tirto.id - Mabes Polri menegaskan video viral penganiayaan yang dilakukan aparat kepada Muhammad Harun Al Rasyid (15), salah satu korban aksi 22 Mei adalah hoaks. Kepolisian menyebut kalau upaya pemukulan dalam video itu justru menyasar tersangka A alias Andri Bibir.
"Kami pastikan yang tersebar dalam video tersebut tidar benar alias hoaks dan tidak ada kaitannya. Sedangkan yang dilakukan oleh aparat kepolisian ialah terhadap perusuh yakni tersangka A, kami punya bukti," kata Karopenmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di kantor Kemenkopolhukam, Sabtu (25/5/2019).
Dedi menyatakan bukti yang dimiliki institusinya berdasarkan analisis digital internal Polri. Dari video yang tersebar, pakaian yang digunakan orang yang dianiaya itu sama dengan pakaian yang dikenakan Andri Bibir saat ditangkap aparat.
"Si A menggunakan kaus hitam dan celana jeans yang sudah dipotong-potong, yang sudah sobek. Ini adalah pakaian yang dikenakan A saat tindakan anarkis,” kata Dedi.
Karena itu, kata Dedi, aparat akan bertindak untuk mencari pelaku penyebar video tersebut.
"Barang siapa yang memviralkan konten video dan foto yang tidak sesuai dengan fakta itu berarti menyebar hoaks. Kami akan menyelidiki siapa yang memiliki akun yang menyebarkan," kata Dedi.
Mantan Wakapolda Kalimantan Tengah itu memastikan akan ada penindakan bila personel polisi melanggar standar operasional penanganan pengamanan. Mereka akan menggunakan mekanisme sidang etik dalam perilaku indisipliner petugas serta mencari tahu bentuk pelanggaran dan peran petugas sebelum menjatuhkan hukuman.
"Kalau terbukti, maka akan ditindak sesuai prosedur yang ada di Divisi Profesi dan Pengamanan. Bisa hukum disiplin, kode etik profesi maupun bisa pelanggaran pidana lainnya," tutur Dedi.
Harun merupakan warga RT 09/RW 10, Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ia meninggal usai terlibat kerusuhan 22 Mei di Jembatan Slipi Jaya, Jakarta Barat, Rabu (22/5) malam. Nyawa dia tak tertolong ketika dibawa ke Rumah Sakit Dharmais, Jakarta Barat.
Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Mustofa Nahrawardaya bahkan turut menyebar video itu di akun Twitter miliknya. Twit itu diunggah pada 24 Mei 2019, sekitar pukul 00.26. Akibatnya, ia kini telah ditangkap dan masih dalam pemeriksaan kepolisian.
Polisi Semestinya Usut Pelaku
Peneliti hak asasi manusia dari Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat menyatakan polisi harus adil mengusut perkara ini. Ia menilai semestinya polisi mengusut pelaku penganiayaan di video yang viral itu, terlepas apakah itu Harun atau bukan.
"Bukan berarti disinformasi yang menyebabkan penghasutan orang sehingga menimbulkan kekerasan itu didiamkan. Jika itu [pengusutan] tidak dilakukan, orang bisa bilang mereka diskriminatif," kata dia di kantor LBH Jakarta, Minggu (26/5/2019).
Menurut Papang, polisi bisa saja mengklarifikasi video yang viral itu tidak berkaitan dengan kasus Harun. Namun, bukan berarti polisi tidak mengusut dugaan penganiayaan yang dilakukan aparat dalam video yang terjadi di dekat kompleks Masjid Al Huda, Kampung Bali, Tanah Abang.
"Meski dia melakukan dalam kapasitas sedang bertugas, kalau ada yang tewas karena lalai menjalankan tugas, maka polisi itu dapat dibawa ke meja hijau," kata Papang.
Hal senada diungkapkan Deputi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Putri Kanesia. Ia mengatakan seharusnya polisi mengusut video viral soal dugaan penganiayaan oleh aparat tersebut.
"Polri seharusnya melakukan penyelidikan peristiwa pengeroyokan. Bukan malah memburu penyebar video, tindakan itu seolah mengaburkan fakta pengeroyokan," kata Putri ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (27/5/2019).
Terkait pengeroyokan, lanjut dia, beberapa jurnalis juga sudah turun ke lapangan mengecek kebenarannya. Sudah ada saksi juga yang menyatakan peristiwa pengeroyokan memang benar adanya dan ada korban diduga masih di bawah umur.
"Jadi tidak ada alasan bagi Polri untuk tidak mengusut peristiwa itu, apalagi dalam video terlihat ketidakberimbangan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat," ucap Putri.
Putri menambahkan, korban sudah dalam keadaan tak berdaya, tanpa senjata, kemudian dikeroyok oleh banyak anggota Polri berseragam dan bersenjata.
"Ini bukan dalam konteks perang atau situasi konflik, sehingga tindakan tersebut sangatlah berlebihan dan tidak perlu dilakukan," jelas Putri.
Pasal 3 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, kata Putri, menyebutkan bahwa Prinsip Penggunaan Kekuatan harus nesesitas (diperlukan dan tidak dapat dihindarkan) serta proporsionalitas (penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dengan tingkat kekuatan/respons Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan).
Putri menegaskan untuk memastikan tindakan pengamanan yang dilakukan Polri akuntabel dan transparan, maka penyelidikan terhadap peristiwa pengeroyokan itu harus dilakukan.
"Memburu pembuat atau penyebar video tidak lebih penting, karena peristiwa itu memang benar adanya, bukan hoaks," kata Putri.
---------
Addendum: Artikel ini per Senin (27/5/2019) pukul 16.15 mengalami perubahan judul karena terdapat kalimat yang kurang tepat. Sebelumnya berjudul "Pemukulan Harun: Kenapa Polisi Buru Penyebar Video, Bukan Pelaku?" menjadi "Polisi Buru Penyebar Video Hoax Harun: Bagaimana dengan Pelakunya?"
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz & Mufti Sholih