Menuju konten utama

"Politik Masjid" Amien Rais dan Rendahnya Elektabilitas PAN

Pada pertengahan April lalu, Amien juga sempat menyebut keberadaan partai Allah dan partai setan.

mantan ketua umum partai amanat nasional (pan), amien rais memberikan pernyataan sikap kepada wartawan di kediamannya, sleman, kamis (3/9). amien rais menyatakan menyetujui dan merestui pan untuk bergabung dengan pemerintahan pimpinan presiden joko widodo. antara foto/regina safri/nz/15.

tirto.id - Politikus senior Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais gencar berdakwah di masjid dengan isi ceramah yang mencoba menghimpun sentimen negatif terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang pemilu 2019. Langkah Amien Rais ini pun dianggap sebagai cara untuk menurunkan popularitas Jokowi sembari mengerek elektabilitas PAN yang makin menurun.

Penilaian itu disampaikan analis politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wahyudi Akmaliah Muhammad. Wahyudi menilai kebiasaan Amien menghimpun kekuatan umat Islam bukanlah hal baru. Cara ini sebelumnya sudah dilakukan saat Pilpres 2014 dan Pilkada 2017 DKI Jakarta.

“Apa yang diucapkan Amien Rais ini dengan mengatakan pengajian harus disisipi politik ini sebenarnya menggunakan pola Pilkada DKI Jakarta untuk Pilpres 2019. Tujuannya mengakumulasi kebencian terhadap Jokowi untuk memperkuat sentimen anti-Jokowi,” ujar Wahyudi kepada Tirto, Rabu (25/4/2018).

Analisis Wahyudi ini didasarkan atas pernyataan-pernyataan Amien Rais dalam beberapa pekan terakhir. Pada pertengahan April lalu, Amien juga sempat menyinggung persoalan politik dan agama dengan menyebut keberadaan partai Allah dan partai setan.

Hal serupa diulanginya saat ceramah di Masjid Balai Kota DKI Jakarta, Selasa kemarin. Amien juga menyarankan agar forum pengajian membicarakan hal-hal politik.

"Saya mohon, kita jangan kehilangan momentum. Ini ustazah peduli negeri, pengajian disisipi [pesan] politik itu harus," kata Amien. "Ini [Amien Rais menunjuk foto Presiden Jokowi] elektabilitasnya sudah going down [menurun].”

Strategi untuk PAN

Pada konteks ini, Wahyudi mengatakan, pernyataan Amien tak bisa dilepaskan dari konteks rendahnya elektabilitas PAN. Selaku pendiri PAN, Wahyudi mengatakan, Amien dinilai punya kewajiban membesarkan partai.

Pembicaraan masalah politik dan agama di satu kesempatan bisa menjadi caranya menarik perhatian masyarakat agar tertarik dengan PAN. “Ia memiliki kewajiban tidak hanya membesarkan, melainkan juga memenangkan partai yang didirikannya, di tengah minimnya ketokohan figur politik di PAN untuk menarik suara lebih banyak,” ujar Wahyudi.

Analisis ini bisa dikaitkan dengan hasil survei terbaru dari Litbang KOMPAS. Dalam survei itu, elektabilitas PAN hanya 1,3 persen suara dari survei yang dilakukan pada 21 Maret hingga 1 April 2018 terhadap 1.200 responden secara periodik dengan tingkat kepercayaan survei ini 95 persen dengan margin of error plus-minus 2,8 persen. Angka 1,3 persen ini di bawah Perindo (1,5%), PPP (2,2%), PKS (2,4%), Nasdem (2,5%) dan Demokrat (2,8%).

Cara komunikasi yang dilakukan Amien ini dianggap Wahyudi berbahaya. Peraih gelar Master of Arts dari University for Peace Kosta Rika ini menyebut akan ada campur aduk agama dan politik yang berpotensi memecah belah masyarakat.

“Parahnya, umat yang menjadi pengikut seringkali tidak bisa membedakan apakah ini bagian dari dakwah atau politik. Mereka sekadar membenarkan saja ucapan dari para pemimpinnya,” ucap Wahyudi.

Infografik Current issue Muhammad amien rais

Cara-Cara Lama

Meski kerap menggunakan tema politik dan agama di kesempatan yang sama, Amien dianggap hanya mereproduksi kebiasaan para politikus di Indonesia. Wahyudi menyebut praktik menjadikan masjid sebagai tempat kampanye politik sudah berlangsung sejak Orde Baru.

“Masjid dijadikan perlawanan oleh kelompok muslim atas kebijakannya yang tidak berpihak kepada kelompok muslim, mulai dari penggunaan jilbab di sekolah hingga tidak adanya pelarangan judi semacam SDSB,” kata Wahyudi.

Kondisi itu berlanjut hingga menjelang Orde Baru tumbang. Menurut Wahyudi, masjid tempat berkumpul kelompok tarbiyah. Kelompok ini pula yang kemudian membidani lahirnya PKS pada awal masa reformasi.

Analisis serupa juga dikatakan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kuskridho Ambardhi yang menyebut penggunaan masjid atau majelis taklim sebagai tempat kampanye sebenarnya sudah berlangsung lama. Ia menilai langkah Amien Rais hanya meneruskan kebiasaan.

Pengajar di Fisipol UGM itu menyebut Amien masih yakin muncul dampak dari praktik membawa isu agama ke ranah politik. Kepercayaan Amien itu juga dianggapnya diamini sejumlah politikus.

"Itu dianggap strategi yang efektif untuk menanggung dukungan politik. Hal itu masih efektif, tetapi ada batasnya. Sentimen agama tak akan menyulap kandidat yang memang tidak populer menjadi pemenang," ujar Dodi.

Meski begitu, Kuskridho mengatakan, langkah Amien ini akan sulit membuahkan hasil jika sentimennya diarahkan untuk menghambat atau mengganti Jokowi dalam Pilpres 2019. “Karena di tingkat elit saja kelompok partai Islam susah jadi satu," ujar pria yang kerap disapa Dodi itu.

Bicara Politik Belum Tentu Kampanye

Secara terpisah, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Mochammad Afifuddin mengatakan pembicaraan politik di tempat ibadah belum tentu masuk kategori kampanye. Ia berkata, penilaian suatu kegiatan sebagai kampanye atau bukan harus berdasarkan kriteria dan syarat-syarat khusus. Hal itu dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilu.

“Yang paling penting adalah hal-hal yang tidak boleh dilakukan harus benar-benar dijauhi. Misalnya, ujaran kebencian atau penghinaan atas nama SARA, menyoal NKRI, mau dilakukan di saat kampanye atau tidak tetap saja tidak boleh,” ujar Afif.

Berdasarkan UU Pemilu, kampanye memiliki arti sebagai kegiatan peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu.

Berdasarkan Pasal 275 UU Pemilu, kampanye dapat dilakukan dalam sembilan cara yakni pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran bahan kepada umum, pemasangan alat peraga, media sosial, iklam di media massa, rapat umum, debat pasangan calon, dan kegiatan lain yang tak melanggar aturan.

Larangan berkampanye di tempat ibadah tercantum di Pasal 280 ayat (1) huruf h. Pelanggar aturan itu terancam pidana penjara maksimal 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.

“Biasanya dalam kasus-kasus itu [kampanye di tempat ibadah] masuk kategori kampanye pertemuan terbatas. Ini masih belum jelas benar karena PKPU Kampanye pileg, pilpres, belum final dan kami belum bisa menurunkan dalam Perbawaslu,” kata Afif.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani