Menuju konten utama
14 Juli 1969

Gara-Gara Sepakbola, Honduras dan El Salvador Berperang

Dari lapangan
ke medan pertempuran.
Gejolak perang.

Gara-Gara Sepakbola, Honduras dan El Salvador Berperang
Lambang timnas Honduras dan El Salvador. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sepakbola bukanlah permainan yang asing bagi Honduras dan El Salvador, dua negara bertetangga di kawasan Amerika tengah. Kursi stadion acap kali penuh sesak ketika pertandingan tim nasional mereka berlangsung. Meski belum pernah meraih trofi bergengsi, keduanya cukup bisa berbicara di panggung internasional.

Secara statistik keikutsertaan Piala Dunia, Honduras lebih di atas angin. Timnas mereka sudah mewarnai tiga edisi Piala Dunia: Spanyol 1982, Afrika Selatan 2010, dan Brazil 2014. Jika mundur ke belakang, akar permainan bola sudah dipraktikkan masyarakat Honduras kuno ketika masih menjadi wilayah imperium Maya. Permainan bola kuno bernama Pok-ta-Pok diketahui eksis sejak 1400 SM.

Sedangkan El Salvador tercatat dua kali masuk dalam turnamen Piala Dunia: Meksiko 1970 dan Spanyol 1982. Namun, perjuangan menembus ajang Piala Dunia 1970 barangkali menjadi ingatan abadi bagi El Salvador maupun Honduras.

Pada kualifikasi pra-Piala Dunia 1970, Honduras dan El Salvador bertemu. Pertandingan diselenggarkan di Tegucigalpa, Honduras. Tensi tinggi tersaji di luar lapangan. Malam sebelum pertandingan, Talksport menyebut para pendukung Honduras selaku tuan rumah memainkan perang psikologis dengan mengepung hotel para pemain El Salvador. Mereka mengklakson mobil, bernyanyi riuh, bersiul, menjerit sepanjang malam.

Usaha para penggemar Honduras tampaknya berhasil. Bermain di kandang dengan tekanan tinggi, Honduras menang tipis 1-0 berkat gol Roberto Cardona di menit akhir.

Kekalahan El Salvador ternyata tidak diterima dengan baik oleh banyak pendukung. Seorang gadis El Salvador berusia 18, Amelia Bolanos, bahkan nekat bunuh diri dengan menembak kepalanya. Oleh publik Salvador, Bolanos seketika menjadi ikon pembangkit semangat nasionalisme.

Pemakaman Bolanos disiarkan di televisi. Ia digembar-gemborkan sebagai martir hingga Presiden El Salvador, para menteri, dan pemain timnas ikut mengantarkan jenazahnya ke liang lahat.

Sebaliknya, Honduras mendapat tekanan berat. Ia harus menyambangi El Salvador untuk menjalani leg kedua yang diselenggarakan pada 15 Juni 1969. Sebelum pertandingan, giliran timnas Honduras yang harus menghabiskan malam tanpa tidur di hotel tempat mereka menginap.

Jurnalis asal Polandia, Ryszard Kapuscinski, dalam reportase panjangnya berjudul Soccer War, melaporkan dari lapangan bahwa para penggemar El Salvador menjerit-jerit, jendela banyak yang pecah, melempari telur busuk, bangkai tikus, dan lain sebagainya.

Timnas Honduras berangkat ke stadion dengan pengawalan ketat di mobil lapis baja, menerabas barikade pendukung Salvador yang berjejer di pinggir jalan dengan memegangi foto Bolanos. Belum dimulai pertandingan, tiga orang sudah tewas karena bentrokan. Tentara sudah mengepung stadion, beberapa regu bersenjata juga ada di dalam stadion.

Di tengah dukungan maha tinggi dan tensi panas yang tersaji, El Salvador akhirnya memang sukses menekuk Honduras dengan skor 3-0. Para penggemar merayakan kemenangan dengan membakar bendera Honduras, dan para pemain hingga staf segera berlari menyelamatkan diri.

Kekalahan ini tidak membuat Honduras kecewa, mereka malah bersyukur. "Kami sangat beruntung bahwa kami kalah. Jika tidak, kami tidak akan hidup hari ini," tutur Mario Griffin, pelatih Honduras.

Tapi beberapa penggemar Honduras memang benar-benar tidak beruntung. Dua orang Honduras tewas terbunuh di jalanan San Salvador, yang lain mendapat serangan fisik seperti ditendang dan dipukuli. Puluhan orang Honduras dilarikan ke rumah sakit. Ujungnya, perbatasan negara ditutup.

Kala itu, sistem agregat skor belum dipakai. Maka, kedua tim harus melakoni pertandingan pamungkas sekali lagi untuk menentukan siapa yang berhak lolos masuk ke Piala Dunia 1970 Meksiko. Menimbang tensi tinggi antar keduanya, dan menjunjung netralitas, maka pertandingan dihelat di Mexico City, Meksiko pada 26 Juni.

Sekitar 5.000 pendukung El Salvador terbang ke Mexico City sejauh 770 mil. Dilansir dari ESPN, seluruh timnas beserta jajaran dipanggil ke rumah Presiden untuk diberi motivasi kuat bahwa mereka sedang membela tanah air dan martabat bangsa.

Kepolisian Meksiko mengerahkan 5.000 personel polisi dengan senjata lengkap untuk mengamankan kedua pendukung di stadion. Pertandingan berjalan seru. El Salvador unggul dua gol lebih dahulu. Namun Honduras berhasil menyamakan kedudukan sampai menit akhir, memaksa pertandingan memasuki babak tambahan waktu.

El Salvador datang dengan semangat nasionalisme dan harga diri tinggi. Kemenangan menjadi harga mati. Pelatih El Salvador, Gregorio Bundio asal Argentina, memberikan bisikan maut dengan memerintahkan anak asuhnya menjegal para pemain Honduras dengan cara apapun selama dianggap pantas.

Penyerang andalan Honduras, Enrique Cardona, merasakan langsung kebrutalan para pemain Salvador. "Mereka menendang saya di lapangan!" ingat Cardona. "Aku mendapat sepatu lawan naik sampai ke dada. Aku pernah bermain di Spanyol, Inggris, Irlandia dan belum pernah mengalami seperti ini sebelumnya."

Nyatanya, El Salvador berhasil melesakkan satu gol penentu lewat Mauricio Alonso Rodríguez. Skor akhir dalam pertandingan 120 menit itu 3-2 untuk kemenangan El Salvador. Surat kabar kedua negara saling melempar julukan negatif, mulai dari NAZI, kurcaci, pemabuk, sadis, agresor, hingga pencuri.

Dua minggu setelah pertandingan tersebut, sebuah perang dalam arti sesungguhnya benar-benar terjadi. Pada 14 Juli 1969, tepat hari ini 49 tahun lalu, di waktu senja sebuah pesawat terbang di atas Tegucigalpa dan menjatuhkan bom. Salvador resmi menginvasi Honduras.

Sepakbola sebagai Puncak Gunung Es

Boleh saja mengaitkan kericuhan sepakbola sebagai pemicu perang militer. Tetapi itu hanya sebagian saja yang tampil di permukaan layaknya fenomena gunung es. Akar pertikaian kedua negara yang bertetangga ini jauh lebih dari sekadar gengsi lapangan hijau.

Michael Brzoska dan Frederic S. Pearson dalam Arms and Warfare: Escalation, De-escalation, and Negotiation (1994) menyebut dekade 1960-an menjadi masa-masa sulit bagi negara-negara di Amerika tengah termasuk yang dialami Honduras dan El Salvador. Privatisasi ekonomi, penguasaan tanah, dan masalah kepadatan penduduk menjadi bom waktu bagi para buruh dan tani.

Di El Salvador, kepemilikan tanah amat terbatas dan tidak sebanding dengan tingkat kepadatan penduduk. El Salvador kala itu menjadi negeri dengan penduduk terpadat di benua Amerika. Sementara keadaan ini kontras dengan Honduras yang memiliki luas wilayah lima kali dari Salvador dengan penduduk yang relatif sedikit.

Kondisi tersebut memaksa sekitar 300.000 penduduk Salvador menyerbu Honduras untuk mengadu nasib. Sampai akhir 1960-an jumlah petani El Salvador yang menggarap lahan di kebun Honduras mencapai 20 persen dari total penduduk pedesaan.

Infografik Mozaik Honduras vs el salvador

Tetapi sejak 1950-an, ekonomi Honduras sebenarnya mengalami ketidakstabilan dan kian meruncing di akhir 1960-an. Dalam esai "The El Salvador-Honduras War" (2009) yang diterbitkan International Institute for Strategic Studies (IISS) menyebut, Honduras menjadi negara dengan ekonomi paling tidak berkembang di antara negara-negara Amerika tengah lainnya. Pada 1967, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Honduras hanya mencatatkan 236 dolar, menjadi yang terendah di benua Amerika tengah.

Sementara beberapa publik dan pemilik tanah Honduras segera membenturkan kekacauan ekonomi dengan fenomena kedatangan para penduduk El Salvador. Opini menyalahkan ini berkembang menjadi sentimen anti Salvador. Beberapa pemimpin politik Honduras dan kelompok lainnya mulai menyerukan reformasi agraria di pundak Jenderal Oswaldo López Arellano, Presiden Honduras kala itu.

Pada 1968, Undang-Undang Reformasi Agraria Honduras diberlakukan. Pendatang Salvador tidak dapat lagi menggarap tanah di Honduras dengan leluasa dan bahkan diperintahkan untuk mengosongkan lahan. Konsekuensinya, ribuan orang Salvador terpaksa dipulangkan.

López Arellano sebenarnya bukanlah orang bersih. The Guardian menyebut, ia diduga kuat pernah dijejali suap oleh United Brands, perusahaan asal Amerika Serikat (AS), untuk mengurangi pajak ekspor pisang. Beberapa kebijakan politik dan ekonominya lebih condong dekat dengan AS.

El Salvador ketika itu juga dipimpin seorang militer. Sementara dugaan penganiayaan kepada minoritas Salvador di Honduras kian meningkat, Jenderal Fidel Sanchez Hernandez selaku pemimpin negara hanya sedikit melakukan tindakan untuk mencegah kemarahan publik Salvador.

Serangkaian ketegangan inilah yang memicu kekacauan di pertandingan sepakbola kualifikasi pra-Piala Dunia 1970 Meksiko. Kedua negara ini harus bertemu serta membawa sentimen dan pertikaian dari luar lapangan hijau. Timnas dan pendukung masing-masing negara saling mengeluh ketika bermain di kandang tuan rumah akibat perlakuan buruk.

Bahkan ketika pertandingan penentuan dilakukan di tempat netral di Meksiko, niat pertikaian tidak surut. Terbukti pada 14 Juli 1969, El Salvador menyerang Honduras dari darat dan udara. Honduras sempat membalas dengan serangan udara. Mereka juga mengumpulkan orang-orang Salvador yang tinggal di negara mereka dan mendeportasinya. Kemenangan Salvador memukul mundur pasukan Honduras tidak bertahan lama ketika mereka mulai kehabisan bahan bakar.

Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) turun tangan untuk memediasi konflik antara El Salvador melawan Honduras dengan menyerukan gencatan senjata. Dilansi dari On War, El Salvador menolak. Mereka menginginkan agar Honduras bertanggung jawab atas aksi pengusiran disertai penganiayaan kepada warga Salvador serta menjamin keselamatan para warga Salvador yang masih tersisa di Honduras.

Selain kehabisan bahan bakar, tekanan yang lebih kuat dari OAS pada akhirnya mampu mengendorkan agresivitas Salvador. Perang memang tidak berlangsung lama, hanya 100 jam atau sekitar empat hari.

Perang berakhir dengan hanya menghasilkan kerugian bagi kedua pihak. Antara 60.000 sampai 130.000 orang Salvador terusir secara paksa atau melarikan diri dari Honduras. Ada 2.000 warga sipil yang mayoritas orang Honduras tewas, sementara ribuan lainnya mengungsi dan menjadi tunawisma.

Di kancah Piala Dunia 1970, El Salvador harus kalah telak dari Uni Soviet, Meksiko, dan Belgia di putaran pertama. Memaksa mereka angkat kaki dari Meksiko lebih cepat. Hubungan Salvador dengan Honduras terus menegang selama lebih dari satu dekade dan diikuti sengketa perdagangan.

Status perang bahkan baru resmi berakhir saat keduanya menandatangani kesepakatan damai pada 30 Oktober 1980. Meski begitu, hubungan baik tidak segera terbangun. Baru pada 2006 lalu, dua presiden dari masing-masing negara sepakat berdamai dengan berjabat tangan di atas garis perbatasan kedua negara.

Baca juga artikel terkait PERANG atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Ivan Aulia Ahsan