tirto.id - Presiden Joko Widodo mengatakan "perlu ada kebijakan darurat sipil" dalam penanganan pandemi Corona COVID-19. Status itu dapat diterapkan bersamaan dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sedang digarap peraturan pelaksananya. Semua itu disampaikan dalam rapat terbatas di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (30/3/2020).
Rencana kebijakan tersebut merupakan jawaban Jokowi yang tidak mengambil pilihan lockdown, yang memang tidak diatur dalam perundang-undangan mana pun tapi maknanya sama dengan 'karantina wilayah' sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menjelaskan duduk perkara 'darurat sipil' dalam konteks perundang-undangan.
Sebelum menerapkan darurat sipil, Presiden harus terlebih dulu menyatakan negara dalam 'keadaan bahaya' sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 12 UUD 1945.
"Status keadaan bahaya itu disertai tiga tingkatan menurut Perppu No. 23 Tahun 1959 [tentang Keadaan Bahaya]: keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer, dan keadaan perang," kata Feri kepada reporter Tirto, Selasa (31/3/2020).
Tiga poin di atas ditentukan oleh tiga kondisi, yakni terkait keamanan dan ketertiban; perang; dan keadaan khusus yang mengancam hidup. Menurut Feri, bencana non-alam dan wabah penyakit termasuk dalam keadaan khusus. Apabila wabah penyakit dianggap sudah membahayakan kehidupan bernegara, maka status keadaan bahaya sebagaimana Pasal 12 UUD 1945 bisa diterapkan.
Namun Feri menilai darurat sipil tidak perlu diaktifkan. Menurutnya pemerintah konsisten saja menjalankan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Lewat peraturan ini, pemerintah dapat memberlakukan karantina dengan berbagai macam tingkatan.
Hal serupa diungkapkan peneliti kebijakan publik dari Universitas Indonesia Defny Holidin. Ia lebih menyarankan pemerintah mempertimbangkan opsi lockdown/karantina wilayah seperti yang dilakukan oleh beberapa negara terdampak. Hal itu untuk mendukung kebijakan pembatasan fisik dan sosial yang terbukti memperlambat penularan virus dari manusia ke manusia.
"Secara empirik, langkah ini lebih relevan dan dibutuhkan segera, bukan penerapan darurat sipil," ujarnya kepada reporter Tirto.
Meniadakan Kewajiban Negara
PSBB sebetulnya juga diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Namun, definisi dan dampaknya bagi pemerintah berbeda dengan karantina wilayah.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menjelaskan beda dengan karantina wilayah, PSBB--dengan atau tanpa tambahan status 'darurat sipil'--tidak mewajibkan pemerintah memenuhi kebutuhan dasar rakyat.
"Jika merujuk Pasal 59 UU Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah pusat lepas tanggung jawab untuk menjamin kebutuhan hidup masyarakat," ujarnya melalui pesan tertulis yang diterima reporter Tirto.
Pasal yang dimaksud Anam menyebutkan bahwa penerapan PSBB paling sedikit meliputi: peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Semua ini sebenarnya sudah berjalan sejak dua pekan terakhir.
Pasal tersebut sama sekali tidak menyebut apa saja kewajiban pemerintah terhadap masyarakat yang ada dalam lingkup PSBB. Ini berbeda dengan karantina wilayah, yang diatur dalam Pasal 55. Pasal tersebut tegas menyebut selama karantina wilayah, "kebutuhan dasar orang dan makanan hewan tenak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat."
Tanggung jawab ini dilakukan dengan "melibatkan pemerintah daerah dan pihak terkait."
Jubir Presiden Fadjroel Rachman menegaskan opsi karantina otomatis tidak bakal dijalankan saat Jokowi mengatakan yang bakal dilakukan adalah PSBB ditambah darurat sipil. "Presiden tidak mengambil karantina wilayah," katanya, Selasa.
Dengan hanya menerapkan PSBB plus "didampingi kebijakan darurat sipil," Anam menilai itu justru "melahirkan berbagai pelanggaran HAM dan juga potensial menimbulkan tindakan koersif yang masif dan meluas."
Kebijakan darurat sipil memang memberikan kewenangan besar bagi aparat kekerasan, atau dalam Perppu 23/1959 disebut 'Penguasa Darurat Sipil'. Dalam Pasal 17 misalnya. Mereka disebutkan berhak "mengetahui semua percakapan", "melarang pengiriman berita-berita", "melarang pemakaian alat telekomunikasi", bahkan "menyita atau menghancurkan perlengkapan tersebut."
Pada Pasal 19 dan Pasal 20 bahkan disebutkan bahwa Penguasa Darurat Sipil berhak "membatasi orang berada di luar rumah" dan "memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai."
Bagi Anam, semua ini akan menakutkan masyarakat dan "potensial merusak yang sudah terbangun."
=====
Informasi seputar COVID-19 bisa Anda baca pada tautan berikut:
1. Ciri-Ciri Corona & Gejala COVID-19, Apa Beda dari Flu & Pneumonia?
2. Gejala Coronavirus Selain Demam dan Batuk: Tak Mampu Mencium Bau
3. Pentingnya Jaga Jarak di Tengah Pandemi COVID-19
4. 8 Cara Mencegah Penularan Virus Corona pada Lansia
5. Cara Deteksi Dini Risiko Covid-19 Secara Online
6. Update Corona Indonesia: Daftar Laboratorium Pemeriksaan COVID-19
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino