tirto.id - Presiden Prabowo Subianto mewajibkan agar pembayaran tunjangan hari raya (THR) bagi pekerja swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) diberikan paling lambat tujuh hari sebelum Idulfitri 1446 Hijriah. Selain itu, ia juga mengimbau perusahaan penyedia jasa transportasi dan pengiriman daring untuk memberikan bonus hari raya (BHR) untuk pengemudi dan kurir yang merupakan mitra kerja mereka.
“Saya minta agar pemberian THR bagi pekerja swasta, BUMN, BUMD diberi paling lambat tujuh hari sebelum hari raya Idul Fitri. Dan besaran dan mekanismenya akan nanti disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan melalui surat edaran,” ujar dia, dalam keterangan pers terkait kebijakan THR dan BHR, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (10/3/2025).
Menindaklanjuti pengumuman tersebut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) lantas merilis Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04.00/III/2025 yang mengatur tentang pemberian THR bagi pekerja atau buruh perusahaan swasta. Melalui SE ini, perusahaan harus membayarkan THR yang merupakan hak pekerja secara penuh dan tidak boleh dicicil. Kemudian, THR juga wajib diberikan kepada pekerja dengan masa kerja satu bulan secara terus menerus dan juga kepada pekerja yang mempunyai hubungan kerja dengan pemberi kerja berdasar Perjanjian kerja waktu tidak tentu (PKWTT) atau Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Bagi pekerja dengan masa kerja 12 bulan atau lebih, THR yang akan diterima ialah setara satu bulan upah. Sedangkan bagi pekerja dengan masa kerja belum genap 12 bulan, THR akan diberikan secara proporsional sesuai dengan perhitungan masa kerja dibagi 12, lalu dikali satu bulan upah.
Sedangkan untuk pekerja atau buruh harian lepas dengan masa kerja 12 bulan atau lebih, THR yang akan diterima didasarkan pada rata-rata jumlah upah yang diterima selama 12 bulan terakhir. Sementara bagi pekerja lepas dengan masa kerja kurang dari 12 bulan, THR akan diberikan sesuai dengan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerjanya.
“Bagi pekerja/buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan satuan hasil, maka Upah satu bulan dihitung berdasarkan upah rata-rata 12 bulan terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan,” begitu bunyi SE tersebut, dikutip Rabu (12/3/2025).
Bagi perusahaan yang menetapkan besaran nilai THR dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama, atau kebiasaan, lebih besar dari nilai THR, maka THR yang dibayarkan kepada pekerja/buruh sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama, atau kebiasaan tersebut.
Untuk mengantisipasi timbulnya keluhan dalam pelaksanaan pembayaran THR, Kemnaker membuka Pos Komando Satuan Tugas (Posko Satgas) THR di Kantor Kemnaker, Kuningan, Jakarta Selatan pada Selasa (11/3/2025). Selain itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli, juga meminta masing-masing wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk membentuk Posko-Posko THR yang terintegrasi melalui laman https://poskothr.kemnaker.go.id.
“Posko ini dibuka untuk menerima konsultasi penghitungan THR yang berhak untuk pekerja. Sampai H-7 Hari Raya, kami menerima pengaduan terkait kepatuhan, dan yang bertugas adalah pegawai Kemnaker dan para mediator hubungan industrial,” ujar Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, dalam konferensi pers di Kantornya, Selasa (11/3/2025).
Selain itu, Posko juga masih akan dibuka sampai setelah Idul Fitri. Namun, setelah 7 April 2025, pengawas ketenagakerjaan yang bertugas hanya akan menerima aduan terkait penegakan hukum terkait pemberian THR. Kata Indah, selain pekerja swasta dan buruh, para pengemudi dan kurir daring juga bisa mengkonsultasikan penghitungan BHR dari perusahaan aplikator.
“Kami harap dinas-dinas ketenagakerjaan juga menambah layanan konsultasi untuk penghitungan bonus hari raya (BHR) bagi pengemudi ojol,” tegas dia.
Perlu diketahui, BHR untuk para pengemudi ojek dan kurir daring diatur dalam SE Menaker Nomor M/3/HK/04.00/III/2025. Formulasi penghitungannya, bagi para pengemudi dan kurir daring yang produktif dan berkinerja baik, BHR diberikan secara proporsional sesuai kinerja dalam bentuk uang tunai sebesar 20 persen dari rata-rata pendapatan bersih bulanan selama 12 bulan terakhir. Sedangkan bagi pengemudi dan kurir daring yang tidak termasuk dalam kriteria sebelumnya, BHR akan diberikan sesuai kemampuan perusahaan aplikator.
“Pemberian Bonus Hari Raya keagamaan tidak menghilangkan dukungan kesejahteraan bagi pengemudi dan kurir online. Sesuai dengan ketentuan peraturan yang telah diberikan oleh perusahaan aplikasi,” jelas Yassierli, di Kantornya, Jakarta, Selasa (11/3/2025).
Posko THR Tak Efektif
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengapresiasi upaya pemerintah untuk meminimalkan pelanggaran pelaksanaan pembayaran THR dan BHR melalui Posko Satgas THR. Namun, rasa-rasanya keberadaan posko pengaduan tersebut tak begitu efektif, mengingat masih saja ada perusahaan yang membayar THR dengan cara mencicil, terlambat, atau bahkan sama sekali tak memberikan hak pekerja tersebut. Padahal, posko pengaduan THR selalu ada bahkan sejak bertahun-tahun lalu.
Hal ini terbukti dari masih besarnya angka pengaduan ke posko pengaduan THR di Kemnaker tiap tahunnya. Pada 2024 misalnya, sampai ditutupnya Posko THR 2024 pada 18 April 2024, Kemnaker menerima 1.539 pengaduan dan sebanyak 965 perusahaan diadukan karena tak melaksanakan kewajibannya dengan benar. Jumlah tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, yang mana Kemnaker menerima 2.369 aduan dan perusahaan yang diadukan tercatat sebanyak 1.558 perusahaan.
“Ini lagu lama yang diputar ulang,” kata Ristadi, kepada Tirto, Rabu (12/3/2025).
Posko yang bersifat pasif menjadi sebab mengapa sampai saat ini masalah klasik pembayaran THR terus terjadi. Dalam hal ini, posko hanya menunggu dan bergerak saat ada pengaduan saja. Padahal, alangkah lebih baik jika dibarengi dengan pengawasan langsung ke perusahaan-perusahaan oleh pegawai Kemnaker maupun pengawas ketenagakerjaan sesuai wilayah kerja mereka. Pemerintah juga bisa melibatkan unsur asosiasi pengusaha dan serikat pekerja untuk melakukan pengawasan di lapangan.
“Jika ditemukan hambatan pelaksanaan THR, segera lakukan dialog untuk mencari jalan keluar, agar hak pekerja soal THR tetap aman,” sambung Ristadi.
Ketidakefektifan kerja posko pengaduan pun pernah dirasakan langsung oleh Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat. Dia mengisahkan, berdasar pengalamannya sebagai advokator para anggota Aspek yang ingin memperjuangkan haknya untuk mendapat THR, ia telah mengirim surat bahkan mendatangi posko secara langsung untuk menyampaikan pengaduan. Namun, tetap saja pengusaha bergeming dan THR tetap tidak terbayarkan, meski tahun-tahun telah berlalu.
Mirah menilai, meski pengaduan telah disampaikan, namun tidak ada tindak lanjut dari pemerintah untuk kemudian memaksa pengusaha menjalankan kewajibannya membayar THR pekerja. Ia bahkan sangsi, perusahaan yang melanggar ketentuan THR akan benar-benar mendapatkan sanksi dari pemerintah.
Padahal, dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di perusahaan, telah diatur bahwa perusahaan yang terlambat menjalankan kewajibannya akan didenda sebesar 5 persen dari total THR yang wajib dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar, yakni H-7 sebelum hari raya keagamaan. Denda tersebut tak lantas menggugurkan kewajiban perusahaan, pengusaha masih harus tetap membayar THR secara penuh kepada para karyawan sesuai aturan yang berlaku.
Kemudian, bagi perusahaan yang tidak membayarkan THR karyawan, akan dijatuhi sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, hingga pembekuan kegiatan usaha yang bakal dilakukan secara bertahap. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
“Jadi, posko pengaduan THR itu hanya semacam penampungan saja. Penampungan bahwa data buat si kementerian. Ini loh ada perusahaan yang nggak bayar, gitu. Kalau mengurusnya sih data gitu buat si kementerian untuk tindak lanjut supaya pemerintah ke perusahaan itu bayar THRnya, enggak juga,” tutur Mirah.
Padahal, agar ada efek jera kepada perusahaan, apalagi perusahaan yang sebenarnya masih mampu secara permodalan untuk membayarkan THR karyawan, sanksi tegas jelas diperlukan. Sanksi tegas itu pula lah yang diperlukan untuk memperkecil jumlah perusahaan yang enggan menunaikan kewajibannya.
Namun demikian, sanksi yang tegas dan berat juga sebenarnya sulit untuk dituntut pemerintah kepada perusahaan. Bagaimanapun, pemerintah membutuhkan dunia usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga pada akhirnya ekonomi nasional bisa tetap tumbuh.
“Maka dari itu, (perlu) dibangun kesadaran yang dalam bagi pengusaha dan action yang harusnya proaktif dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, kan punya tuh dinas-dinas tenaga kerja di kota, kabupaten dan juga provinsi. Dia punya tenaga pengawas. Nah ini harus datang, bukan sekadar datang ‘oknum-oknum’ minta juga THR kepada perusahaan,” jelas Mirah.
Pengawasan harus dilakukan jauh sebelum Lebaran tiba, setidaknya sebulan atau dua bulan sebelum Ramadhan. Dengan pengawasan yang dimaksud termasuk juga memperhatikan arus kas (cash flow) perusahaan, apakah ia benar-benar mampu membayar THR karyawan atau sebaliknya.
“Bagi perusahaan, sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak membayarkan (THR). Karena perusahaan itu setiap tahun, di awal-awal tahun mereka sudah punya RKAP, Rencana Kerja Anggaran Perusahaan. Jadi, sudah ada tuh pos-pos untuk THR, upahnya sekian, dalam satu tahun ke depan,” imbuhnya.
Karenanya, jika ada perusahaan yang tidak mengalokasikan THR dalam RKAP tahunannya, Mirah menilai bahwa perusahaan tersebut sengaja melakukannya.
“Berarti itu perusahaan nakal, perusahaan yang tidak benar, perusahaan yang ya kalau menurut saya, bisa langsung dicabut oleh pemerintah izin usahanya,” tegas dia.
Pakar Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, pun melihat sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan THR masih sangat lemah. Karena itu lah keberadaan dan fungsi posko pengaduan THR lantas tak berjalan maksimal.
Namun demikian, alih-alih melanggar ketentuan, akan lebih baik bagi perusahaan yang benar-benar tidak mampu secara fiskal dalam membayarkan THR karyawan untuk mengajukan keberatan kepada pemerintah.
Selain itu, pemerintah seharusnya juga bisa mengubah aturan yang mewajibkan perusahaan membayarkan THR paling lambat 7 hari menjadi 14 hari sebelum Lebaran. Dengan saat ini pembayaran THR paling lambat sepekan sebelum Hari Raya Idul Fitri, artinya para pekerja swasta, pengemudi maupun kurir daring juga baru bisa mengadukan masalah pencairan THR setidaknya H-6 sebelum Lebaran.
Dengan jangka waktu tersebut, artinya posko pengaduan THR tak punya cukup waktu untuk memproses aduan para pekerja. “Karena H-6 (Lebaran) baru dapat aduan. Berarti kan posko baru bisa mengkonfirmasi, sampai memeriksa kondisi keuangan perusahaan H-6 atau H-5 sebelum Lebaran. Sedangkan kan, sebentar lagi itu sudah mulai cuti bersama. Keburu libur,” jelas Pakar Ketenagakerjaan sekaligus Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, saat dihubungi Tirto, Rabu (12/3/2025).
Persoalan THR selalu berulang tiap tahun, namun pemerintah selalu gagal dalam mengatasinya. Dus, ia pun menilai bahwa ada kemungkinan bahwa perusahaan yang sudah pernah dilaporkan dalam posko pengaduan, akan mengulangi kesalahan yang sama. Karenanya, pemerintah seharusnya dapat dengan tegas mencabut izin usaha perusahaan nakal tersebut.
“Pemberian THR dalam waktu yang lebih panjang, tidak mepet ke Lebaran kan juga selain memudahkan pengawasan juga membuat pekerja lebih mudah untuk membelanjakan uangnya. Tiket kereta api bisa terbeli dengan lebih murah, bisa beli kebutuhan untuk Lebaran. Akibatnya, pendapatan pajak akan naik, uang beredar juga akan semakin besar, yang kemudian bisa mendorong ekonomi,” tukas Timboel.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang