tirto.id - Presiden Joko Widodo optimistis ekonomi digital Indonesia dalam enam tahun ke depan mampu tumbuh sekitar Rp5.800 triliun. Jumlah ini setidaknya naik hampir empat kali lipat dibandingkan nilai ekonomi digital saat ini yang masih berada di kisaran 82 miliar dolar AS.
"Saya berulang kali sampaikan soal potensi, peluang ekonomi digital Indonesia ke depan. Ekonomi digital Indonesia akan tumbuh 210-360 billion dolar AS atau kalau dirupiahkan bisa di angka Rp5.800 triliun," ujar Jokowi dalam Festival Ekonomi Keuangan Digital dan Karya Kreatif Indonesia di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Kamis (1/7/2024).
Hitungan Jokowi bukan tanpa dasar. Ia setidaknya berpegang kepada Studi Google Temasek, Bain & Company (2022) yang menunjukkan ekonomi digital Indonesia pada 2022 yang telah mencapai 77 miliar dolar AS atau tumbuh 22 persen dari 2021.
Bahkan saat itu Indonesia dinilai berhasil menjadi pemain utama dalam ekonomi digital ASEAN, karena sekitar 40 persen dari nilai total transaksi ekonomi digital berasal dari Tanah Air.
Dengan kinerja positif sektor ekonomi digital, nilai valuasinya diperkirakan akan tumbuh dua kali lipat menjadi 130 miliar dolar AS pada 2025, dan akan mencapai 220-360 miliar dolar AS di 2030. Pencapaian tersebut disokong oleh kondisi Indonesia yang mempunyai mayoritas jumlah penduduk berusia produktif.
Di samping itu, Indonesia juga memiliki lebih dari 2.400 perusahaan start up atau rintisan, sehingga menjadi peringkat ke-6 di dunia dengan jumlah start up terbanyak, juga tingkat penetrasi internet yang sudah mencapai 76,8 persen
Pada saat yang sama, kata Jokowi, pembayaran digital diperkirakan akan tumbuh 2,5 kali lipat menjadi 760 miliar dolar AS atau sekitar Rp12.300 triliun. Pertumbuhan itu dapat dicapai karena Indonesia didukung oleh puncak bonus demografi di 2030, yaitu 68 persen berusia produktif, termasuk di dalamnya Gen Y, Gen Z, Gen A.
Potensi pertumbuhan ekonomi digital dan pembayaran digital tentu didorong oleh masifnya perkembangan pengguna ponsel aktif di Tanah Air yang saat ini sudah mencapai 354 juta. Artinya, dengan jumlah penduduk Indonesia yang saat ini sekitar 280 juta, seseorang dapat memiliki ponsel lebih dari satu di tangannya.
"Jumlah yang sangat besar sekali, potensinya besar sekali," kata Jokowi.
Namun menurut Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, angka potensi ekonomi digital tersebut rasanya cukup berlebihan. Apalagi potensi ekonomi digital yang disampaikan bisa mencapai Rp5.800 triliun itu merupakan potensi yang dihitung oleh Google, Temasek, dan Bain.
"Yang saya yakini, besaran ekonomi digital di Indonesia pada tahun 2030 tidak seperti yang diperkirakan oleh mereka," kata Huda kepada Tirto, Jumat (2/8/2024)
Huda menjelaskan, berdasarkan laporan terakhir, Google, Temasek, dan Bain justru mengoreksi besaran ekonomi digital menjadi 109 billion dolar AS di 2025. Padahal tiga tahun yang lalu, mereka memprediksi besaran ekonomi digital Indonesia mencapai 146 billion dolar AS di 2025.
Artinya Google, Temasek, dan Bain telah menurunkan proyeksi ekonomi digital Indonesia 2025 hingga 30 persen. Tidak menutup kemungkinan penurunan itu juga terjadi pada proyeksi ekonomi digital di 2030.
"Saya rasa di 2025 besarannya hanya di angka 98 billion dolar AS. Tahun 2030 kurang dari 210 billion dolar AS atau kurang dari Rp3000 triliun. Jadi yang disampaikan pemerintah itu adalah proyeksi optimistis. Tapi saya pribadi tidak seoptimistis itu," ungkapnya.
Jalan Terjal RI Mengejar Potensi Ekonomi Digital
Masalahnya, kata Huda, masih cukup banyak pekerjaan rumah (PR) Pemerintah Indonesia untuk mengejar potensi ekonomi digital. Apalagi ketersedian infrastruktur digital di Tanah Air belum memadai.
Jika infrastruktur tidak tersedia secara merata, imbuhnya, yang terjadi adalah kue ekonomi Indonesia akan terlalu dikuasai oleh masyarakat dengan infrastruktur paling canggih, atau bisa dibilang masyarakat perkotaan. Masyarakat terluar, tertinggal, dan terpinggir di Indonesia tidak mungkin menikmati manfaat dari ekonomi digital.
"Yang ada semakin memperuncing ketimpangan antar daerah. Jadi ini yang terpenting," katanya.
Maka yang terpenting bagi pemerintah adalah mengurangi ketimpangan digital dari tiga aspek, yaitu infrastruktur, SDM, dan penggunaan digital. Sebab menurut Huda, tiga aspek tersebut masih sangat lemah di Indonesia.
"Infrastruktur tadi belum merata, SDM kita juga masih banyak yang belum tahu apa itu internet, terutama fungsi dari internet dalam aktivitas ekonomi," katanya.
Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, menambahkan ada beberapa catatan kendala pemerintah untuk mengejar potensi ekonomi digital. Pertama adalah gagalnya pemerintah untuk mencapai yang disebut dengan merdeka sinyal pada 2020.
"Memang pemerintah mencoba membangun layanan infrastruktur internet berbasis teknologi 4G. Tetapi ini ada masalah hukum, sehingga di tahun ini baru dituntaskan 6.000 BTS dan masih ada ratusan BTS yang terkendala untuk kemudian dapat dimanfaatkan. Itu dari segi infrastruktur," jelas Heru kepada Tirto, Jumat (2/8/2024).
Hal lain yang menjadi kendala adalah internet yang lambat. Indonesia, menurutnya, termasuk negara paling bawah di kawasan Asia Tenggara untuk masalah kecepatan internet.
"Indonesia hanya satu tingkat di atas Kamboja, ini menjadi catatan juga agar infrastruktur internet backbone kita benahi," jelasnya.
Persoalan lainnya, lanjut Heru, adalah masalah perlindungan data. Ini menjadi perhatian sekaligus tantangan serius bagi pemerintah di tengah banyaknya kejahatan siber dan peretasan yang membuat kepercayaan terhadap industri digital tergerus.
"Kita harus ada upaya untuk membuat masyarakat percaya layanan digital Indonesia ini aman, andal, dengan berbagai hal yang mungkin bisa menciptakan kesan tersebut," jelas dia.
Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran, Arianto Muditomo, tidak menampik bahwa masih banyak segudang PR pemerintah untuk bisa mengejar potensi ekonomi digital sebesar Rp5.800 triliun.
Namun, bukan tidak mungkin juga dengan penyediaan infrastruktur yang baik, regulasi ketat, dan peningkatan literasi digital, Indonesia bisa mewujudkan potensi ekonominya di era digital.
Karena faktanya, literasi keuangan di Indonesia masih rendah. Data yang diperoleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada 2022, menunjukkan dari skala 5, indeks literasi digital masyarakat Indonesia ada di angka 3,54. Di tahun yang sama, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengeluarkan survei yang menyatakan masih ada gap sebesar 35 persen dalam literasi keuangan.
"Potensi ekonomi digital Indonesia yang diperkirakan mencapai Rp5.800 triliun sangat mungkin tercapai jika pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan bekerja sama untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut," jelasnya.
"Dengan penyediaan infrastruktur yang baik, regulasi yang ketat, dan peningkatan literasi digital, Indonesia bisa mewujudkan potensi ekonominya di era digital," imbuhnya kepada Tirto, Jumat (2/8/2024).
Maka, lanjut Arianto, ada beberapa hal yang sekiranya dapat dilakukan pemerintah untuk bisa mengejar potensi ekonomi digital tersebut.
Pertama, pemerintah perlu meningkatkan literasi digital dengan melakukan edukasi dan kampanye pada masyarakat tentang keuangan digital, keamanan siber, dan penggunaan teknologi secara bijak.
Selanjutnya, penguatan infrastruktur teknologi dengan meningkatkan akses internet dan meningkatkan dorongan investasi dalam infrastruktur teknologi, termasuk pusat data dan teknologi 5G. Serta penguatan regulasi dan penegakan hukum terkait keamanan data serta penerapan izin operasi yang ketat dan perlindungan konsumen.
"Terakhir perlu meningkatan kolaborasi dengan sektor swasta untuk membangun infrastruktur digital dan mengembangkan solusi inovatif," pungkasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi