Menuju konten utama

Banjir Bandang Sentani: Amuk Mama Robhong Holo  

Orang Papua menyebutnya Robhong Holo, Sang Mama Kehidupan. Sang Mama murka karena bagian-bagian kehidupannya dilenyapkan.

Banjir Bandang Sentani: Amuk Mama Robhong Holo  
Seorang Mama Papua tercenung di dekat pesawat perintis milik sebuah gereja misi yang terseret banjir bandang di Sentani, Jayapura, Provinsi Papua, Senin (18/3/2019). ANTARA FOTO/Zabur Karuru/foc.

tirto.id - Seminggu sebelum banjir bandang, Sentani diguyur hujan deras. Air Sungai Kemiri dan Sereh di lereng Pegunungan Cyclops terlihat keruh.

Didorong rasa curiga, Edward Sembiring, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Papua, meminta lima personel polisi hutan—dinamakan Smart Patrol Resort Sentani—untuk mengecek kondisi hulu kedua sungai tersebut.

“Dua sungai itu biasanya jernih. Kalau keruh, pasti ada longsoran atau aktivitas tidak biasa,” kata Sembiring.

Butuh dua hari bagi kelima personel itu untuk sampai ke hulu. Kecurigaan mereka benar. Ada longsoran di bagian hulu Sungai Kemiri.

Longsoran itu, menurut Sembiring, menutup aliran sungai sehingga menyebabkan air keruh dan membentuk tanggul alami.

Lantaran saat itu tak memungkinkan membersihkan material longsor, Sembiring meminta tim kembali ke hilir dan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Jayapura.

Namun, pada Sabtu, 16 Maret, Jayapura diguyur hujan lebat. Langkah tim Balai Konservasi Papua kalah cepat dari cuaca. Hujan ekstrem saat itu menumpahkan 248,5 milimeter per detik selama tujuh jam dari pukul 5 sore waktu setempat.

Diperkirakan, tanggul dari longsoran itu jebol karena tak kuasa menahan laju dan besarnya air. Air sungai inilah bersulih banjir bandang, menerjang lima distrik mencakup sembilan kelurahan di kota dan kabupaten Jayapura.

Kampung-kampung di Distrik Depapre, Sentani, Sentani Barat, dan Waibu di bagian selatan serta Distrik Ravenirara di bagian utara pegunungan tergerus arus air dahsyat. Menyeret pohon, batuan dan segala benda berat, menjebol segala penghalang, menimbun permukiman dan jalan, meluapkan Danau Sentani, menyisakan kekalutan di mana-mana; rumah-rumah hancur.

Hingga enam hari terakhir, sedikitnya 102 warga meninggal, dan ada 13 ribu keluarga dari 11 distrik yang terdampak banjir bandang Sentani, menurut rilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

'Tak Cuma Faktor Alam'

Sutopo Purwo Nugroho dari BNPB merilis pernyataan bahwa topografi curam di bagian hulu Pegunungan Cyclops adalah salah satu penyebab banjir bandang. Daerah-daerah terdampak merupakan dataran aluvial, yang secara singkat bak mangkuk raksasa di lereng gunung. Selain itu, batuan dan kontur tanah di bagian hulu sungai mudah erosi apabila hujan terus-menerus dan deras.

BNPB juga menduga ada kerusakan hutan yang memicu banjir bandang.

Ada perambahan cagar alam oleh 43.030 warga dari 753 kepala keluarga sejak 2003, kata BNPB. Kemudian, ada penggunaan lahan untuk permukiman dan pertanian di daerah tangkapan air seluas 2.415 ha, penebangan pohon untuk pembukaan lahan, perumahan dan kebutuhan kayu, serta ada tambang galian C.

Aiesh Rumbekwan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Papua, mengatakan dugaan yang sama. Selain faktor alam, menurut Rumbekwan, ada ulah manusia yang mengubah fungsi hutan.

“Ini terlihat dari material banjir bandang yang membawa banyak kayu gelondongan,” kata Rumbekwan, menambahkan dengan mengutip laporan Global Forest Watch tentang hilangnya tutupan lahan di Pegunungan Cyclops selama 17 tahun terakhir.

Edward Sembiring dari Balai Konservasi Papua mengklaim perambahan hutan bukan dari korporasi, melainkan dari peladang berpindah oleh warga setempat.

“Pada saat ke hulu, memang di kiri-kanan sungai beberapa terlihat ladang ubi jalar. Tapi tidak sampai hulu,” klaimnya, menambahkan bahwa hampir mustahil melakukan perambahan hutan di kawasan hulu karena medannya berat dan curam.

Ia menolak ada dugaan pembalakan liar karena tak melihat ada satu pun pohon yang ditebang di hulu Sungai Kemiri. “Misal di Distrik Ravenirara, kalau ada pembalakan, harus lewat laut karena muaranya langsung ke sana. Dan itu tidak mungkin."

Infografik HL Banjir Sentani

Infografik Banjir Bandang Sentani, Maret 2019. tirto.id/Lugas

Amuk Mama Robhong Holo

Nama Cyclops berasal dari Belanda, negara kolonial yang mengakui kemerdekaan pemerintah Republik Indonesia di Jawa pada 1940-an tapi baru resmi keluar dari Papua pada 1960-an.

Berasal dari "Cycoon" yang berarti "gumpalan-gumpalan awan kecil" dan "Op" yang berarti "puncak", Cyclops adalah sekawanan awan kecil yang mencungul di puncak Jayapura bak kanopi putih yang melayang.

Pegunungan ini membentang dari barat ke timur sepanjang 36-an kilometer, sumber kehidupan bagi manusia yang kini menghuni tiga distrik di Kota Jayapura dan enam distrik di Kabupaten Jayapura, berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di utara.

Masyarakat adat Sentani menyebutnya Robhong Holo atau Dobonsolo—Sang Mama Kehidupan. Dari rahimnya, ia memancarkan 34 sungai; 14 sungai di antaranya mengalir sepanjang musim, sumber utama air bersih penduduk di lereng maupun kaki gunung. Sang Mama adalah rumah bagi 653 spesies langka.

Anggapan umum menyebut Sang Mama Robhong tengah sekarat pelan-pelan lewat pembalakan hutan dan perambahan lahan.

Analisis citra satelit yang dihimpun organisasi lingkungan World Wildlife Fund (WWF) Papua mencatat sekitar 9,5 ribu dari 22 ribu hektare lahan hutan primer di pegunungan Cyclops dalam kondisi kritis, sangat kritis, agak kritis, hingga potensial kritis.

Menurut WWF Papua, lahan sangat kritis berada di hilir wilayah selatan yang berbatasan Danau Sentani. Di dekatnya ada lahan terbuka seluas 2.612 hektare atau 8,2 persen dari total luas lahan Cyclops. Artinya, jika benar ada dugaan pembalakan liar di kawasan hulu, lahan sangat kritis ini seharusnya terlihat di bagian tengah atau puncak Pegunungan Cyclops.

Kendati angka perambahan lahan dan hutan masih kecil, tapi amuk Robhong Holo tak terhindarkan justru ketika ia mulai ditelanjangi dari hilir.

Peta Indikatif Aliran Banjir Bandang

Peta indikatif aliran banjir bandang Sentani | Dokumentasi WWF

Pada 2007, banjir bandang serupa terjadi di Sentani meski tak sampai menelan korban jiwa. Dua belas tahun kemudian, banjir yang sama memakan ratusan korban

Marshall Suebu, aktivis lingkungan Papua serta mantan Ketua Yayasan Hirosi, menilainya karena kondisi terkini sudah banyak permukiman di sekitar daerah penyangga, kawasan di luar cagar alam yang menjaga kesetimbangan antara suaka dan kelestarian alam.

Sejak 2000, kaki gunung Rodhong Holo mulai dipadati pendatang dari luar Jayapura. Sentani, kata Suebu, sudah menyerupai "miniatur Indonesia": para migran ekonomi datang dari pelbagai daerah di Indonesia.

Dari sanalah, ladang-ladang hutan di lereng gunung dibabat demi permukiman serta membiayai kebutuhan hidup keluarga, terutama untuk membiayai pendidikan, ujar Suebu.

Aiesh Rumbekwan dari WALHI Papua menilai koordinasi wewenang wilayah konservasi itu lemah sehingga perambahan dan pendudukan semakin meluas.

Edward Sembiring, notabene berwenang menjaga kesuburan Mama Robhong Holo, mengklaim sudah merekomendasikan bahwa kawasan penyangga adalah lahan kritis buat permukiman.

Sembiring berkata para polisi hutan dan tim Balai Konservasi Papua terus mencari solusi yang pas untuk mengatasi perambahan liar di lereng Pegunungan Cyclops sejak perusakan fungsi hutan mulai ditengarai pada 2003.

“Karena perambahan lahan bukan semata-mata penyebab banjir bandang,” kata Sembiring.

Sementara di Jakarta, pusat kekuasaan dan bisnis Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membentuk sebuah tim tugas untuk mempelajari penyebab pasti banjir bandang Sentani sejak 19 Maret. Satgas diketuai oleh Saparis Sudaryanto, orang dari Kementerian yang menangani urusan daerah aliran sungai.

Satgas akan melakukan rekonstruksi di daerah hulu sungai di kawasan Pegunungan Cyclops untuk mengetahui gambaran utuh soal penyebab banjir bandang Sentani.

"Saya akan mengumpulkan fakta seakurat mungkin," janji Sudaryanto.

Baca juga artikel terkait BANJIR SENTANI atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Humaniora
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam