tirto.id - Banjir bandang yang melanda Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua menuai tanda tanya sejumlah kelompok masyarakat soal penyebab terjadinya bencana yang menewaskan puluhan orang itu. Pasalnya banjir itu tidak hanya membawa air tapi juga potongan-potongan kayu hutan dari pegunungan.
Ketua Dewan Adat Papua Paul Finsen Mayor mencurigai munculnya kayu-kayu gelondongan dalam banjir bandang berasal dari aktivitas penebangan hutan ilegal di atas Pegunungan Cyloop. "Jangan-jangan di sana ada penebangan liar. Soalnya sampai merusak pesawat. Jangan sampai kita tidak tahu, ada penebangan liar di atas," kata Finsen kepada Tirto, Minggu (17/3/2019).
Finsen meminta ada investigasi lebih lanjut soal penyebab banjir bandang. Ini penting untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang karena peruskan alam yang dibiarkan. "Tetapi hal ini harus dipastikan lagi, perlu ada penyelidikan yang resmi. Tapi dugaannya seperti itu, karena ada gelondongan kayu yang turun itu," ujarnya.
Ia juga mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan kondisi wilayah terlebih dulu sebelum memulai pembangunan. Sebab saat ini di wilayah perbukitan yang ada di Sentani menjadi destinasi wisata dan berpadu dengan pemukiman masyarakat.
"Kalau di zaman Belanda, Jayapura sebagai ibu kota Netherland New Guinea, mereka melakukan penelitian dulu sebelum membangun perumahan dan sarana prasarana umum. Di saat Indonesia masuk ini, pembangunannya sembrono," ujarnya.
Direktur Walhi Papua Aiesh Rumbekwan juga heran dengan kehadiran kayu-kayu gelondongan dari atas pegunungan saat banjir bandang terjadi. Ia menduga kayu-kayu dari hasil penebangan liar. "Karena nampak dari beberapa jenis pohon yang hanyut ke kota, itu pohon yang sebenarnya bukan karena longsor. Mungkin ada, sejauh ini ada juga yang seperti sudah ditebang," ujarnya.
Aiesh mengatakan akan mempersiapkan tim untuk meninjau langsung kondisi yang terjadi di atas Sentani.
Ia juga akan coba membangun komunikasi dengan pejabat setempat untuk membahas penerapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di sana. Aiesh mengatakan perbukitan Sentani yang kini di jadi pemukiman bukan wilayah yang direkomendasikan untuk menjadi hunian.
"[Kami ingin] memastikan zona-zona tertentu itu tidak boleh ada pemukiman ataupun penebangan skala kecil. Karena kalau tidak, hanya menunggu waktu saja [bencana terjadi]," pungkasnya
Korban Banjir Bandang
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan banjir bandang yang terjadi di Sentani juga pernah terjadi pada 2007 lalu. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nughro mengabarkan sampai dengan Minggu (17/3/2019) pukul 10.15 WIB jumlah korban meninggal akibat banjir bandang mencapai 58 orang. Belum termasuk puluhan korban luka dan kerusakan harta benda.
"TIM SAR gabungan masih melakukan evakuasi dan belum semua daerah terdampak dijangkau karena tertutup pohon, batu, lumpur dan material banjir bandang," ujar Sutopo melalui pesan singkat, Minggu.
Banjir bandang Sentani juga mengakibatkan rusaknya sejumlah infastuktur warga dan pemerintah setempat. Terdapat 9 rumah rusak di BTN Doyo Baru, jembatan Doyo dan Kali Ular ikut rusak, 150 rumah di BTN Bintang Timur Sentani terendam, bahkan 1 pesawat di Lapangan Terbang Adventis Doyo Sentani ikut rusak juga.
Melihat dampak kerusakan akibat banjir bandang, Sutopo menduga penyebabnya akibat longsor di bagian hulu yang kemudian menerjang bagian hilir. Hal demikian menjadi karakteristik banjir bandang di Indonesia.
"Diawali adanya longsor di bagian hulu kemudian membendung sungai sehingga terjadi badan air atau bendungan alami," paparnya.
Karena volume air terus bertambah, menurutnya hal tersebut yang membuat bendungan alami tersebut jebol dan menumpahkan air ke bawah dengan membawa material seperti kayu gelondongan, pohon, batu, dan lumpur.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Jay Akbar