Menuju konten utama

Elektabilitas Tinggi, Jokowi Dinilai Leluasa Pilih Cawapres

"Ketimbang elektabilitas SBY sebelum Pilpres 2009, [elektabilitas] Jokowi lebih tinggi," kata Sirojudin Abbas, peneliti SMRC.

Elektabilitas Tinggi, Jokowi Dinilai Leluasa Pilih Cawapres
Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo disambut anak-anak PAUD TK Theresia di Kota Sorong, Papua Barat, Jumat (13/4/2018). ANTARA FOTO/OLHA MULALINDA

tirto.id - Peneliti Saiful Mujani Research Centre (SMRC) Sirojudin Abbas mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebaiknya mengambil calon wakil presiden dari kalangan non-partai. Menurutnya jika Jokowi mengambil cawapres dari kalangan partai hal itu akan menciptakan kecemburuan di antara partai-partai pendukung lainnya.

“Saya kira parpol akan lebih terbuka dengan opsi cawapres di luar parpol jika waktu deklarasinya pas,” kata Sirojudin kepada Tirto, Senin (23/4/2018).

Waktu yang tepat untuk Jokowi mengumumkan cawapres adalah bulan Juli sebulan sebelum masa pendaftaran capres cawapres dimulai Agustus. Sebab dengan begitu Jokowi bisa memberi waktu bagi para cawapres untuk menaikkan elektabilitas. Di sisi lain jeda waktu yang tersisa menuju Juli juga bisa dimanfaatkan Jokowi menaikkan elektabilitas dari kader partai yang berlomba ingin menjadi cawapres mantan walikota Solo itu.

Elektabilitas Jokowi terakhir yang menurut survei Litbang Kompas berada di angka 55,9 persen juga menjadi modal penting. Sirojudin mengatakan dengan elektabilitas setinggi itu Jokowi tidak perlu terbebani dengan isu cawapres yang digulirkan partai-partai pendukungnya.

"Ketimbang elektabilitas SBY sebelum Pilpres 2009, [elektabilitas] Jokowi lebih tinggi ya," kata Sirojudin.

Survei SMRC pada 2007 menempatkan elektabilitas SBY sebesar 27,7%. Lembaga Survei Nasional pada Desember 2008 menyatakan elektabilitas SBY tertinggi di angka 32,3%. Meskipun begitu, SBY akhirnya kembali memenangi Pilpres 2009 dengan 60% suara.

Soal kriteria, Sirojudin memandang Jokowi sebaiknya mengambil cawapres non-partai dari tokoh senior yang memiliki koneksi dengan parpol tapi tidak terlalu dekat. Dengan kriteria demikian, parpol tidak akan merasa sosok tersebut benar-benar asing dan tidak pula khawatir akan direkrut parpol tertentu.

Selain itu, menurutnya, sosok tersebut harus mampu meneruskan program-program infrastruktur Jokowi. "Harus mampu menjaga stabilitas politik, sosial, ekonomi, dan keamanan. Itu penting," kata Sirojudin.

Hal senada juga disampaikan Direktur LSI Denny JA, Rully Akbar. Menurutnya, Jokowi harus memilih cawapres yang bisa meneruskan program-program perekonomiannya. "Kalau bisa juga memperkuat program itu agar tidak menjadi kritik seperti sekarang," kata Rully kepada Tirto.

Akan tetapi, menurut Rully, sebaiknya Jokowi tidak terburu-buru menentukan cawapres dan menunggu sampai jelas sosok lawannya nanti. Pasalnya, faktor lawan juga sangat menentukan sosok cawapres yang dibutuhkan petahana. "Kalau lawannya Prabowo ya bisa jadi mudah dipilih cawapresnya, tapi kalau sosok lain maka butuh strategi ulang," kata Rully.

Sampai saat ini memang belum jelas sosok penantang Jokowi. Prabowo Subianto memang telah menerima mandat dari Gerindra sebagai capres, tapi belakangan parpol potensial koalisinya--seperti PKS--mulai meragukan penerimaan mandat itu dan menilai sang mantan Danjen Kopassus akan memberikan tiket capres kepada Gatot Nurmantyo.

Sikap Parpol Pengusung Jokowi

Ketua Desk Pemilu PKB, Daniel Johan menyatakan suara kader partainya masih bersikukuh menginginkan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sebagai pendamping Jokowi. "Kalau saya dan masyarakat lihat, satu-satunya yang sekarang clear, jelas, tegas untuk jadi cawapres Jokowi baru Cak Imin," kata Daniel, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (23/4/2018).

Menurut Daniel, keputusan resmi dukungan PKB ke Jokowi masih bisa berubah jika cawapresnya bukan Cak Imin. "Tunggu keputusannya di Muspimnas," kata Daniel.

Sekjen PPP, Arsul Sani, tidak sepakat bila dikatakan Jokowi sudah mencapai titik aman dengan perolehan elektabilitas sebesar 55,9 persen dan leluasa menentukan cawapres seperti yang dikatakan Sirojudin.

Sebaliknya, kata Arsul, masih banyak hal yang bisa mempengaruhi kemenangan Jokowi, seperti halnya konsistensi hasil survei dan kebijakan-kebijakan pemerintah menjelang pilpres. "Tentu saja tergantung siapa yang jadi lawannya nanti dan cawapres," kata Arsul kepada Tirto.

Akan tetapi, Arsul enggan berkomentar perihal sikap partainya jika Jokowi memilih cawapres dari unsur non-parpol.

Wasekjen Golkar, Sarmuji punya pandangan yang lain lagi soal ini. Menurutnya, cawapres Jokowi tidak perlu dipersoalkan dari unsur parpol atau non-parpol, tapi yang penting dari berasal dari sosok profesional. Dari Golkar, kata dia, Airlangga Hartarto memenuhi kriteria tersebut.

Saat ditanya bila Airlangga tidak dipilih oleh Jokowi, Sarmuji menyatakan "akan dimusyawarahkan lagi nanti."

Sikap yang sama ditunjukkan oleh Ketua DPP Golkar, Ace Hasan Syadzily. Menurutnya, partainya tidak mau berandai-andai hal buruk terlebih dulu. "Pak Jokowi pasti akan bijak dalam mengambil keputusan soal Cawapres," kata Ace kepada Tirto.

Sementara, Nasdem dan Hanura tidak memusingkan cawapres pendamping Jokowi. Wakil Ketua Dewan Kehormatan Nasdem, Taufiqulhadi menyatakan siapa pun cawapres Jokowi nanti, partainya akan tetap mendukung. Ia pun yakin koalisi yang telah terbentuk tidak gampang terpecah karena urusan cawapres.

"Saya kira koalisi ini bisa menyelesaikan masalah dengan dewasa dan musyawarah," kata Taufiqulhadi kepada Tirto.

Ketua DPP Hanura, Inas Nasrullah Zubir, menyatakan partainya sejak awal telah menyatakan tidak ingin membebani Jokowi dengan urusan cawapres. Oleh karena itulah, kata dia, sampai saat ini tidak ada kriteria khusus dari partainya.

"Kalau banyak kriteria nanti malah Pak Jokowi tidak leluasa. Yang penting cawapresnya bisa bekerja samalah," kata Inas.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Muhammad Akbar Wijaya & Maulida Sri Handayani