tirto.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merampungkan proses investigasi atas kerusuhan yang terjadi pada 21-23 Mei 2019. Peristiwa itu mereka sebut sebagai noda dalam demokrasi Indonesia karena kekerasan digunakan untuk menyikapi hasil Pemilu.
"Aksi massa yang berujung pada kekerasan pada tanggal 21-23 Mei 2019 telah menjadi noda dalam pertumbuhan demokrasi Indonesia karena cara-cara kekerasan dan pemaksaan kehendak dipakai untuk menyikapi hasil Pemilu yang sah," kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara di kantornya pada Senin (28/10/2019).
Komnas HAM menyebut, ada 10 orang yang jadi korban tewas dalam hari berdarah itu. Lebih rinci, 8 orang tewas karena tertembak peluru tajam, 1 orang tewas karena hantaman benda tumpul, dan 1 orang lainnya tewas karena tertembak. Bahkan, 4 dari 10 korban tewas itu merupakan anak-anak.
Temuan Komnas HAM tersebut sama dengan update terakhir dari kepolisian. Identitas korban tewas antara lain Muhammad Reza (23) warga Tangerang Selatan, Adam Nooryan (19) warga Tambora, Abdul Aziz (27) warga Pandeglang, Bachtiar Alamsyah (22) warga Batuceper, Farhan Syafero (31) warga Depok, Harun Rasyid (15) warga Duri Kepa, Reyhan Fajari (16) warga Petamburan, Sandro (31) warga Tangerang Selatan, Widianto Rizky Ramadan (17) warga Kemanggisan, dan Riyan Saputra (15) warga Pontianak.
Selain korban tewas, ada 32 orang yang sempat dikabarkan hilang pasca kerusuhan. Beberapa hari setelahnya diketahui mereka ditahan oleh polisi terkait kerusuhan, ada pula anak-anak yang ditangkap telah didiversi ke panti sosial. Selain itu, ada pula yang dilepas karena tidak terbukti.
Beka menyayangkan adanya laporan orang hilang itu. Menurut dia, itu terjadi karena lemahnya akses atas keadilan dan administrasi manajemen penyelidikan dan penyidikan Polri. Padahal, dua hal itu telah diatur dalam peraturan internal kepolisian yakni Peraturan Kapolri nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
"Pasal 10 ayat (1) diatur tentang kelengkapan administrasi penyidikan," kata Beka.
Dalam peristiwa itu, Komnas HAM juga menyoroti penanganan terhadap anak berhadapan dengan hukum. Menurut catatan Komnas HAM, terdapat 465 orang yang ditangkap dan ditahan oleh polisi, dan 74 di antaranya merupakan anak-anak.
Sayangnya, Komnas menemukan bahwa anak-anak itu diproses tidak sesuai dengan konvensi hak anak dan undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Padahal, beleid itu telah mengatur proses penangkapan, pemeriksaan, hingga pembinaan terhadap anak berhadapan dengan hukum.
"Kekerasan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum bertentangan dengan norma-norma HAM khususnya yang diatur dan dijamin dalam konvensi PBB tentang hak-hak anak," kata Beka.
Beka menyebut dalam rangkaian kerusuhan tersebut, baik masssa yang beraksi di Jakarta maupun Pontianak bergerak karena ujaran kebencian dan provokasi di media sosial. Menurut Beka, ujaran kebencian yang disebarkan diduga telah didesain secara sistematis sebelum, pada saat, dan sesudah kerusuhan.
Bahkan anak-anak yang terlibat dalam kekerasan dan menjadi korban pun merupakan pengguna aktif media sosial.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Widia Primastika