Menuju konten utama

Revisi Hak Keuangan DPRD Harus Penuhi Prinsip Keadilan-Kewajaran

Revisi regulasi hak keuangan DPRD sangat urgen. Dengan catatan, revisi tidak boleh sekadar “pemotongan angka”.

Revisi Hak Keuangan DPRD Harus Penuhi Prinsip Keadilan-Kewajaran
Suasana Rapat Paripurna penetapan pimpinan DPRD Provinsi DKI Jakarta Masa Jabatan 2024-2029 di Gedung DPRD Provinsi DKI Jakarta,Jumat (4/10/2024). Rapat Paripurna tersebut menetapkan Khoirudin sebagai Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta, sementara Ima Mahdiah, Rany Mauliani, Wibi Andrino, dan Basri Baco sebagai wakil ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/YU

tirto.id - Tak hanya anggota DPR RI di Senayan, Jakarta, yang mendapat limpahan fasilitas dan hak keuangan fantastis, para wakil rakyat di level daerah pun demikian. Seperti halnya anggota DPR RI, para anggota parlemen daerah setiap bulan juga mengantongi gaji lebih dari Rp50 juta.

Dalam komponen tunjangannya, selalu ada tunjangan perumahan yang nominalnya mencapai puluhan juta. Nominal tunjangan rumah anggota DPRD akhirnya juga membetot perhatian publik setelah terkuaknya besaran tunjangan rumah yang diterima oleh DPR RI.

Masyarakat pun memprotes besaran gaji dan tunjangan tersebut lantaran dinilai tak sebanding dengan kinerjanya. Di Kota Cirebon, misalnya, para anggota DPRD mendapat hak keuangan sekira Rp85 juta setiap bulan.

Berdasarkan Peraturan Wali Kota Cirebon Nomor 5 Tahun 2025 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Cirebon, uang itu sudah termasuk uang representasi sebesar RP1,57 juta, tunjangan jabatan senilai Rp2,28 juta, tunjangan komunikasi insentif Rp10,50 juta, dan tunjangan perumahan Rp45,88 juta.

Meski sudah gemuk, uang yang diterima anggota DPRD Kota Cirebon itu belum meliputi tunjangan reses dan tunjangan kesejahteraan, seperti jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian, serta pakaian dinas dan atribut.

Berjarak 250 km dari Cirebon, di Kabupaten Bogor, jumlah hak keuangan bulanan para wakil rakyat berkisar antara Rp72 juta hingga Rp92 juta, tergantung posisi yang diduduki sebagai pimpinan atau anggota.

Untuk level anggota, misalnya, merujuk pada Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 44 Tahun 2023 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD, dalam nominal gaji Rp72 juta, terdapat tunjangan perumahan senilai Rp38,5 juta dipotong PPh.

Sementara di Jakarta, nominal yang didapat oleh pimpinan dan anggota DPRD lebih jumbo. Untuk tunjangan perumahan saja, berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 415 Tahun 2022, pimpinan DPRD DKI Jakarta mendapatkan tunjangan perumahan sebesar Rp78,8 juta per bulan dan anggota DPRD DKI memperoleh Rp70,4 juta setiap bulannya.

Usai ramai unjuk rasa menuntut agar DPRD DKI Jakarta mengkaji ulang besaran tunjangan perumahan bagi anggota dewan, pimpinan DPRD DKI Jakarta akhirnya bersepakat mengevaluasi anggaran tersebut.

“Kami sudah bersepakat semuanya tidak ada satupun fraksi yang menolak, bahwa kami siap untuk dievaluasi mengenai tunjangan perumahan, disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada sekarang dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” kata Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Basri Baco, di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (4/9/2025).

Gambaran Rendahnya Sensitivitas & Empati

Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Riau (UIR), Agung Wicaksono, menilai besarnya hak keuangan DPRD menjadi problematik ketika ditempatkan dalam konteks kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia yang sedang sulit.

Laporan bertajuk "Hiring, Compensation, and Benefits Report" mengungkapkan bahwa sepanjang 2024, sebanyak 42 persen perusahaan diketahui mengurangi jumlah tenaga kerja. Pengurangan ini meliputi pemutusan hubungan kerja (PHK), perampingan, atau keputusan untuk tidak mengganti pegawai yang mengundurkan diri dan meninggalkan perusahaan.

Indonesia bahkan tercatat sebagai negara dengan jumlah pengangguran terbanyak di Asia Tenggara. Menukil data Trading Economics, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 4,76 persen di Maret 2025 atau sebanyak 7,28 juta orang.

Meski secara persentase mengalami penurunan dari 4,82 persen pada Maret 2024 menjadi 4,76 persen pada Maret 2025, jumlah pengangguran di Indonesia ini jauh lebih tinggi ketimbang negara-negara tetangga.

“Menurut teori legitimacy gap, jarak muncul ketika perilaku institusi politik tidak lagi sejalan dengan ekspektasi sosial masyarakat. Tunjangan yang tinggi tanpa justifikasi kebutuhan riil memperlihatkan rendahnya sensitivitas sosial dan empati wakil rakyat. Padahal, DPRD dipilih dari masyarakat setempat sehingga seharusnya mereka lebih peka terhadap kesenjangan yang dirasakan konstituennya,” tutur Agung ketika dihubungi Tirto, Selasa (9/9/2025).

Menurut Agung, revisi regulasi hak keuangan DPRD sangat urgen. Dengan catatan, revisi tidak boleh sekadar “pemotongan angka”, melainkan reposisi pada prinsip keadilan (equity) dan kewajaran (reasonableness).

Artinya, setiap komponen tunjangan harus diuji relevansinya: apakah benar-benar dibutuhkan untuk mendukung fungsi DPRD atau sekadar menambah beban keuangan daerah.

Sebagai bahan pertimbangan, misalnya, tunjangan rumah bagi anggota DPRD yang berdomisili di daerah yang sama tidak memiliki urgensi. Dengan pendekatan itu, menurut Agung, revisi bakal lebih rasional dan berbasis kebutuhan, bukan sekadar “simbol penghematan”.

Lagipula, besarnya hak keuangan anggota DPRD hanya bisa diterima publik jika sebanding dengan peningkatan kinerja kelembagaan. Dalam teori principal–agent, Agung menjelaskan bahwa DPRD sebagai agent harus mampu mempertanggungjawabkan mandat rakyat sebagai principal.

Namun, fungsi DPRD pada realitasnya masih lemah. Contohnya, legislasi lebih banyak diinisiasi oleh eksekutif, fungsi pengawasan kerap tidak optimal, dan fungsi anggaran yang kadang kala dijadikan ruang kompromi politik.

“Karena itu, DPRD perlu memperkuat fungsionalitasnya dengan menegakkan disiplin kerja, memperbaiki kualitas pembahasan kebijakan, serta meningkatkan interaksi dan akuntabilitas kepada masyarakat. Dengan cara itu, legitimasi publik dapat diperkuat dan pemberian hak keuangan akan lebih bisa diterima,” lanjut Agung.

Perlu Penyesuaian Bahkan Penghapusan

Tunjangan perumahan untuk anggota DPRD memang mengada-ada karena seharusnya mereka berasal dari daerah tempatnya menjabat. Senada dengan pernyataan Agung, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, pun berpendapat bahwa tunjangan perumahan yang besar jadi tak masuk akal karena anggota DPRD seharusnya sudah memiliki rumah di daerahnya.

“Fakta bahwa tunjangan fantastis yang selama ini diterima oleh anggota DPRD tentu saja membuat mereka mau tak mau harus segera melakukan penyesuaian. Jika perlu, penghapusan tunjangan perumahan seperti yang dilakukan DPR RI,” kata Lucius kepada jurnalis Tirto, Selasa (9/9/2025).

DPRD harus segera melakukan perubahan atas tunjangan-tunjangan anggotanya dan memastikan tak mempertahankan tunjangan irelevan demi mengikis kesenjangan dan terutama mengalokasikan anggaran untuk kebutuhan riil masyarakat.

“Apalagi, DPRD-DPRD ini jarang terdengar kinerjanya membaik. Mereka seperti penghangat kursi DPRD sampai pemilu berikutnya. Kasihan sekali anggaran digunakan berlebihan untuk para wakil daerah yang tak banyak bekerja,” tutur Lucius.

Header DPRD Prov DKI Jakarta 8

Ilustrasi gedung DPRD DKI Jakarta . FOTO/dok DPRD Prov. DKI Jakarta

Tuntutan publik sebagaimana disuarakan pada akhir Agustus lalu di depan DPR RI seharusnya bisa dilihat sebagai tuntutan untuk semua pejabat di seluruh level, baik di tingkat pusat maupun daerah. Bukan karena demonya dilakukan di DPR RI, lalu lembaga lain seperti DPRD merasa bukan sebagai target dari tuntutan rakyat itu.

Lucius bilang, dasar dari tuntutan masyarakat adalah soal kesenjangan antara wakil rakyat dan rakyat. Gaji dan tunjangan DPR dianggap sengaja menciptakan kesenjangan dengan rakyat dan itu melukai perasaan rakyat.

Dalam situasi perekonomian rakyat yang sulit, menaikkan tunjangan atau mempertahankan tunjangan DPR yang tinggi adalah sebuah ironi. Lucius menekankan bahwa pesan kesenjangan itu tentu akhirnya bukan hanya untuk DPR RI saja tetapi juga untuk DPRD dan pejabat negara lainnya.

“Apalagi, terungkap bahwa di banyak daerah, tunjangan anggota DPRD ternyata jauh lebih fantastis dari yang diterima DPR RI. Ini kan lebih memprihatinkan. DPRD yang seharusnya lebih dekat dengan rakyat di daerahnya harusnya paling bisa merasakan apa yang dialami rakyat di daerah itu,” kata Lucius.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, sendiri sudah angkat bicara dan meminta agar kepala daerah bersama DPRD melakukan evaluasi pemberian tunjangan perumahan bagi anggota dewan.

“Saya menyarankan kepada kepala daerah dan DPRD berkomunikasi dengan mereka untuk melakukan evaluasi,” ujar Tito kepada wartawan di Kantor Kementerian Kesehatan, Selasa (9/9/2025).

Tito menjelaskan bahwa pemberian tunjangan kepada DPRD sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 2017. Aturan tersebut, kata Tito memberi kewenangan kepada daerah untuk memberikan tunjangan kepada DPRD disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah masing-masing.

Menyoal sejumlah daerah yang diprotes oleh masyarakat terkait besaran tunjangan, Tito meminta agar pemerintah daerah dan DPRD proaktif membuka ruang dialog dengan masyarakat. Hal ini perlu dilakukan untuk menemukan solusi antara semua pihak.

Baca juga artikel terkait DANA TUNJANGAN DPRD atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi