tirto.id - Tidak jauh dari Candi Prambanan yang lebih populer, terdapat Candi Sewu. Berdiri sejak abad 8 M, Candi Sewu kini menjadi salah satu candi di Indonesia yang ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO.
Sebagaimana Borobudur dan Prambanan, Candi Sewu merupakan peninggalan kerajaan Mataram Kuno (Kerajaan Medang). Namun, usia candi ini lebih tua dari Prambanan dan Borobudur.
Candi Sewu terletak di kawasan Taman Wisata Candi Prambanan. Di taman wisata seluas puluhan hektar itu ada sejumlah kompleks candi, yakni Candi Pramabanan, Candi Bubrah, Candi Lumbung, dan Candi Sewu. Uniknya corak agama candi-candi tersebut tidak sama.
Secara administratif, Candi Sewu terletak di Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Lokasi Candi Sewu berjarak 800-an meter dari Candi Prambanan.
Kompleks Candi Sewu mempunyai panjang 185 meter, membentang dari utara ke selatan. Adapun lebarnya 165 meter dari sisi timur ke barat. Tinggi maksimum candi ini 30 meter.
Terbuat dari batuan andesit, Candi Sewu memiliki pintu masuk di 4 penjuru mata angin: utara, selatan, timur, dan barat. Di kompleks Candi Sewu, terdapat 249 candi beserta 8 arca Dwarapala. Detailnya, ada 1 candi candi induk, 8 candi apit, dan 240 candi perwara.
Keberadaan ratusan candi itu membuat Candi Sewu jadi kompleks candi Buddha terbesar kedua di Indonesia setelah Borobudur. Di sisi lain, banyaknya ragam bangunan candi ini menyebabkan proses pemugarannya memakan waktu panjang.
Sejarah Candi Sewu
Candi Sewu dibangun pada abad 8 M di wilayah Kerajaan Mataram Kuno. Usia Candi Sewu diduga lebih tua dari Candi Borobudur dan Candi Prambanan karena bangunan ini tercatat dibangun pada era generasi kedua penguasa Kerajaan Medang (Mataram Kuno).
Candi Sewu diperkirakan dibangun di akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran, raja kedua Kerajaan Mataram Kuno. Berkuasa selama 746-784 M, Rakai Panangkaran adalah putra Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, penguasa pertama Kerajaan Medang. Pada saat berkuasa, ia menyandang nama Rakai Panangkaran Sankhara Sri Sangramadhananjaya.
Dari berbagai prasasti, Sang Ratu Sanjaya diketahui memeluk agama Siwa (Hindu), beda dengan putranya. Rakai Panangkaran pindah keyakinan dari Syiwa ke Buddha Mahayana. Keyakinan Panangkaran tersebut menjelaskan latar belakang Candi Sewu yang memiliki banyak unsur ajaran Buddha Mahayana.
Kusen dkk. dalam Candi Sewu, Sejarah, dan Pemugarannya (1992) memberi keterangan tentang siapa yang membangun Candi Sewu. Berdasarkan prasasti dan arsitektur, Candi Sewu diperkirakan mulai dibangun pada tahun 782-792 M. Artinya Candi Sewu dibangun pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dan Rakai Panaraban (raja ketiga Mataram Kuno yang lebih dikenal sebagai Rakai Panunggalan).
Namun, para peneliti memperkirakan pembangunan kompleks Candi Sewu tidak berhenti pada masa Rakai Panangkaran dan Rakai Panunggalan. Candi Sewu diperkirakan sempat dipugar, diperluas, dan dirampungkan pada era pemerintahan Rakai Pikatan.
Menurut prasasti Siwagrha, Rakai Pikatan juga merupakan penguasa dinasti Sanjaya yang membangun Candi Prambanan dengan corak Hindu pada tahun 850 masehi.
Beberapa abad kemudian, Candi Sewu menarik perhatian arkeolog setelah diteliti pertama kali oleh H.C Cornelius pada tahun 1807. Stamford Raffles pun menerangkan bangunan Candi Sewu di buku History of Java (1817), demikian pula N.J Krom dalam karyanya, Inleiding tot de Hindoe-Javaansche Kunst (1923).
Seturut catatan Raffles, Candi Sewu sudah mengalami kerusakan parah pada 1807. Jacques Dumarcay melalui Candi Sewu dan Arsitektur Bangunan Agama Buda di Jawa Tengah (1986) mengungkapkan, kerusakan Candi Sewu makin hebat saat terjadi Perang Jawa (Perang Diponegoro vs Belanda pada 1825-1830).
Selama Perang Jawa, batu-batu Candi Sewu dan sejumlah candi lain di sekitarnya dipakai untuk membangun benteng. Kerusakan Candi Sewu masih ditambah dengan dampak gempa bumi besar di Yogyakarta pada 1867.
Selama era kolonial, usaha pelestarian Candi Sewu baru sebatas dengan penelitian dan dokumentasi. Penelitian lengkap disertai pemugaran total terhadap bangunan Candi Sewu baru dimulai pada 1981. Hingga kini pemugaran Candi Sewu masih terus dilanjutkan.
Corak Agama Candi Sewu
Nama asli Candi Sewu adalah Prasada Vajrasana Manjusrigrha. Nama tersebut diketahui dari Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 Masehi dan prasasti Manjusrighra (792 M).
Manjusrigrha berarti rumah Manjusri. Istilah rumah Manjusri menjadi salah satu pertunjuk bahwa Candi Sewu bercorak agama Budha. Manjusri sendiri adalah salah satu Bodhisattva dalam ajaran Buddha.
Meskipun Rakai Pikatan merupakan penganut Hindu, sebagai penguasa selanjutnya yang membangun Candi Prambanan, justru tetap merawat dan menyempurnakan Candi Sewu yang bercorak Buddha.
Riwayat Candi Sewu membuktikan saat Dinasti Sanjaya yang menganut Hindu berkuasa, rakyat Mataram Kuno masih diperbolehkan menjalankan ajaran Buddha.
Sejumlah arkeolog meyakini kawasan Candi Sewu dan Candi Prambanan adalah wilayah yang digunakan sebagai pusat penyebaran agama, politik, dan kehidupan urban pada era Kerajaan Mataram Kuno.
Keyakinan tadi diperkuat dengan tersebarnya candi-candi dan situs purbakala, termasuk Candi Sewu dan Candi Prambanan, yang membentang dari lereng gunung Merapi hingga perbatasan Klaten.
Legenda Candi Sewu
Meski memiliki nama “Sewu” yang berarti seribu, Candi Sewu hanya memiliki 249 candi.
Nama sewu disematkan masyarakat setempat berkaitan dengan legenda Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso yang juga erat hubungannya dengan Candi Prambanan.
Legenda Roro Jonggrang mengisahkan bahwa dahulu terdapat sebuah kerajaan di wilayah Prambanan yang dipimpin oleh Prabu Baka yang memiliki putri bernama Roro Jonggrang.
Alkisah, Kerajaan Prambanan diserang oleh kerajaan Pengging yang berniat menaklukkan Prabu Baka. Invasi kerajaan Pengging dipimpin oleh seorang ksatria bernama Bandung Bondowoso yang sakti dan memiliki pasukan jin.
Prabu Baka akhirnya tewas dan Bandung Bondowoso ditunjuk oleh raja kerajaan Pengging untuk mengambil alih kepemimpinan di Prambanan.
Bandung Bondowoso pun mengetahui Prabu Baka memiliki seorang putri yang cantik dan ingin menikahinya. Roro Jonggrang nama putri tersebut.
Roro Jonggrang sejatinya enggan menikah dengan Bandung Bondowoso, sosok yang telah membunuh ayahnya dan membuat rakyat Prambanan sengsara. Meskipun demikian, demi melindungi rakyatnya, Roro Jonggrang pun menyetujui permintaan Bandung Bondowoso dengan syarat dibuatkan seribu candi dalam satu malam.
Di luar dugaan Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso bersedia memenuhi syarat tersebut. Kemudian, dengan bantuan pasukan jin miliknya, dia mulai membangun candi-candi yang diminta sang putri.
Namun, pada akhirnya syarat tersebut gagal dipenuhi karena siasat dari Roro Jonggrang yang membuat seolah pagi sudah tiba ketika seribu candi tersebut belum diselesaikan.
Bandung Bondowoso yang mengetahui siasat tadi marah dan mengutuk Roro Jonggrang menjadi patung yang kini berada di kompleks Candi Prambanan. Sementara itu, ratusan candi yang sudah dibuat oleh Bandung Bondowoso kemudian disebut candi Sewu.
Terlepas dari legenda tadi, Candi Sewu dan Candi Prambanan menjadi bukti bahwa sejak jaman kuno, masyarakat Indonesia sudah mengenal budaya toleransi. Keduanya berdiri berdampingan meskipun menjadi tempat pemujaan penganut keyakinan yang berbeda.
Penulis: Bintang Pamungkas
Editor: Addi M Idhom