tirto.id - Prabowo Subianto mengunjungi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Senin (16/7) malam. Di sana, Prabowo, yang ditemani beberapa fungsionaris Partai Gerindra, bertemu Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj dan Sekretaris Jenderal PBNU Helmi Faisal.
Para wartawan perlu berkali-kali bertanya untuk mengungkap maksud kedatangan Ketua Umum Partai Gerindra itu di markas kaum nahdiyin.
Awalnya, bekas Komandan Jenderal Kopassus tersebut mengaku hanya bersilaturahmi. Namun, sejurus setelah ditanyai wartawan, dia mengatakan perbincangannya dengan Said Aqil juga membahas perihal kandidat cawapres. Bagi Prabowo, berkonsultasi dengan NU merupakan hal penting.
"Lho lho lho, memilih cawapres itu penting atau tidak? Tadi saya bilang apa? Penting. Ya sudah," katanya.
Prabowo kemudian menunjuk ke arah kantong baju Said Aqil. Itu dilakukan setelah para wartawan menanyainya soal siapa kandidat cawapres yang dibicarakan.
"Mungkin di kantongnya [Said Aqil] ada," ucap Prabowo yang telah diberi amanat oleh Gerindra untuk maju sebagai capres.
Kata "kantong" menjadi salah satu yang kerap disebut-sebut jelang pendaftaran kandidat capres dan cawapres. Dalam konteks Pilpres 2019, penyebut kata kantong, biasanya kandidat capres, menyiratkan bahwa mereka telah memiliki sejumlah bakal cawapres. Kantong Said Aqil hanya satu hal yang menunjukkan bahwa NU diperhitungkan dalam menentukan jalannya Pilpres 2019.
Ada Orang NU di Kantong Jokowi dan Prabowo
Tiga hari sebelum Prabowo menunjuk kantongnya Said Aqil, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa di dalam sakunya terdapat nama Muhaimin Iskandar.
Pernyataan itu dikatakan Jokowi di Jakabaring Sport City, Palembang, Sabtu (14/7/2018). Di tempat itu pula, Muhaimin, sebagai ketua umum PKB, menyatakan partainya mendukung Jokowi sebagai capres di Pilpres 2019.
"Ini saya tambahkan sedikit. Jadi saya sudah sampaikan bahwa nama itu sudah ada di saku saya, sudah ada di saku saya. Saya harus omong apa adanya, salah satu nama itu adalah Pak Muhaimin Iskandar," ujar Jokowi.
Di samping Muhaimin, Jokowi juga mengatakan ada empat nama lain yang sudah dikantonginya. Jadi, Jokowi telah mengantongi 5 nama kandidat cawapres. Lima nama ini dikerucutkan dari 10 kandidat.
Di Kompas TV, Ketua Umum PPP Romahurmuziy—salah satu pendukung Jokowi—menyebutkan 10 kandidat tersebut: Ma'ruf Amin, Din Syamsuddin, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, Chairul Tanjung, Mahfud MD, Airlangga Hartarto, Muhaimin, Moeldoko, dan dirinya sendiri.
Dari kesepuluh nama tersebut, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Muhaimin, dan Romahurmuziy berlatar belakang NU.
Survei terhadap 1.202 responden yang secara statistik dianggap mewakili populasi pemilih di Pemilu 2019 dilakukan Alvara Research Center pada 20 April hingga 9 Mei 2018. Hasilnya menyebutkan sebanyak 33,30 persen responden mengaku sebagai anggota NU. Alvara Research Center juga menyingkap sebanyak 70 persen responden mengaku dekat dengan NU.
"NU bisa dipecah menjadi dua cara pandang: NU sebagai sebuah organisasi dan NU sebagai sebuah jamaah. Secara jamaah, mayoritas umat Islam di Indonesia menganut paham yang dianut NU. Banyak kandidat melihat NU sebagai potensi suara yang sangat besar," ujar Direktur Alvara Research Center Hasanuddin Ali kepada Tirto, Selasa (17/7/2018).
Potensi suara yang besar itu kemudian direngkuh dengan cara mengusung tokoh-tokoh NU pada pemilihan umum. Tidak jarang, orang-orang NU saling berhadapan sebagai lawan yang bersaing meraup suara sebanyak-banyaknya. Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2018 yang baru saja usai pun menggambarkan hal tersebut.
Dua kandidat gubernur di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur silam, Saifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa, adalah kader NU. Taj Yasin dan Ida Fauziyah, dua kandidat wakil gubernur di Pilgub Jawa Tengah, juga kader NU.
Dalam konteks Pilpres tahun depan, NU jelas diperhitungkan. Orang-orang NU sudah masuk kantong kandidat. Tetapi, sejauh mana para kandidat atau parpol memperhitungkan NU?
Jokowi, PKB, dan NU
Saat ini, ada 7 orang berlatar belakang NU yang menjabat menteri dalam kabinet Jokowi. Semasa pemerintahan Jokowi pula, Rais Aam NU Ma'ruf Amin terpilih sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lalu, pada Juni 2017, Ma'ruf diangkat sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Ma'ruf Amin adalah salah satu nama yang dijagokan PPP sebagai kandidat cawapres Jokowi.
Presiden Jokowi, sebagaimana disebut Greg Fealy dalam "Nahdlatul Ulama and the Politics Trap" (2018) di New Mandala, pun telah bersikap baik terhadap NU. Utamanya sejak berbagai aksi angka cantik diselenggarakan pada akhir 2016 hingga awal 2017.
Sejak itu, Jokowi mengalirkan beragam sumber daya negara guna memastikan dukungan NU secara organisasional. Sementara dalam tataran gagasan, Jokowi mengafirmasi konsep Islam Nusantara yang dikembangkan NU. "Sebagai timbal balik, NU telah melayani kepentingan politik langsung Jokowi," sebut Fealy.
"Ketika Jokowi berusaha untuk menindak keras kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada awal 2017, kelompok pemuda NU dengan patuh mulai berhadapan dengan aktivis HTI di jalanan yang terkadang menyebabkan bentrokan, sementara menyerukan kepada pemerintah untuk membubarkan organisasi itu [HTI] atas doktrin 'memecah belah' dan 'memberontak'," lanjut Fealy.
Di samping pengaruh Jokowi, Fealy juga menuliskan bahwa NU mengalami PKB-isasi secara mendalam sejak 2014. Itu terwujud berkat peran PKB sebagai penyalur dana dan aset untuk NU serta pemberi dana program-program NU di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Terpilihnya Said Aqil Siraj sebagai Ketua Umum dan Ma'ruf Amin sebagai Rais Aam PBNU pada MUktamar NU 2015 di Jombang juga terwujud berkat peran Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Saifullah Yusuf, dan Ketua DPW PKB Jatim Halim Iskandar.
Prabowo, PKS, dan NU
Melihat relasi antara Jokowi, PKB, dan NU yang bertambah erat sejak setahun hingga tiga tahun ke belakang, langkah Prabowo berkunjung ke kantor PBNU bisa dibilang terlambat.
Namun, melihat relasi Prabowo dengan parpol yang belum atau tidak menyatakan dukungannya kepada Jokowi—Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat—bisa jadi kunjungan Prabowo ke PBNU dilakukan pada waktu yang tepat. Sebab relasi PKS dan NU memanas belakangan ini.
Pada awal Juni 2018, Katib Aam NU Yahya Cholil Staquf mengunjungi Israel. Di sana, anggota Dewan Penasihat Presiden (Wantimpres) itu menghadiri forum yang diselenggarakan American Jewish Commmittee (AJC) di Yerusalem.
Selepas itu, berbagai kelompok menyatakan kritik terhadap Yahya. Salah satu yang paling gencar melancarkan kritik ialah para petinggi PKS, sebagaimana ditelaah Greg Fealy dalam "Trading Blows NU versus PKS" (2018).
Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, mengatakan, kunjungan Yahya hanya menguntungkan Israel. Mantan Presiden PKS Tifatul Sembiring bertanya di akun Twitter-nya secara sarkastis, "Kunjungan ke Israel ini atas suruhan Presiden atau iso isoan jenengan dewe' ae?"
Sedangkan Ketua DPD PKS Sumatera Utara Salman Alfarisi, seperti dikutip CNN Indonesia, menulis di status Facebook-nya, "Tak Puas jadi Wantimpres di Istana Negara.. Cecunguk itu Angkat Telor Cari Muka ke Israel.. Mau Merangkap Jadi Wantimpres Israel?"
Lontaran-lontaran pedas itu ditanggapi banyak aktivis NU. Yang lebih muda dan aktif di media sosial meramaikan jagat Twitter dengan tagar #tenggelamkanPKS. Tagar ini tersemat dalam berbagai kata serapah dan gambar-gambar yang memojokkan PKS. Duta Islam, situs media daring yang mendukung NU, juga menerbitkan sejumlah artikel yang menyerang PKS. Akhirnya, Salman Alfarisi meminta maaf kepada NU.
"Alasan di balik eskalasi ini jauh melampaui kunjungan Yahya ke Israel. Dalam beberapa tahun ke belakang, telah berkembang perhatian di banyak kalangan NU bahwa mereka kalah perang informasi dengan organisasi-organisasi Islamis, terutama PKS, yang memiliki komunitas sosial-media paling sosial di Indonesia," sebut Fealy.
Jelang Pilpres 2019, sebagaimana Jokowi dan Prabowo, PKS juga punya nama-nama di kantongnya. Partai berasas Islam ini sudah mengajukan 9 nama capres dan cawapres.
Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan bahwa pihaknya tengah mengkaji dua nama, Ahmad Heryawan (mantan gubernur Jabar) dan Salim Segaf Al Jufri (Ketua Majelis Syuro PKS), yang ditawarkan PKS sebagai opsi kandidat cawapres Prabowo.
Di tengah tawaran cawapres PKS dan relasi PKS dan NU yang tengah memanas, kunjungan Prabowo ke PBNU adalah pernyataan tersirat bahwa dia memiliki pendukung lain dan kandidat cawapres selain yang ditawarkan PKS.
"Statement ‘calon saya ada di kantongnya pak Said’ itu bahasa tersirat dari Prabowo bahwa dia masih punya kandidat cawapres yang bersedia dengan saya [Prabowo]. Tidak harus dari PKS," sebut Hasanuddin Ali.
Selain itu, Prabowo juga tengah menyeimbangkan posisinya dalam Islam politik, yang semula cenderung ke "kanan" menjadi ke "tengah". Ini penting untuk meyakinkan simpatisannya agar memilih Prabowo kembali.
"Wacana yang berkembang hari ini cawapres yang diusung Jokowi condongnya kader NU. Pak Prabowo diasosiasikan kelompok Islam kanan. Yang dilakukan pak Prabowo ingin mengembalikan posisinya sebagai kelompok tengah, tidak terasosiasi ke kelompok kanan," ujar Hasanuddin.
Said Aqil sendiri sebenarnya mendukung Prabowo di Pilpres 2014. Sikap serupa juga ditunjukkan Choirul Anam, kiai yang menjadi ketua umum terakhir Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Pada 2013, PKNU melebur menjadi sayap organisasi Islam Gerindra yang bernama Gerakan Aswaja.
NU dan Pemilih Rasional
NU memang sulit dilepaskan dari konstelasi perpolitikan di Indonesia. Organisasi ini sempat menjadi partai politik. Ia meraup 6,9 juta suara pada Pemilu 1955 dan meraih 45 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pada 1973, kebijakan Orde Baru membuat NU dilebur bersama 3 parpol Islam lainnya menjadi PPP. NU pun menjadi tulang punggung PPP hingga menyatakan keluar dari PPP melalui pernyataan "Kembali ke Khittah 1926" yang diambil lewat Muktamar NU 1984.
Setelah itu, NU tidak berpolitik praktis secara organisasi. Tetapi kadernya menyebar di berbagai parpol.
Setelah Soeharto tumbang pada 1998, geliat kader NU mendirikan parpol membuncah. Mereka mendirikan PKB, PKNU, Partai SUNI, PKU, hingga PKNU. Yang mampu bertahan hingga kini ialah PKB. Sejumlah tokoh NU pun mengisi ceruk-ceruk kepemimpinan di PPP.
Di tengah konservatisme Islam yang semakin menguat sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, mengusung kandidat berlatar belakang NU menjadi pilihan. Tetapi, apakah itu keputusan yang tepat?
Survei Alvara Research Center menyebutkan bahwa sebanyak 40 persen responden dikategorikan pemilih rasional. Pemilih tersebut cenderung melihat program ketimbang figur. Dengan kata lain, ajakan memilih kandidat tertentu yang disampaikan kiai atau tokoh-tokoh NU tidak mempan kepada mereka.
"Para kandidat yang mendekat NU harus jeli melihat perubahan perilaku. Tidak cukup datang ke ponpes atau ke PBNU tanpa dibarengi dengan program atau kampanye yang lebih baik," ujar Hasanuddin Ali.
Editor: Ivan Aulia Ahsan