyat kecil [hanya] makan gaplek atau tiwul," ujarnya.
Slamet Muljana juga menerangkan kondisi sulit lainnya ketika beras semakin langka. Menurutnya, selain kemiskinan yang kian mencekik para petani di perdesaan, para buruh perkebunan juga menderita karena mereka menjadi pengangguran. Sementara cadangan beras di perkotaan pun semakin menipis. Banyak warga yang mati di pinggir jalan, kurus kering, dan berpakaian karung goni.
Hal serupa disampaikan juga oleh Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan dalam Sejarah Nasional Indonesia, Volume 6 (1984:36), yang menyebutkan bahwa pengumpulan beras oleh kumiai mengakibatkan bencana kelaparan. Sejak akhir tahun 1944, rakyat hidup menderita dengan hanya makan nasi jagung dan berpakaian goni.
Bagaimana kondisi di luar Jawa? Setali tiga uang.
Sebagai contoh, di Aceh, seperti terdapat dalam buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1977:156), biang kerok kelaparan disebabkan oleh munculnya lembaga penyalur beras yang dikenal sebagai BDK (Bagi dan Kumpul). Lembaga ini merampas padi rakyat yang sebetulnya tidak berlebihan selain sekadar untuk makan keluarga sehari-hari. Hal ini tentu saja melahirkan kelaparan.
Rakyat yang marah kemudian mencemooah lembaga ini. BDK pun diplesetkan menjadi Bah Di Koe (Biar Untuk Aku/Jepang) dan Bek Di Kah (Tidak Untuk Kamu/Petani).
Memicu Pemberontakan
Kondisi di Jakarta, meski sulit, namun agak lumayan dibandingkan kondisi si pelbagai daerah. Hal ini disampaikan oleh Didi Kartasasmita dalam autobiografinya, Didi Kartasasmita: Pengabdian Bagi Kemerdekaan (1993:90). Menurutnya, di beberapa daerah tertentu termasuk Jakarta, Jepang menyimpan stok beras untuk penduduk.
“Kalau persediaan beras di gudang milik pemerintah pendudukan Jepang habis, pembagian jatah tentu akan distop [...] Dengan adanya jatah beras ini, kehidupan kami di Jakarta masih agak lumayan jika dibandingkan dengan mereka yang hidup di daerah lain,” tulis Didi.
Namun, kondisi ini tak sebanding dan tak mewakili mayoritas rakyat yang menunggu mati karena kelaparan. Di saat yang bersamaan, seperti terdapat dalam Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial (2005:329), militer fasis Jepang justru menganggap rakyat yang mengeluh tentang kelaparan karena ketiadaan beras sebagai orang yang bermental budak.
Kondisi semakin memburuk ketika kekurangan beras disertai dengan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Jepang. Menurut Ahmad Kemal Idris--mantan perwira PETA (Pembela Tanah Air)--ia menerima sejumlah laporan dari koleganya sesama anggota PETA tentang kondisi rakyat.
“Dalam laporan itu dikatakan bahwa masyarakat dipaksa menjual beras kepada kumiai (organisasi pembelian beras) dengan harga yang sangat murah,” ungkapnya seperti terdapat dalam Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi (1996:50).
Sementara Zulkifli Lubis, perwira lainnya di PETA, seperti dikutip Tempo (29/07/1989) mengatakan, “Polisi-polisi bersikap kasar dengan rakyat, dalam rangka mengumpulkan beras. Karena dipaksa oleh Jepang sipil.” Menurut penilaian Zulkifli Lubis, orang Jepang yang jadi anggota militer masih lebih baik ketimbang yang sipil.
Pemerasan terhadap rakyat yang menyebabkan penderitaan inilah yang menyebabkan beberapa anggota PETA bertindak seperti yang terjadi di Banten, Indramayu, dan Banyuwangi. Bahkan apa yang terjadi di Aceh lewat pemberontakan Gyugun dan pemberontakan PETA di Blitar, juga dipicu oleh akar yang sama.
Editor: Irfan Teguh Pribadi