tirto.id - Candi Bubrah merupakan situs sejarah peninggalan Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Medang yang berpusat di Jawa Tengah. Candi Bubrah bercorak agama Buddha namun berada di kompleks percandian Hindu terbesar di Indonesia, yakni Candi Prambanan.
Dikutip dari Candi Indonesia: Seri Jawa (2013) suntingan E. Sedyawati dkk., Candi Bubrah secara administratif berlokasi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Namun, candi ini juga berada dalam kawasan Candi Prambanan yang masih termasuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lokasi Candi Bubrah mudah dijangkau. Candi ini berjarak sekitar 17 km dari titik nol Kota Yogyakarta ke arah timur laut. Dari pusat Kota Klaten, Candi Bubrah berjarak 16 km ke arah barat daya, dan berjarak 50 km dari titik nol Kota Solo.
Alasan dinamakan Candi Bubrah adalah karena candi ini dalam keadaan berantakan atau bubrah (bahasa Jawa) saat ditemukan. Candi Bubrah ditemukan dalam keadaan tak utuh dan hanya menyisakan batur (kaki candi) dan onggokan batu bekas dinding.
Candi Bubrah di kawasan percandian Prambanan ini berbeda dengan candi bernama sama yang ditemukan di Jepara. Candi Bubrah di Jepara merupakan peninggalan Kerajaan Kalingga yang usianya jauh lebih tua daripada Candi Bubrah di Klaten.
Sejarah Candi Bubrah dan Corak Agama
Candi Bubrah dibangun pada masa pemerintahan Raja Medang ke-2, Rakai Panangkaran (746-784 Masehi), pada sekitar abad ke-8 M.
Mengenai agama yang dianut Rakai Panangkaran, apakah ia seorang Hindu atau pemeluk Buddha, terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Bahkan, ada yang meyakini bahwa Rakai Panangkaran semula beragama Hindu, namun kemudian beralih keyakinan menjadi Buddha.
Terlepas dari itu, toleransi beragama antara Hindu dan Buddha di Kerajaan Mataram Kuno pada era Rakai Panangkaran terjalin dengan baik. Maka dari itu, tidak heran jika ada candi-candi Buddha yang dibangun di lingkungan percandian Hindu.
Selain Candi Bubrah, pada era Rakai Panangkaran juga dibangun Candi Sewu dan Candi Lumbung di kawasan percandian Prambanan. Candi Bubrah, Candi Sewu, dan Candi Lumbung merupakan kesatuan mandala (lingkaran) bercorak Buddha.
Kendati begitu, rangkaian candi itu baru diresmikan di era kepemimpinan Mataram Kuno selanjutnya. Rakai Panangkaran wafat sebelum candi-candi tersebut sepenuhnya selesai dibangun.
Candi Bubrah berukuran ukuran 12 meter x 12 meter dan terbuat dari batu andesit. Ketika candi ini ditemukan, masih terdapat beberapa arca Buddha meskipun tidak utuh lagi.
Pemugaran Candi Bubrah dimulai pada 2016 dan selesai tanggal 14 Desember 2017 dengan menelan biaya sebesar Rp13 miliar.
Fungsi dan Filosofi Candi Bubrah
Candi Bubrah merupakan tempat pemujaan agama Buddha yang berbentuk bangunan tunggal menghadap ke timur. Meskipun demikian, Candi Bubrah merupakan satu-kesatuan dengan Candi Sewu dan Candi Lumbung.
Candi Sewu merupakan perlambang Vajradhatu Mandala, Candi Lumbung sebagai simbol Garbhadhatu Mandala, sedangkan Candi Bubrah adalah yang menyatukan dua konsep itu.
Lantas, apa filosofinya?
Vajradhatu Mandala dan Garbhadhatu Mandala dalam ajaran Buddha melambangkan maskulinitas dan feminimitas, sama seperti Lingga dan Yoni dalam ajaran Hindu. Nah, Candi Bubrah merupakan penyatunya.
Maka itu, dalam ritual keagamaan Buddha, upacara diawali di Candi Sewu (Vajradhatu Mandala), lalu ke Candi Lumbung (Garbhadhatu Mandala), dan diakhiri di Candi Bubrah yang melambangkan keduanya.
Laporan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah menyebutkan, Candi Bubrah memiliki keunikan yang tidak dimiliki candi-candi Buddha lainnya, yakni adanya motif hiasan taman teratai dan hiasan ceplok bunga. Motif unik ini kemudian menjadi motif batik khas Candi Bubrah.
Penulis: Dicky Setyawan
Editor: Iswara N Raditya