Menuju konten utama

Saat Lumpur Menghanyutkan Desa Terparah Gempa Sulawesi Tengah

Rumah-rumah di Desa Jono Oge terbawa gulungan lumpur hingga sejauh 2,6 kilometer.

Saat Lumpur Menghanyutkan Desa Terparah Gempa Sulawesi Tengah
Foto udara kerusakan rumah akibat pergerakan atau pencairan tanah (likuifaksi tanah) yang terjadi di Desa Jono Oge, Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - “Jalan ini tadinya lurus, hanya menurun sedikit. Sekarang hilang,” ujar Hendra, 38 tahun, seraya menunjuk Jalan Poros Palu-Napu yang membelah Desa Jono Oge di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Hendra adalah warga Desa Oloboju, bersebelahan dengan Desa Sidera dan Jono Oge—ketiganya di Kecamatan Sigi Biromaru, kawasan terparah terkena gempa Donggala berkekuatan 7,2 skala Richter pada Jumat petang, 28 September 2018.

Sebagaimana Kelurahan Petobo dan Perumahan Balaroa di Palu, sebagian desa-desa di Sigi dilumat lumpur dari fenomena likuefaksi: kekuatan lapisan tanah merosot akibat beban getaran gempa.

Tanah-tanah yang semula mengeras berubah mengencer. Lapisan lumpur yang bergerak-gerak ini, ujar Hendra, menggulung permukiman padat Jono Oge. Jalan-jalan desa mendadak retak, bergelombang, mengeluarkan asap dan hawa panas.

“Jalan berongga,” kata Hendra.

Saat gempa berguncang, Hendra berencana membeli seekor sapi dan sedang keliling menemui penjualnya di sudut desa. Tapi, di tengah jalan, gempa mulai mengguncang dengan kuat.

“Tiang listrik semua tumbang satu per satu,” katanya.

Tak lama, ketika bangunan-bangunan tumbang satu demi satu, Hendra mendengar ledakan kuat di Desa Jono Oge.

“Pohon kelapa hanyut,” katanya.

Dikira tsunami, Hendra memacu sepeda motornya menembus kegelapan menuju rumahnya. “Saya langsung pulang ke rumah, ada dua anak saya di sana."

Dari kejauhan, ia melihat rumah-rumah hilang dilahap lumpur bak air bah. Lumpur itu melumat dan menyeret rumah-rumah di Desa Jono Oge sejauh 2,6 kilo meter hingga ke desa tetangga Langaleso.

Infografik Likuifaksi Pasca Gempa Palu

Warga Mengungsi ke Perbukitan

Jono Oge merupakan salah satu desa terparah yang dilumat lumpur akibat likuefaksi. Begitupun Desa Lolu dan Desa Sidera. Jalan-jalan di sekitarnya kini bergelombang dan berongga pasca-gempa.

“Jalan ini tadinya rata dan lurus,” ujar Muhamad Hanafi, 53 tahun, warga Desa Lolu merujuk jalan di kampungnya.

Di dekat rumah Hanafi, ada sebuah jalan yang permukaan tanahnya terangkat. Di atas jalan itu ada stasiun pom bensin milik Pertamina yang rusak parah. Ambles dan nyaris runtuh.

Subali Rejo, 43 tahun, adik Hanafi, mengatakan saat gempa terjadi, seketika permukaan tanah bergerak dan terbelah. Bahkan, dari sela-sela retakan itu, muncul air yang terus mengalir deras.

Satu per satu, kata Subali, rumah-rumah di samping pom bensin itu ambruk.

“Di rumah kakak saya [Hanafi], air masih keluar sampai sekarang,” kata Subali.

Karena kerusakan itu, Desa Jono Oge, Desa Lolu, dan Desa Sidera tak bisa dilintasi alat berat. Bahkan, tiga hari pasca-gempa, desa-desa itu belum bisa dilewati tim Badan SAR Nasional karena medan yang sulit lantaran jalan terputus. Basarnas baru memasuki Desa Jono Oge pada hari keempat setelah gempa, 2 Oktober 2018.

Kini warga di sana meninggalkan kampung mereka, mengungsi ke perbukitan sejauh tujuh kilometer.

“Warga semua mengungsi di atas. Tersebar di atas perbukitan,” ujar Subali.

Baca juga artikel terkait GEMPA PALU DAN DONGGALA atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana