tirto.id - Perayaan Tahun Baru Cina atau Imlek akan dilaksanakan pada Jumat, 12 Februari 2021. Kini, pemerintah sudah menetapkannya sebagai hari libur nasional. Akan tetapi, perayaannya pada tahun ini akan sedikit berbeda lantaran sedang masih dalam masa pandemi Covid-19.
Bila melihat sejarahnya, perayaan Imlek di Indonesia pernah mengalami masa kelam, bahkan mendapat pelarangan pada masa Orde Baru. Semua itu terjadi tepat di saat Soeharto masih berkuasa sebagai presiden.
Namun, saat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur naik ketampuk kekuasaan sebagai presiden, ia langsung mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 karena membatasi perkembangan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Kisah ini dicatat Hendra Kurniawan dalam buku Kepingan Narasi Tionghoa Indonesia: The Untold Histories (2020: hlm 58).
Gus Dur kemudian menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Aturan itu menjadi penerang bagi warga keturunan Tionghoa yang sering mendapatkan sikap rasialis, diskriminatif, dan anti-Tionghoa.
Seperti diwartakan Liputan 6 pada 28 Januari 2001, Gus Dur tidak setuju dengan perlakuan diskriminatif seperti yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia.
Hal itu ia sampaikan saat berbicara dalam peringatan Imlek 2.552 yang dilaksanakan oleh Majelis Tinggi Agama Kong Hu Chu Indonesia di Senayan, Minggu, 28 Januari 2001.
Apa yang disampaikan Gus Dur ini sejalan dengan sikapnya yang berani mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dan menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000.
Sebab, Gus Dur mengaku bahwa leluhurnya adalah keturunan Tam Kim Han dari Cina. Maka, kata dia, pemerintah tidak lagi memakai istilah warga keturunan atau bukan. Selain itu, Gus Dur juga mengatakan bahwa warga Tionghoa sudah bisa bebas menggunakan nama asli mereka, yang pada zaman Orde Baru sempat dilarang.
Lan fang dalam buku Imlek Tanpa Gusdur (2012: hlm 37), mengatakan sebagai orang keturunan Tionghoa, ia mengaku terkejut dengan perubahan kala Gus Dur menjadi presiden. Hari raya Imlek yang selama itu digelar secara sembunyi-sembunyi kini bisa digelar secara meriah, bahkan sampai ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Ia yang sudah terbiasa terbungkam selama berpuluh-puluh tahun sempat tidak siap dengan kebahagiaan sebesar itu, terlebih saat melihat iringan barongsai di jalan-jalan secara nyata. Sebab, sejak kecil, barongsai hanya bisa ia saksikan di film-film silat.
Menurut dia, yang dilakukan Gus Dur bukan hanya menghadirkan barongsai ke tengah-tengah masyarakat Indonesia, tetapi sangat berarti bagi bangsa dan negara. Meskipun hanya menjadi presiden dalam waktu singkat, tetapi apa yang dilakukan Gus Dur akan terus dikenang sampai saat ini.
Sejarah Pelarangan Imlek di Indonesia
Sebagaimana tercatat dalam buku Imlek dan Budaya Cina di Indonesia (2019:hlm 17) susunan Pusat Data dan Analisa Tempo, di masa Orde Baru, siapa pun yang berusaha membawakan atraksi kesenian berbau budaya Cina, maka ia bisa dituduh subversif. Jangankan di tempat publik, bahkan, di lingkungan sendiri pun, warga keturunan Cina sering dipersulit saat akan melaksakan upacara adat.
Salah satu penyebabnya adalah Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang turut mengekang kebebasan warga keturunan Cina. Arief Budiman, seorang aktivis sekaligus akademisi yang banyak menyoroti persoalan sosial, menyatakan pangkal dari peraturan itu adalah rivalitas antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Waktu itu, PKI punya hubungan erat dengan Republik Rakyat Cina. Maka daripada itu, dengan sesuka hatinya Soeharto mengidentikkan komunis dengan Cina. Padahal, itu adalah hal yang berbeda, kata Arief.
Masih dalam buku itu, meskipun Inpres tersebut masih memperbolehkan pesta agama dan adat asal tidak mencolok dan digelar di lingkungan intern, namun pada praktiknya, aparat kantor sosial sering punya tafsir sendiri.
Berdasarkan pengalaman sutradara teater N. Riantiarno kala mementaskan Sampek Engtay pada tahun 1988 di Jakarta. Saat hendak mementaskan itu, ia nyaris dilarang badan intel. Menurut Riantiarno, yang hendak ia tampilkan adalah drama percintaan bukan cerita politik.
Izin akhirnya turun tetapi ada syarat yang tidak boleh dilakukan, yakni tidak boleh ada huruf Cina, tak boleh membakar hio, dan yang terakhir, liong (naga) hanya boleh ditaruh di dalam gedung.
Hal itu masih jauh lebih beruntung daripada kejadian di Medan. Sebab, polisi melarang pentas itu dengan alasan belum mendapat izin dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Padahal, sepuluh izin dari instansi lain sudah selesai.
Bahkan, Departemen Penerangan kala itu juga turut melarang penayangan orang sembahyang di kelenteng, aksi barongsai atau penggunaan bahasa Cina di layar Cina. Menurut Ishadi S.K., eks Direktur Jenderal RTF (Radio, Televisi dan Film) yang berkembang saat itu adalah pemikiran dogmat satu arah.
"Pelarangan itu dimaksudkan untuk mendorong orang-orang Cina di sini melupakan budaya mereka agar mereka mudah masuk dan beradaptasi dengan budaya kita," kata Ishadi.
Editor: Iswara N Raditya