Menuju konten utama

Poliglot Lapangan Hijau & Pentingnya Bahasa Asing bagi Pesepakbola

Penguasaan bahasa asing dan pemahaman kultur setempat sangat membantu karier para pesepakbola yang bermain di luar negara mereka.

Poliglot Lapangan Hijau & Pentingnya Bahasa Asing bagi Pesepakbola
Selebrasi gol Paul Pogba pada pertandingan Final Piala Dunia 2018, Minggu (15/7/2018). Pogba adalah pemain yang menguasai lebih dari dua bahasa asing. AP Photo/Martin Meissner

tirto.id - Belgia adalah salah satu kontestan Piala Dunia 2018 yang multikultural. Negara ini punya tiga bahasa resmi yang digunakan dalam percakapan sehari-hari: Perancis, Flemish atau Belgia-Belanda, dan Jerman.

Yang jadi pertanyaan: bagaimana timnas Belgia menyiasati kondisi tersebut ketika mereka berlatih atau bertanding?

BBC, dalam laporannya, mengatakan bahwa guna menghindari persepsi adanya dukungan satu bahasa di atas yang lain, timnas Belgia sepakat memakai bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Bahasa Inggris diterapkan kala berlatih, bertanding, serta dalam konferensi pers.

“Bahasa Inggris sering dianggap sebagai ‘jalan tengah yang aman,’” kata wartawan BBC Belgia, Suzanne Vanhooymissen. “Dengan memakai bahasa Inggris itu artinya timnas Belgia terhindar dari tuduhan mendukung Belanda atau Perancis serta meminimalkan potensi perpecahan secara linguistik.”

Ihwal "perpecahan" tersebut nyatanya sudah terjadi pada Piala Dunia 2014. Waktu itu, seperti diwartakan The New York Times, konferensi pers timnas Belgia terpaksa harus dibagi dalam dua sesi. Pertama, sesi bahasa Belanda yang dipimpin Thomas Vermaelen. Kedua, sesi bahasa Perancis yang dihadiri Axel Witsel.

Keputusan itu diambil lantaran para pemain belum satu suara untuk menentukan pilihan bahasa yang bakal digunakan sebagai media komunikasi. Masih ada yang menganggap Belgia harus memakai bahasa Perancis, dan terdapat pula yang menilai bahasa Belanda lebih tepat dimanfaatkan. Dari perbedaan pemikiran tersebut, kemudian, pada hajatan Rusia 2018, disepakatilah bahwa keseluruhan tim bakal memakai bahasa Inggris.

Kendati demikian penggunaan bahasa Inggris diakui oleh sang pelatih, Roberto Martinez, tidak melunturkan semangat nasionalisme serta kolektivitas antar pemain.

“Saya menyadari bahwa [Belgia] punya lebih dari satu bahasa. Tapi, kesatuan tetap muncul dari dalam tim. Fakta bahwa ada banyak latar belakang negara lain di tim ini tidak mengurangi sama sekali tanggung jawab mereka sebagai anggota Red Devils [julukan Belgia],” terangnya kepada The Guardian.

Fasih Banyak Bahasa, Dapat Banyak Keuntungan

Di dalam skuat Belgia, terdapat beberapa poliglot seperti Romelu Lukaku dan Vincent Kompany. Lukaku tercatat mahir berbicara dengan enam bahasa: Belanda, Perancis, Inggris, Spanyol, Portugis dan Swahili (bahasa dari ibunya). Sementara Kompany menguasai satu lebih sedikit dibanding Lukaku.

Pemain yang punya kecakapan multibahasa rupanya tak cuma berasal dari Belgia. Finalis Piala Dunia kali ini, Perancis dan Kroasia, misalnya, juga memiliki pemain dengan kemampuan penguasaan lebih dari satu bahasa. Di Perancis, ada Paul Pogba yang diketahui bisa berkomunikasi dalam tiga bahasa: Perancis, Inggris, dan Italia.

Lalu di Kroasia, ada sosok Mateo Kovacic, Ivan Rakitic, serta Luka Modric—yang sama-sama merumput di Liga Spanyol. Kovacic jago di lima bahasa: Inggris, Jerman, Kroasia, Spanyol, dan Italia. Rakitic menguasai empat bahasa: Spanyol, Jerman, Inggris, dan Kroasia. Sedangkan Modric bisa tiga bahasa: Inggris, Kroasia, juga Spanyol.

Uniknya, kecakapan itu turut berandil dalam membantu pemain asing lainnya beradaptasi dengan kultur Spanyol. Rakitic, dengan kapabilitasnya berbicara Jerman, membantu Marc-Andre ter Stegen dalam memahami bahasa Spanyol. Kemudian Modric jadi mentor Gareth Bale dalam kursus bahasa Spanyol secara non-formal.

Di tengah arus globalisasi yang semakin cepat, banyak pihak beranggapan penguasaan lebih dari satu bahasa bagi para pesepakbola adalah wajar belaka—bahkan menjadi sebuah kewajiban. Kecakapan itu, cepat atau lambat, bakal memberi dampak besar kepada mereka.

Martyn Heather, Head of Education Premier League, mengatakan bahwa mempelajari lebih dari satu bahasa sama artinya dengan membantu meningkatkan jenjang karier para pesepakbola lewat terbukanya kesempatan untuk bermain di kompetisi mana saja di seluruh penjuru dunia.

“Kami selalu menekankan pada para pemain muda bahwa saat mereka pergi ke kompetisi di negara lain tanpa bisa menguasai bahasa negara itu, maka hasilnya tidak akan maksimal. Mereka bisa saja kehilangan kesempatan lantaran mereka tidak memeluk budaya setempat,” katanya.

Ungkapan Heather betul belaka. Penguasaan terhadap lebih dari satu bahasa bagi pesepakbola dapat mendatangkan keuntungan berlipat. Hal ini dipertegas juga oleh Ellen Bialystok dan Gregory Poarch dalam penelitiannya berjudul “Language Experience Changes Language and Cognitive Ability” (2014) yang diterbitkan NHS Public Access.

Lewat penelitiannya, Bialystok dan Poarch menerangkan bahwa kemampuan multibahasa kebanyakan datang karena keadaan sosial, seperti arus imigrasi, dan bukan karena pilihan maupun dorongan dari diri sendiri.

Manfaat yang didapatkan dari kemampuan menguasai lebih dari satu bahasa, catat keduanya, antara lain mampu meningkatkan daya kognitif otak, responsif terhadap masalah dan sigap mencari penyelesaiannya, hingga mencegah demensia (pikun) serta penyakit di umur tua lainnya.

Di dunia sepakbola, ada banyak contoh yang membenarkan argumentasi bahwa “banyak bahasa, banyak manfaat.” Singkatnya begini: penguasaan multibahasa membuat pesepakbola lebih bisa adaptif terhadap lingkungannya. Ia bisa memahami maksud pelatih tentang taktik maupun perannya di lapangan. Selain itu, ia juga mengerti bagaimana harus bersikap di negara tempat ia tinggal—dengan segala kulturnya—karena dapat berkomunikasi menggunakan bahasa setempat.

Kedua faktor itu lambat laun membuat pemain bersangkutan merasa nyaman di lingkungannya yang baru dan oleh sebabnya berdampak pula pada performanya di lapangan. Hingga akhirnya nanti akan juga mendorong kariernya ke arah yang lebih baik—ditawari kontrak baru dan kenaikan gaji, misalnya.

Pihak-pihak yang merasakan manfaat ini, sebagai contoh, adalah mereka yang sudah disebutkan di paragraf pembuka. Tentu kita tahu bagaimana kiprah Modric, Rakitic, Pogba, sampai Lukaku yang moncer di klub masing-masing. Modric dan Rakitic, misalnya, diragukan ketika datang pertama lagi di Spanyol. Alasannya: mereka bakal sulit menguasai bahasa setempat. (Modric pindah dari Inggris, sementara Rakitic dari Jerman.)

Namun, dugaan tersebut meleset. Modric dan Rakitic justru mampu beradaptasi dengan baik serta menjadi pilar inti di klubnya masing-masing dengan sederet kontribusi apik yang berujung pada banyaknya gelar yang didapatkan. Begitu juga yang dialami Pogba dan Lukaku, ketika keduanya bisa dikata berhasil beradaptasi di klub masing-masing karena kemampuan menguasai bahasa yang mumpuni selepas pindah dari negara lain. (Pogba dari Inggris ke Italia, Lukaku dari Belgia ke Inggris.)

Tak cuma dirasakan pemain, manfaat dari kemampuan multibahasa juga didapatkan mereka yang duduk di kursi manajerial macam Jose Mourinho, Arsene Wenger, Bryan Robson, hingga Pep Guardiola. Pelatih-pelatih itu rata-rata menguasai lebih dari dua bahasa yang membuat mereka bisa beradaptasi dengan baik, secara teknis maupun kultural, tatkala melatih klub di luar negara asalnya.

Ihwal ini dibuktikan begitu meyakinkan oleh Guardiola. Alkisah, mengutip Bleacher Report, Guardiola sedang menyiapkan diri untuk konferensi pers bersama klub barunya, Bayern Munchen. Juru warta sudah duduk di kursi yang disediakan dan menanti kehadirannya. Tak lama berselang, yang dinanti datang. Selepas blitz yang keluar dari kamera para wartawan menghiasi seisi ruangan, sesi gelar wicara pun dimulai.

Guardiola membuka konferensi pers dengan sapaan, Guten Tag und Grüß Gott (Halo dan selamat pagi). Ungkapan pembuka dengan menggunakan bahasa setempat biasanya dilakukan pelatih-pelatih asing ketika memulai konferensi pers pertama kali di klub barunya. Tujuannya: mengakrabkan diri dengan audiens—atau ada yang mengatakan ini sekadar basa-basi.

Setelahnya, pelatih kembali menggunakan bahasa yang ia pahami (Inggris atau bahasa negara asalnya) dan menyerahkan tugas alih bahasa kepada penerjemah. Tapi, yang terjadi pada kasus Guardiola tidaklah demikian. Alih-alih memanfaatkan penerjemah, Guardiola justru membabat habis sesi konferensi pers dengan menggunakan bahasa Jerman secara fasih dan lancar seolah-olah ia telah tinggal di Munchen selama bertahun-tahun. Seketika seisi ruangan dibuat terkesima oleh penuturannya.

Usut punya usut, kemampuan berbahasa Jerman miliknya tersebut rupanya merupakan hasil belajar selama kurang lebih satu tahun saat ia tinggal di New York, tak lama setelah kariernya di Barcelona berakhir dan memutuskan menerima tawaran Munchen. Dalam prosesnya, ia dibantu guru bahasa Jerman yang mendukung Borussia Dortmund.

Tak sekali saja Guardiola bikin wartawan bola takjub atas kemampuan multibahasanya. Sebagaimana ditangkap Graham Gunter dalam Barca: The Making of the Greatest Team in the World, Guardiola pernah berbicara dengan tiga bahasa—Catalan, Spanyol, dan Italia—saat konferensi pers di Camp Nou.

Di Spanyol, Bahasa adalah Nomor Satu

Penguasaan multibahasa bagi pesepakbola menjadi penting, karena, sekali lagi, memudahkan beradaptasi ketika berada di negeri orang.

Ketika pesepakbola berhasil menguasai bahasa setempat, ia berpotensi besar memiliki karier cemerlang. Jika gagal, ia bisa saja bernasib seperti pemain-pemain asing di Spanyol: dihujat media massa.

Craig Williams dalam laporannya bertajuk “La Liga’s Foreign Players Are Easy Targets Until They Master the Spanish Language” yang terbit di The Guardian mengatakan, bagi pemain asing yang mencari nafkah di liga Spanyol, penguasaan bahasa lokal merupakan kemutlakan. Bahkan, penguasaan bahasa dianggap lebih penting daripada skill di lapangan yang mumpuni. Tak peduli sehebat apapun kemampuan olah bola sang pemain, selama ia masih terbata-bata—atau tidak bisa—mengucap kalimat dalam bahasa Spanyol, maka percuma belaka dan ujung-ujungnya bakal jadi samsak empuk kritikan pers.

Mengapa media Spanyol bisa sebrutal itu?

Bagi publik Spanyol, penggunaan bahasa lokal tidak cukup dilakukan pesepakbola di dalam lapangan semata. Ia juga harus menggunakannya di dalam kehidupan sehari-hari. Karena bagi masyarakat Spanyol, pesepakbola asing yang merumput di negara itu diwajibkan menghormati kultur setempat, salah satunya ialah penggunaan bahasa. Selama mereka tidak bisa melakukan itu, siap-siap saja mendapat ganjaran berupa ejekan dan celaan.

Pemain-pemain asing Real Madrid paham betul bagaimana kondisi ini. Gareth Bale, misalnya, seringkali jadi target perundungan media lokal karena inkompetensinya dalam menggunakan bahasa Spanyol. Pada Desember 2016, dirilis video tentang perkembangan terbaru proses penyembuhan cedera Bale. Dalam video tersebut, Bale menyapa para pendukungnya dengan kata "Hala".

Ungkapan salam tersebut jadi perangsang media-media lokal untuk merisak Bale. AS, contohnya, membikin tajuk berjudul “Progress with Spanish, watch how he pronounces ‘Hala’ Madrid”. Alih-alih mengangkat narasi mengenai cederanya, AS justru fokus pada bagaimana Bale melakukan kesalahan ketika mengucap kata ‘Hala.’

infografik pesepakbola multibahasa

Kesalahan Bale sederhana: menyertakan pengucapan ‘H’ dalam ‘Hala’ yang sebetulnya tidak diperlukan. Namun, kesalahan tersebut tidak bisa ditolerir media lokal. Bagi mereka, kesalahan Bale setara dengan kegagalan di final Liga Champions.

Tentang kegagapan Bale dalam berbahasa Spanyol juga ditanggapi Sport secara tajam. Lewat tajuk “Bale: suspense about his integration and ability in Spanish,” mereka menulis: “Ia tidak berusaha untuk mempelajari [bahasa] Castellano [Spanyol]. Ia tidak menunjukkan minat apapun dalam berkomunikasi dengan rekan satu timnya dalam bahasa yang bukan bahasa Inggris, dan karena alasan itu berhenti belajar di kelasnya. Proses adaptasinya telah gagal secara serempak.”

Selain Bale, pemain Madrid yang pernah kena risak media-media lokal adalah Toni Kroos, Mesut Ozil, Sami Khedira, sampai sang superstar, David Beckham. Untuk nama terakhir, kemampuannya dalam menggunakan bahasa Spanyol dianggap beberapa Madridistas sebagai “sesuatu yang menjijikan,” saking buruknya Beckham dalam memahami bahasa Spanyol meski sudah tinggal di Madrid selama empat tahun.

Sikap media Spanyol yang nasionalistik itu berasal dari kebijakan pemerintahan fasis Fransisco Franco. Usai menggasak kelompok Republikan dan memenangkan Perang Sipil Spanyol (1936-1939), Franco duduk di singgasana pemerintahan. Ia mulai membenahi tata kelola negara yang ditempuh dengan semangat nasionalisme.

Ideologi nasionalisme versi Franco bertumpu pada otoritarianisme, ajaran Katolik sayap kanan, militerisme, konservatisme, anti-komunisme, anti-liberalisme, sampai penolakan terhadap Freemason. Masyarakat juga dipaksa untuk jadi nasionalis. Franco mencurigai oposisi politik dan menekankan bahwa semua pihak harus menerima tanggung jawab dari rezim yang dipimpinnya. Hasilnya, semua aspek kehidupan berada pada cengkeraman Franco.

Guna mewujudkan mimpinya itu, salah satu upaya yang ditempuh Franco adalah dengan penyeragaman budaya. Ia mengenalkan tradisi banteng dan flamenco sebagai tradisi nasional. Mencabut undang-undang serta pengakuan terhadap bahasa Basque, Galicia, serta Catalan sebagai bahasa nasional yang di masa lampau disahkan oleh pihak Republik, kendati dirinya adalah seorang Galician.

Sebagai gantinya, ia mewajibkan penggunaan bahasa Spanyol dalam penyelenggaraan pendidikan, periklanan, upacara keagamaan, semua dokumen pemerintahan, hukum, sampai kontrak-kontrak dagang. Di saat bersamaan, tradisi yang dianggap tidak mencerminkan Spanyol diberangus. Untuk memastikan nasionalisasi Spanyol-nya berjalan lancar, Franco mengontrol semua macam budaya dan kesenian dengan bentuk penyensoran, yang seringkali kelewatan.

Kebijakan penyeragaman budaya inilah yang sepintas diberlakukan kembali oleh media-media lokal dalam menyikapi keberadaan pemain asing yang masih belum fasih berbicara dengan bahasa Spanyol. Bedanya, media-media tersebut hanya mem-bully para pemain lewat serangkaian tajuk pemberitaan, bukan pemberangusan maupun aksi-aksi represif lainnya seperti yang pernah dilakukan rezim fasis Franco.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Olahraga
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Ivan Aulia Ahsan