tirto.id - Hanya kurang dari dua dekade, negara ini berhasil mengurangi 10 persen kemiskinan ekstremnya. Indonesia juga mampu memperoleh rerata tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 5,6 persen per tahun dari tahun 2000 hingga 2018.
Namun, semua capaian itu harus dibayar mahal: Indonesia jadi pabrik penghasil gas rumah kaca terbesar keempat di dunia.
Sumber daya alam negeri ini terus-menerus dieksploitasi, penggunaan energi dan sistem transportasi tidak efisien, dan Indonesia tengah berada di jalur pembangunan tinggi karbon. Masyarakat berbagai kota besar seperti Jakarta dan Bandung harus pasrah menerima penyakit akibat polusi udara dan air.
Di sisi lain, hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua terus menyusut akibat pola pertanian tak berkelanjutan. Dampak kasus terakhir, baru saja terjadi di Papua Barat, yakni terjadinya Banjir Bandang di Sentani akibat gundulnya Pegunungan Cyclops.
Belum lagi masalah urbanisasi yang tak terkendali memicu kepadatan penduduk dan pemukiman kumuh di perkotaan. Lalu sumber daya air, perikanan, dan keanekaragaman hayati pun ikut musnah perlahan. Indonesia telah berkontribusi terhadap perubahan iklim global, termasuk memicu kenaikan permukaan air laut, cuaca ekstrem, dan berkurangnya produktivitas akibat temperatur ekstrem.
“Pemerintah mulai menerapkan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) lima tahun ke depan,” ujar Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, mengurai solusi dari masalah pelik tersebut.
Bappenas baru saja meluncurkan strategi PRK dengan menerbitkan laporan berjudul “Low Carbon Development – A Paradigm Shift Towards a Green Economy in Indonesia”. Laporan ini mengatur soal pembangunan jangka panjang dan berkelanjutan di Indonesia yang berdasar pada upaya menekan laju emisi gas rumah kaca dan kerusakan lingkungan.
Ada tiga skenario yang dipertimbangkan untuk menjalankan PRK. Yang pertama adalah asumsi dasar, artinya tidak ada kebijakan baru yang diambil. Skenario ini melanjutkan tren historis perekonomian, masyarakat, iklim, dan lingkungan yang saat ini telah berjalan.
Skenario kedua adalah PRK menengah, dengan target penurunan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030. Terakhir, PRK tinggi yang mengarah pada penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 43 persen di tahun 2030.
Dengan menerapkan skenario PRK tinggi, Bappenas memprediksi jalur pertumbuhan rendah karbon baru di Indonesia selain mengurangi emisi juga akan memberi manfaat sosial ekonomi lain, di antaranya mengeliminasi 40 ribu kematian setiap tahun, mengurangi tingkat kemiskinan ekstrem menjadi 4,2 persen dari total penduduk di tahun 2045.
“PRK menghasilkan PDB rata-rata enam persen per tahun, tambahan PDB lebih dari USD 5,4 triliun pada tahun 2045. Rasio investasi terhadap PDB yang dibutuhkan juga lebih rendah,” papar Bambang.
Di sisi lingkungan, PRK jelas berdampak pada perbaikan kualitas udara. Pada 2014, penerapan PRK, yang meski belum sempurna, mencegah hilangnya 16 juta hektar lahan hutan. Efek domino lain menyasar peningkatan taraf hidup masyarakat, teratasinya kesenjangan peluang dari sisi gender dan wilayah, serta terbukanya 15,3 juta lapangan pekerjaan baru yang lebih hijau dengan upah lebih baik di tahun 2045.
Keseluruhan manfaat tersebut diyakini akan membawa Indonesia menuju gerbang kemakmuran. Laporan ini bahkan memprediksi penerapan PRK mampu membikin pendapatan per kapita Indonesia naik sebanyak 42 kali lipat, setara dengan negara makmur seperti Jerman, Denmark, dan Belanda di waktu 26 tahun mendatang.
Luhut Ancam Keluar dari Paris Agreement. Komitmen Pemerintah?
Mencapai target RPJMN berbasis PRK bisa dibilang susah-susah-gampang. Empat tahun berlalu sejak Indonesia meratifikasi Paris Agreement dengan komitmen membatasi kenaikan temperatur global agar di bawah 2°C.
Indonesia meratifikasi perjanjian ini lewat Undang-Undang nomor 16 tahun 2016. Sebelumnya, pada 2009 negara ini juga ambil bagian dalam COP 15 di Copenhagen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, yang dituangkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Isinya mencakup upaya Indonesia mencapai penurunan emisi tanpa syarat sebesar
29 persen dan bersyarat sebesar 41 persen pada tahun 2030. Dilansir laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2017 lalu Indonesia telah mencapai NDC sebesar 24,4 persen.
Namun, keberhasilan itu harus tersandung masalah kekompakan pemangku kebijakan memandang Paris Agreement. Baru-baru ini, misalnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan sempat mengancam Indonesia akan keluar dari Paris Agreement karena Uni Eropa mendiskriminasi sawit dalam RED II.
“Kalau bicara lingkungan, US keluar juga dari climate change. Kita firm karena ini kepentingan nasional, rakyat kecil,” katanya.
Jika kondisi ini terus berlarut, artinya penerapan PRK juga berpeluang menghadapi tantangan. Peran presiden sangat diperlukan untuk kembali menentukan arah PRK Indonesia lima tahun ke depan.
Bagaimana menilai komitmen para kandidat presiden ihwal hal ini?
Menurut laman Iklan Capresyang mengumpulkan data konten kampanye, calon presiden petahana Joko Widodo punya konten kampanye isu lingkungan hidup sebanyak 60,42 persen, dengan total belanja media 29 kali. Sementara itu, Prabowo Subianto memiliki 39,58 persen konten kampanye lingkungan hidup dengan total belanja media 19 kali.
Angka itu kalah puluhan kali lipat dibanding total belanja media dengan konten ekonomi, yang pada Jokowi dan Prabowo masing-masing sebanyak 374 dan 449 kali.
Sonny Mumbunan, Ekonom Senior di World Resources Institute (WRI), turut menyoroti kecilnya angka konten kampanye terkait lingkungan hidup itu.
“Pergeseran ekonomi besar-besaran butuh partisipasi pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, serta peningkatan pembiayaan dari lembaga keuangan pembangunan internasional dan investasi swasta,” kata Sonny.
Ia tak lupa mengingatkan langkah-langkah untuk menurunkan emisi gas karbon. Pertama, transisi ke sumber energi terbarukan dan mengurangi penggunaan batu bara. Selanjutnya adalah dengan meningkatkan efisiensi energi.
Sonny juga menekankan perlunya Indonesia mematuhi target komitmen terkait sumber daya air, perikanan, dan keanekaragaman hayati. Keempat, meningkatkan produktivitas lahan sebesar 4 persen per tahun. Satu lagi, tentu saja: moratorium kelapa sawit, pertambangan, dan lahan gambut harus ditegakkan secara penuh.
Editor: Maulida Sri Handayani