tirto.id - PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex, kembali menjadi sorotan publik setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap Komisaris Utama (Komut) perusahaan, Iwan Setiawan Lukminto, terkait dugaan korupsi dalam pemberian kredit bank kepada PT Sritex.
Penangkapan dilakukan pada Selasa malam, 20 Mei 2025, di Solo dan telah dikonfirmasi oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Ardiansyah.
“Betul, [Selasa] malam tadi ditangkap di Solo," katanya dikutip dari ANTARA, Rabu (21/5/2025),
Kejagung sebelumnya telah membuka penyelidikan terkait dugaan korupsi dalam pemberian kredit bank kepada PT Sritex. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menyampaikan saat ini penyidik masih menelaah kemungkinan adanya kerugian negara dalam kasus tersebut.
“Kita harap, tentu dari berbagai keterangan, akan dikaji apakah ada fakta hukum terkait dengan dugaan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan jabatan dan seterusnya yang terindikasi merugikan keuangan negara,” ujar Harli, dikutip dari ANTARA, Rabu (21/5/2025).
Kasus dugaan korupsi dalam pemberian kredit bank kepada PT Sritex ini mencuat di tengah kondisi perusahaan yang sebelumnya telah dinyatakan pailit pada Oktober 2024 dan resmi menghentikan operasionalnya per 1 Maret 2025.
Selain menimbulkan kerugian bagi para kreditur dengan total tagihan utang mencapai Rp29,8 triliun, kebangkrutan Sritex juga berdampak signifikan terhadap tenaga kerja, dengan lebih dari 11 ribu karyawan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Profil Iwan Setiawan Lukminto Eks Dirut Sritex & Kekayaan
Iwan Setiawan Lukminto adalah salah satu tokoh penting di balik kiprah PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex), perusahaan tekstil ternama asal Solo yang didirikan oleh ayahnya, H.M. Lukminto.
Lahir di Solo pada 24 Juni 1975, Iwan S. Lukminto merupakan anak sulung dari pendiri Sritex Group, yang memulai usaha dari sebuah toko batik kecil di Pasar Klewer pada tahun 1966.
Berbekal gelar Sarjana Administrasi Bisnis dari Suffolk University, Boston, Amerika Serikat, yang diraihnya pada 1997, Iwan langsung bergabung dengan Sritex sebagai Asisten Direktur pada tahun yang sama.
Kariernya di perusahaan terus menanjak, hingga menjabat sebagai Wakil Direktur Utama pada 1999 hingga 2013 dan kemudian dipercaya memimpin sebagai Direktur Utama (Dirut) dari 2014 hingga 2022.
Setelahnya, Iwan ditunjuk menjadi Komisaris Utama berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Nomor 53 pada 17 Maret 2023.
Di luar lingkup perusahaan, Iwan juga aktif dalam berbagai organisasi bisnis dan industri. Melansir laman resmi Sritex, Iwan S. Lukminto pernah menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) periode 2020–2021 dan sejak 2021 menjabat sebagai Dewan Penasihat AEI.
Ia juga tercatat sebagai anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di bidang pengembangan pasar modal dan investasi (2020-2023), Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), serta menjadi bagian dari Dewan Kehormatan PB Wushu Indonesia.
Dengan pengalaman lebih dari seperempat abad di industri tekstil, Iwan telah menerima berbagai penghargaan bergengsi. Pada 2014, ia dinobatkan sebagai Businessman of the Year oleh majalah Forbes Indonesia dan meraih penghargaan EY Entrepreneur of the Year dari Ernst & Young.
Namanya juga sempat masuk dalam daftar 50 orang terkaya Indonesia versi Forbes pada 2020, dengan estimasi kekayaan sebesar USD 515 juta atau sekitar Rp7,81 triliun. Namun, pada tahun berikutnya, namanya tidak lagi tercantum dalam daftar tersebut.
Terlepas dari berbagai prestasi yang sudah ditorehkan, pada 21 Oktober 2024, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Srittex) dinyatakan bangkrut atau pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang.
Keputusan pailit berdasarkan putusan perkara dengan nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg oleh Hakim Ketua, Moch Ansor, karena Sritex dinilai tidak mampu membayar utang.
Permohonan pengajuan perkara Sritex pailit adalah PT Indo Bharta Rayon selaku pihak kreditur. Pemberi pinjaman atau pihak kreditur mengajukan pembatalan damai atas penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Penulis: Febriyani Suryaningrum
Editor: Dicky Setyawan