tirto.id - Majelis Syuro PKS mengumumkan nama-nama kader PKS yang diajukan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden 2019. Nama itu baru dipublikasikan setelah musyawarah Majelis Syuro VI PKS digelar pada 13 Januari 2018.
Dalam pernyataan resmi di laman PKS, Presiden PKS Sohibul Iman mengatakan ada sembilan nama kader PKS yang masuk dalam penjaringan internal PKS. Sembilan nama itu Ahmad Heryawan, Al Muzammil Yusuf MS, Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, Irwan Prayitno, Mardani Ali Sera, Salim Segaf Al-Jufri, Sohibul Iman, dan Tifatul Sembiring.
"Maka Musyawarah Majelis Syuro VI PKS menetapkan sembilan nama sebagai bakal calon presiden dan atau bakal calon wakil presiden hasil penjaringan internal," kata Sohibul seperti dilansir dalam portal PKS.
Sembilan nama itu adalah kader andalan PKS. Ahmad Heryawan dikenal sebagai gubernur Jawa Barat selama sepuluh tahun (2008-2018). Hidayat Nur Wahid pernah menjadi Ketua MPR. Anis Matta adalah mantan presiden PKS yang berhasil menyelamatkan PKS dari prahara korupsi Luthfi Hasan Ishaaq.
Irwan Prayitno adalah Gubernur Sumatera Barat. Sohibul Iman adalah presiden PKS sekarang dan pernah menjadi rektor Universitas Paramadina. Salim Segaf Al-Jufri adalah salah satu ideolog PKS dan kini menjabat Ketua Majels Syuro PKS, jabatan tertinggi di PKS.
Tifatul Sembiring adalah mantan Menteri Komunikasi dan Informasi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Al Muzammil Yusuf MS adalah presiden PKS pertama. Sementara Mardani Ali Sera adalah orang di balik kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno di DKI Jakarta.
Sembilan nama itu sudah dikantongi beberapa bulan sebelum diumumkan. Pada 18 April sampai 7 Mei 2017, PKS melakukan inventarisasi dan penjaringan bakal capres dan cawapres. Para kader inti memberikan suaranya sebagaimana pemilihan raya.
Lima Nama Menjadi Sembilan Nama
Lembaga Pelaksana Penokohan Kader, penanggung jawab proses itu, diberi mandat untuk mencari lima nama kader dengan suara terbanyak. Merujuk pada keputusan LPPK, seharusnya lima nama kader yang meraih suara terbanyak adalah Ahmad Heryawan (31,72 persen), Hidayat Nur Wahid (24,70 persen), Anis Matta (20,34 persen), Irwan Prayitno (13,08 persen), dan Sohibul Iman (4,50 persen).
Namun, di tengah perjalanan, Dewan Pimpinan Tingkat Pusat, yang diketuai Salim Segaf Al-Jufri, meminta Lembaga Pelaksana Penokohan Kader menyetorkan sembilan nama dengan perolehan suara terbanyak. Permintaan itu berdasarkan hasil rapat pada 2 Mei 2017. Perubahan dari lima nama menjadi sembilan nama itu membuat Salim Segaf Al-Jufri dan tiga kader lain bisa masuk dalam bursa capres.
Perubahan ini terkesan memaksakan. Sebab, perolehan suara nama yang berada di peringkat enam sampai sembilan tak lebih dari dua persen. Misalnya, Salim Segaf Al-Jufri yang berada di posisi keenam hanya mendapat 1,73 persen suara; disusul Tifatul Sembiring (1,68 persen), Al Muzammil Yusuf (0,51 persen), dan Nur Mahmudi Ismail (0,45 persen).
Soal penambahan itu, menurut juru bicara PKS Mardani Ali Sera, sudah jadi keputusan Dewan Pimpinan Tingkat Pusat. Rasionalisasinya, makin banyak nama makin banyak pilihan untuk disodorkan kepada koalisi.
“Bagi kami itu bukan soal jumlah. Suara sekecil apa pun itu tetap berharga,” kata Mardani kepada Tirto.
Selain penambahan nama itu, ada pula kejanggalan lain, yakni perbedaan versi nama kesembilan. Merujuk pada keputusan Lembaga Pelaksana Penokohan Kader, nama terakhir adalah Nur Mahmudi Ismail. Namun, setelah beberapa bulan, mantan wali kota Depok itu mengendap, digeser oleh Mardani Ali Sera.
Sekjen PKS Mustafa Kamal membantah ada perubahan komposisi kesembilan nama itu. Menurutnya, sejak awal, Dewan Pusat PKS sudah memutuskan nama Mardani sebagai calon potensial baik sebagai presiden maupun wakil presiden yang akan diusung PKS.
“Yang diputuskan majelis, kesembilan nama itu ya Mardani,” kata Mustafa kepada Tirto.
Aturan Ribet Sosialisasi
Meski sudah mengumumkan kesembilan nama calon, PKS tak serta-merta membiarkan mereka bergerak sendiri. Setelah pengumuman itu, PKS menerbitkan pedoman sosialisasi untuk sembilan orang itu. Anehnya, pedoman itu bukan mengampanyekan tapi justru menghambat para calon.
Pedoman itu melarang sejumlah tindakan kampanye kesembilan calon. Beberapa di antaranya dilarang melakukan sosialisasi dan mobilisasi kepada anggota partai dan struktur organisasi partai, menggerakkan anggota untuk sosialisasi di media sosial, dan dilarang membentuk tim sukses.
Sanksi dari pelanggaran itu bukan main-main. Mereka yang melanggar bisa dibatalkan menjadi capres dan cawapres dari PKS.
Aturan ini pula yang akhirnya membuat acara deklarasi Anis Matta di Bandung pada 21 April 2018 diboikot oleh Dewan Pimpinan Wilayah PKS Jawa Barat. Sehari sebelum acara, DPW PKS mengeluarkan surat imbauan kepada kader agar tidak berpartisipasi dalam deklarasi pencalonan Anis Mata.
Mardani Ali Sera mengatakan peristiwa itu bukanlah pemboikotan, tapi lebih karena DPW PKS Jawa Barat sedang menghadapi Pilkada 2018 saat PKS mengusung calon gubernur di sana.
“Itu karena situasi pada saat Pilkada," ujarnya. "Bukan karena apa-apa."
Mahfudz Siddiq, orang dekat Anis Matta, berpendapat berbeda. Ia mengatakan pemboikotan acara Anis Matta membuktikan ada intrik antara capres dan cawapres dari PKS.Ia mengkritik sembilan nama itu tak ubahnya pajangan yang dilarang melakukan apa-apa.
“Kami lama di politik," ujarnya kepada Tirto, Selasa kemarin. "Kalau lihat aturannya begitu, ini justru alat untuk mengontrol saja."
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam