Menuju konten utama

Sulitnya Menumbangkan Emisi Gas Lewat Kesepakatan Paris

Negara-negara G20 telah melakukan dekarbonisasi, tetapi masih sangat lambat untuk mencapai kesepakatan dalam Kesepakatan Paris.

Sulitnya Menumbangkan Emisi Gas Lewat Kesepakatan Paris
Oxfam, kepala besar mirip pemimpin G20 berpartisipasi dalam protes menjelang konferensi G20 di Hamburg, Jerman, Minggu (2/7). ANTARA FOTO/REUTERS/Fabian Bimmer

tirto.id - Negara kelompok 20 ekonomi utama atau G20 menyumbang 82 persen emisi karbon dan 75 persen gas rumah kaca dari total yang ada di atmosfer. Itu sebabnya, dalam mencapai Kesepakatan Paris, negara-negara ini memiliki tanggung jawab lebih besar.

Kesepakatan Paris ditandatangani pemimpin-pemimpin negara di seluruh dunia tahun lalu, termasuk Indonesia. Sampai Juni tahun ini, sudah ada 155 negara yang meratifikasi termasuk negara-negara G20—kecuali Amerika Serikat yang baru-baru ini keluar dari kesepakatan itu.

Kesepakatan Paris menargetkan menahan laju temperatur global hingga di bawah 2°C dari angka sebelum masa Revolusi Industri. Target ini dianggap penting untuk mengurangi risiko dari perubahan iklim. Negara-negara yang telah meratifikasi kesepakatan itu harus menurunkan emisi gas rumah kacanya dengan cara yang tidak mengganggu produksi pangan. Mereka juga harus menciptakan arus keuangan yang konsisten dengan jalur menuju emisi gas rumah kaca yang rendah.

Setelah kesepakatan diratifikasi, masing-masing negara mulai berbenah, mulai dari menerbitkan berbagai regulasi hingga melakukan berbagai cara agar emisi karbon dan gas rumah kaca bisa berkurang.

Beberapa negara seperti Cina, Perancis, Jerman, dan Inggris cukup gencar dalam investasi di bidang energi terbarukan. India juga sudah memulai investasi di energi hijau ini, tetapi penggunaan batu bara masih sangat dominan di negara itu. India adalah satu-satunya negara G20 yang telah mendeklarasikan akan menghentikan penjualan mobil bahan bakar fosil pada 2030 mendatang.

Kanada, Perancis, dan Inggris juga telah membuat rencana untuk menghentikan penggunaan batu bara sebagai sumber energi. Jerman, Italia, dan Meksiko juga sedang mempertimbangkan untuk mengambil langkah yang sama. Sementara itu, Indonesia belum memiliki rencana apa-apa soal penghentian penggunaan batu bara.

Menurut laporan Brown to Green yang dirilis Climate Transparency di Berlin pada Senin (3/7), negara-negara G20 telah melakukan dekarbonisasi dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Sebesar 98 persen dari sumber energi tenaga angin di seluruh dunia ada di negara-negara G20. Sekitar 97 persen dari total panel surya yang terpasang di dunia juga ada di negara G20, dan 93 persen dari total kendaraan listrik beredar di negara G20.

Selain di Rusia, penggunaan dan instalasi energi terbarukan di negara G20 meningkat. Sayangnya, di Rusia, penggunaan energi terbarukan malah turun hingga 20 persen sejak 2009. Pertumbuhan paling tinggi ada di Cina, Korea, Turki, dan Inggris.

Niklas Hohne dari New Climate Institute menyatakan negara-negara G20 telah menggunakan energi dengan lebih efisien. Negara-negara itu pun sudah mulai beralih ke energi yang lebih bersih. Akan tetapi, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi terus memicu pertumbuhan konsumsi energi. Jadi, secara keseluruhan, pertumbuhan emisi gas rumah kaca melambat, tetapi belum menurun.

“Energi terbarukan tumbuh, tetapi batu bara dan minyak bumi masih mendominasi sebagai sumber energi di negara G20,” katanya dalam peluncuran laporan tersebut. Di antara negara G20, Jepang menjadi negara yang masih memberikan subsidi pada minyak bumi cukup besar.

Tahun 2020 hanya tersisa kurang dari tiga tahun lagi. Jika negara G20 mau berhasil mencapai Kesepakatan Paris, maka setelah tahun 2020 itu emisi karbon dan gas rumah kaca harus sudah mulai turun.

“Ekonomi negara-negara G20 sudah lebih efisien, mereka sudah memulai dekarbonisasi, tetapi tidak cukup kuat untuk sesuai dengan gol dari Kesepakatan Paris,” ungkap Alvaro Umana, Wakil Ketua Climate Transparency yang juga mantan menteri lingkungan di Costa Rica.

infografik g20

Indonesia yang Tertinggal

Indonesia menandatangani Kesepakatan Paris pada 22 April 2016, dan meratifikasinya pada 31 Oktober 2016. Meski sudah memulai upaya pengurangan emisi karbon, Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara G20 lainnya.

Laporan Brown to Green menyatakan, walaupun Indonesia merupakan salah satu negara G20 dengan porsi energi terbarukan yang cukup tinggi dalam bauran energi primer, tetapi pengembangan energi terbarukan termasuk tertinggal dibandingkan dengan negara G20 lainnya. Daya tarik investasi energi terbarukan di Indonesia juga memburuk.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil, khususnya minyak dan batu bara, dalam jumlah yang cukup besar. “Ini cukup mengkhawatirkan dalam hal upaya Indonesia memenuhi target Kesepakatan Paris,” kata Fabby.

Walaupun demikian, lanjutnya, adanya penurunan subsidi BBM merupakan indikasi bahwa Indonesia sedang berusaha mengatasi persoalan tersebut. Perlu strategi, rencana dan kebijakan yang lebih progresif untuk menuju transisi sistem energi yang rendah karbon.

Emisi gas rumah kaca (GRK) dari hutan dan gambut, serta pembangkit listrik tenaga batu bara terus meningkat hingga 2030. Padahal, agar konsisten dengan target Kesepakatan Paris, emisi GRK harus mulai stabil dan kemudian menurun. Target penurunan emisi yang disampaikan Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dinilai kurang ambisius.

Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan keberatan jika Indonesia disebut kurang ambisius. Menurutnya, apa yang telah ditargetkan KLHK yakni penurunan emisi karbon 29 persen di sektor kehutanan sudah super ambisius.

Pada tahun 2030 itu juga ditargetkan deforestasi tak boleh lebih dari 450 hektar. “Saya sebagai orang kehutanan, ingin itu tidak diotak-atik, tetapi itu tidak realistis karena kita masih dalam proses membangun, berbeda dengan negara-negara maju itu,” katanya, Selasa (5/7).

Sampai saat ini, Indonesia juga belum menentukan dan menargetkan kapan puncak emisi karbon dan kapan ia mulai bisa turun. Masripatin mengatakan pihaknya belum berani menargetkan. KLHK harus menyelesaikan persoalan lain terlebih dahulu, yakni menekan kebakaran hutan dan merehabilitasi degraded land.

“Kalau sampai 2019 itu berhasil, barulah kita bisa percaya diri menentukan kapan peaking time Indonesia,” imbuhnya.

Baca juga artikel terkait PEMANASAN GLOBAL atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti