Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Kerajaan Medang: Masa Jaya & Candi Peninggalan Mataram Kuno

Sejarah masa jaya Kerajaan Medang atau Mataram Kuno dibuktikan dengan banyaknya peninggalan berupa candi dan prasasti lainnya.

Sejarah Kerajaan Medang: Masa Jaya & Candi Peninggalan Mataram Kuno
Candi Borobudur, salah satu bukti kejayaan Kerajaan Medang atau Mataram Kuno. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kerajaan Medang menancapkan pengaruhnya di Jawa sejak abad ke-8 hingga abad ke-10 Masehi. Masa jaya kerajaan yang juga dikenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno ini terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Syailendra, dibuktikan dengan banyaknya peninggalan berupa candi dan prasasti sejarah lainnya.

Bercorak Hindu-Buddha, alasan Kerajaan Medang disebut juga dengan Kerajaan Mataram Kuno adalah untuk membedakannya dengan Mataram Islam. Jika dirunut sejarahnya, Medang adalah leluhur dari kerajaan-kerajaan besar di Jawa pada periode setelahnya, termasuk Singasari, Majapahit, Demak, hingga Mataram Islam.

Keberadaan Kerajaan Medang atau Mataram Kuno dapat dilacak melalui Prasasti Canggal yang ditemukan di kompleks Candi Gunung Wukir, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Prasasti Canggal diperkirakan dibuat tahun 732 Masehi.

Dalam Prasasti Canggal diceritakan bahwa raja yang menguasai tanah Jawa, Raja Sunna, telah wafat dan kekuasaannya dilimpahkan ke anaknya yang bernama Sanjaya. Sanjaya kemudian mendirikan Kerajaan Medang dan menjadi raja pertamanya dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Sejarah Kerajaan Medang

Pada era awal pemerintahan Sanjaya, Kerajaan Medang berpusat di Bhumi Mataram (Yogyakarta), lalu pindah ke Jawa Tengah bagian selatan (Magelang, Kedu dan sekitarnya), kemudian kembali lagi ke Bhumi Mataram.

Usia Kerajaan Medang diperkirakan bertahan selama sekitar 3 abad. Periodesasi pemerintahan kerajaan ini dibagi dua, yakni periode Jawa Tengah yang dipimpin oleh Wangsa Sanjaya dan Syailendra pada sekitar 732-939 M, serta periode Jawa Timur oleh Wangsa Isyana pada sekitar 929-1016 M.

Pembagian dua periode tersebut didasarkan pada pusat pemerintahan Kerajaan Medang atau Mataram Kuno yang mengalami perpindahan dari tengah Jawa ke sebelah timur pulau ini. Kerajaan Medang periode Jawa Timur inilah yang menjadi garis keturunan dari Singasari dan Majapahit.

Perpindahan lokasi tersebut dimotori oleh Mpu Sindok yang kemudian mendirikan serta memimpin Wangsa Isyana di Jawa Timur dengan gelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa (929-947 M).

George Coedes dalam The Indianized of Southeast Asia (1968) menyebutkan, alasan pindahnya lokasi Kerajaan Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk perebutan kekuasaan dan meletusnya Gunung Merapi.

Masa Kejayaan Kerajaan Medang

Sepanjang sejarahnya, Kerajaan Medang atau Mataram Kuno diperintah oleh tiga dinasti atau wangsa keluarga, yakni Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra di Jawa Tengah, lalu Wangsa Isyana di Jawa Timur.

Masa kejayaan Kerajaan Medang terutama terjadi saat Wangsa Syailendra mulai berkuasa pada 760 M. Wangsa Syailendra adalah sebutan untuk merujuk pada silsilah raja-raja dari keluarga Syailendra.

Wangsa Syailendra yang memeluk Buddha Mahayana menyerang Medang yang dikuasai Wangsa Sanjaya, penganut Hindu Syiwa. Polemik ini membuat Medang terbagi dua, Wangsa Sanjaya berkuasa atas Medang bagian utara, sedangkan Wangsa Syailendra menguasai Medang bagian selatan.

Nantinya, R. Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia (1973), konflik akhirnya selesai berkat pernikahan Rakai Pikatan dari Wangsa Syailendra dengan Pramodhawardani dari Wangsa Sanjaya. Pasangan ini berbeda agama dan berasal dari dua dinasti besar di Jawa.

Pada periode inilah Kerajaan Medang mencapai masa kejayaan. Kerajaan Medang mengalami kemajuan di berbagai bidang, termasuk di sektor kebudayaan. Dibangunnya candi-candi besar menjadi bukti kejayaan Medang di periode ini, seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan lainnya.

John Miksic dalam Borobudur: Golden Tales of Buddhas (1990), menulis bahwa pembuatan candi pada era kerajaan tidak hanya dimaksudkan sebagai tempat ibadah. Namun, pembangunan candi bisa pula menjadi penegas status politik penguasa kerajaan masa itu.

Pembangunan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, menjadi salah satu tanda kejayaan terbesar Kerajaan Medang. Borobudur merupakan salah satu candi Buddha terbesar di dunia. Di masa ini pula, Jawa dan Sumatera dikenal sebagai salah satu pusat agama Buddha di Asia.

Masa kejayaan Kerajaan Medang juga seringkali disebut sebagai contoh praktik toleransi yang sudah terjadi sejak dulu kala di Nusantara. Hal tersebut tercermin dari raja-raja Medang yang tidak menganut satu agama yang sama.

Candi Peninggalan Kerajaan Medang

Kerajaan Medang dikenal sebagai negeri pembangun candi. Selama berdirinya kerajaan ini, banyak candi-candi yang dibangun, baik itu bercorak Buddha maupun Hindu. Berikut candi-candi peninggalan Kerajaan Medang:

  • Candi Gunung Wukir, terletak di Magelang, Jawa Tengah.
  • Candi Kalasan, terletak di Sleman, Yogyakarta.
  • Candi Sari, terletak di Sleman, Yogyakarta.
  • Candi Sewu, terletak di Sleman, Yogyakarta.
  • Candi Lumbung, terletak di Magelang, Jawa Tengah.
  • Candi Ngawen, terletak di Magelang, Jawa Tengah.
  • Candi Mendut, terletak di Magelang, Jawa Tengah.
  • Candi Pawon, terletak di Magelang, Jawa Tengah.
  • Candi Borobudur, terletak di Magelang, Jawa Tengah.
  • Candi Prambanan, terletak di Sleman, Yogyakarta.
  • Candi Sambisari, terletak di Sleman, Yogyakarta.
  • Candi Gebang, terletak di Sleman, Yogyakarta.
  • Candi Barong, terletak di Sleman, Yogyakarta.
  • Candi Ijo, terletak di Sleman, Yogyakarta.
  • Candi Morangan, terletak di Sleman, Yogyakarta.
  • Candi Plaosan, terletak di Klaten, Jawa Tengah.
  • Candi Banyunibo, terletak di Sleman, Yogyakarta.
  • Candi Sojiwan, terletak di Klaten, Jawa Tengah.

Baca juga artikel terkait KERAJAAN MEDANG atau tulisan lainnya dari Rizal Amril Yahya

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Rizal Amril Yahya
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Iswara N Raditya