Menuju konten utama

Ramai Penerima Beasiswa UKT di ITB Wajib Part Time di Kampus

ITB berdalih kerja paruh waktu di kampus untuk penerima beasiswa UKT bertujuan agar mahasiswa berkontribusi kepada kampus dan dapat pengalaman kerja.

Ramai Penerima Beasiswa UKT di ITB Wajib Part Time di Kampus
gedung itb.foto/fti.itb.ac.id

tirto.id - Institut Teknologi Bandung (ITB) kembali menjadi sorotan publik setelah kebijakan baru terkait beasiswa Uang Kuliah Tunggal (UKT) viral di media sosial.

Kampus ternama ini mendapat kritikan tajam dari mahasiswa dan masyarakat luas setelah informasi menyebutkan bahwa mahasiswa penerima beasiswa UKT diharuskan bekerja paruh waktu untuk kampus dalam berbagai kegiatan.

Menurut informasi yang beredar, mahasiswa yang menerima pengurangan UKT melalui beasiswa tersebut diminta mengisi tautan Google Form sebagai bagian dari proses 'magang' untuk kebutuhan kampus. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi dan memicu respons negatif, terutama di kalangan mahasiswa.

"ITB membuat kebijakan kepada seluruh mahasiswa ITB yang menerima beasiswa UKT, yaitu beasiswa dalam bentuk pengurangan UKT, diwajibkan melakukan kerja paruh waktu untuk ITB. Kebijakan ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa penerima beasiswa UKT berkontribusi kepada ITB," demikian bunyi surat elektronik (email) resmi dari pihak kampus yang tersebar di media sosial.

Dalam email tersebut, mahasiswa penerima beasiswa diminta untuk mengisi tautan Google Form yang harus diserahkan paling lambat pada Jumat (27/9/2024) pukul 19.00 WIB. Kewajiban ini mencakup semua mahasiswa yang mendapat beasiswa UKT dan bertujuan untuk membantu operasional kampus.

Namun, kebijakan ini langsung mendapat reaksi keras dari para mahasiswa, salah satunya Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) ITB, Fidela Mawa Huwaida.

Fidela menyatakan kekecewaannya atas kebijakan kampusnya yang dinilai tidak adil tersebut. Menurutnya, kebijakan ini memperlihatkan bahwa ITB tidak sepenuhnya ikhlas dalam memberikan keringanan UKT.

"Hal ini jelas memperlihatkan bahwa ITB tidak ikhlas dalam memberikan keringanan UKT bagi teman-teman mahasiswa. Padahal, mendapatkan pendidikan dengan biaya yang terjangkau merupakan hak mahasiswa," kata Fidela dalam siaran persnya.

Ia menambahkan, kebijakan ini semakin memperburuk kondisi mahasiswa yang sudah kesulitan mendapatkan keringanan UKT. Selain itu, adanya ancaman evaluasi ulang proses pengajuan keringanan UKT makin memperlihatkan ketidakpedulian pihak kampus terhadap kesejahteraan mahasiswa.

"Adanya ancaman untuk mengevaluasi ulang proses pengajuan keringanan UKT yang diajukan mahasiswa ITB juga menjadi bukti ketidakikhlasan ITB dalam memenuhi kewajibannya untuk menyediakan pendidikan yang layak dan terjangkau," tegas Fidela.

Ia juga menjelaskan bahwa email tersebut menyertakan dua tautan Google Form yang ditujukan kepada mahasiswa penerima dan non-penerima beasiswa UKT. Namun, setelah isu ini mencuat dan menuai protes, kedua formulir tersebut segera ditutup oleh pihak kampus ITB.

Sebagai respons awal, Fidela dan timnya berencana untuk segera mengadakan pertemuan dengan Direktur Pendidikan ITB, Dr. Techn. Ir. Arief Hariyanto, guna membahas kebijakan tersebut.

"Kami akan mengumpulkan pertanyaan dari mahasiswa melalui Kesma/Kesra HMJ dan Senator utusan lembaga untuk ditanyakan lebih lanjut kepada Dirdik," terangnya.

PENGHARGAAN INTERNASIONAL MAHASISWA ITB

Anggota tim Aksantara ITB menerbangkan robot terbang rakitannya di Kampus ITB, Bandung, Jawa Barat, Rabu (3/10/2018). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc/18.

Sementara itu, kebijakan kerja paruh waktu ini juga ramai diperbincangkan di media sosial X. Salah satu akun dengan nama pengguna @tilehopper mengungkapkan kekecewaannya. Ia bercerita bahwa adiknya, yang saat ini kuliah di ITB, hanya mendapatkan keringanan UKT sebesar Rp3,75 juta, namun harus bekerja paruh waktu.

"Ade gue kuliah ITB. Dia dapet keringanan dari UKT 5 ke UKT 4. Cuman dapet keringanan 3,75 juta. Dengan keringanan sepelit itu dan luar biasa susah buat dapetnya, sekarang lu maksa semua mahasiswa yang ajuin keringanan jadi your unpaid labour?" tulisnya dengan nada kesal.

Keluhan lainnya datang dari akun @laneigeromand yang mendapat surat elektronik (email) langsung dari pihak ITB. Ia mengeluhkan beban kerja tambahan yang harus ditanggung mahasiswa jika kebijakan tersebut diberlakukan.

"Hai, sorry to break it to you, masalahnya aku udah ambil 24 SKS semester ini, aku udah diterima jadi asdos (asisten dosen) dan asprak (asisten praktikum) di jurusan. Aku juga bekerja di luar kuliah untuk tambahan biaya hidup, dan sekarang diwajibkan buat kerja buat pusat ITB kalau gak mau keringanan UKT dicabut?" tulisnya.

Respons Pihak ITB

Menanggapi kontroversi ini, pihak kampus ITB akhirnya memberikan klarifikasi. Mereka menjelaskan bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa penerima beasiswa UKT agar bisa berkontribusi kepada kampus sekaligus mendapatkan pengalaman kerja yang relevan.

"Kebijakan ini dirancang untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa penerima beasiswa UKT agar dapat berkontribusi pada pengembangan kampus sekaligus mendapatkan pengalaman kerja yang relevan," kata Kepala Biro Komunikasi da Hubungan Masyarakat ITB, Naomi Haswanto, kepada Tirto, Rabu (25/9/2024).

Lebih lanjut, ITB menyebut bahwa kebijakan ini adalah bagian dari sistem bantuan keuangan mahasiswa yang lebih komprehensif, yang disebut Financial Aids System. Sistem ini mencakup berbagai program bantuan keuangan seperti beasiswa, hibah, program kerja paruh waktu, hingga layanan pendukung seperti konseling keuangan dan workshop.

Tujuan dari sistem ini, menurut pihak ITB, adalah untuk mendidik mahasiswa agar tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga memiliki karakter yang kuat, adaptif, berintegritas, dan rendah hati. Mahasiswa penerima beasiswa juga didorong untuk berperan aktif dalam berbagai kegiatan kampus, termasuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

"Kami berkomitmen untuk selalu mengedepankan transparansi dalam setiap kebijakan yang diambil, serta memastikan bahwa kebijakan tersebut memberi manfaat maksimal bagi seluruh mahasiswa," jelas Naomi.

Meski demikian, protes mahasiswa dan masyarakat masih terus berlangsung, menunjukkan bahwa kebijakan ini memerlukan dialog lebih lanjut antara pihak kampus dan mahasiswa untuk mencapai kesepakatan yang adil bagi semua pihak.

Sementara itu, Wakil Menteri Koordinator Kesejahteraan Mahasiswa Kabinet KM ITB, Bashravie Thamrin, menambahkan dalam regulasi Permendikbud No. 2 Tahun 2024, beasiswa UKT didefinisikan sebagai penurunan tarif dan/atau perubahan kelompok UKT serta didefinisikan juga sebagai pemberian keringanan UKT.

Menurut Bashravie, upaya yang dilakukan kampusnya sebagai gimik dalam mengartikan diksi beasiswa UKT ini. Ia menilai pihak rektorat ITB telah sewenang-wenang menggunakan diksi beasiswa ini dengan mengharapkan timbal balik dari mahasiswa yang mendapatkan keringanan UKT.

"Dimana karena penggunaan diksi beasiswa, ini merupakan hal wajar bagi rektorat untuk meminta 'timbal balik' dari para penerima program yang sebenarnya adalah hak mahasiswa sesuai permendikbud tersebut," terang Bashravie.

KM ITB, kata Bashravie meminta pihak rektorat ITB menjelaskan perbedaan diksi keringanan UKT dan beasiswa UKT ini.

"Seminimalnya membantu pemahaman orang tua mahasiswa dan masyarakat bahwa rektorat kami melalui Direktorat Pendidikan ITB sudah melakukan pelanggaran terhadap Permendikbud No. 2 Tahun 2024," terangnya.

Baca juga artikel terkait ITB atau tulisan lainnya dari Dini Putri Rahmayanti

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Dini Putri Rahmayanti
Penulis: Dini Putri Rahmayanti
Editor: Bayu Septianto