Menuju konten utama
Piala Dunia 2018

Sepakbola Meksiko: Extravaganza, Kegilaan & Gairah yang Meletup

"Sepakbola Meksiko membutuhkan kontroversi. Jika tidak ada, mereka akan menciptakannya."

Sepakbola Meksiko: Extravaganza, Kegilaan & Gairah yang Meletup
Selebrasi Hirving Lozano setelah mencetak gol ke gawang Timnas Jerman pada pertandingan Grup F antara Timnas Jerman vs Timnas Meksiko di Luzhniki Stadium, Moscow, Rusia, Minggu (17/06/2018). AP Photo/Michael Probst

tirto.id - 15 Juni 1986. Beto Granados menggenggam tiket pertandingan antara Meksiko melawan Bulgaria. Saking senangnya telah memegang tiket, ia seperti kerasukan. Pagi itu dia bangun dengan dada berdegup kencang, tak sabar untuk segera datang ke tempat pertandingan.

Alih-alih pergi ke stadion, Beto ternyata menghabiskan harinya di rumah sakit. Leticia, istrinya, akan melahirkan anak keduanya lebih cepat dari yang diperkirakan. Ia terpaksa harus menungguinya, tidak bisa tidak. Tak punya pilihan, Beto kemudian bersikap layaknya ahli multitasking. Di satu sisi ia harus mendengarkan pertandingan melalui radio di rumah sakit, di sisi lainnya ia harus mengawasi keadaan istrinya.

Lalu, Paulo Negrete tiba-tiba mencetak gol bersejarah pada pertandingan itu dan Roberto lahir di dunia. Pada hari yang bersamaan dengan perayaan Hari Ayah itu, Beto pun mendapatkan dua hadiah istimewa. Oh, tiga hadiah: darah gila sepakbola milik Beto ternyata juga mengalir ke dalam diri Roberto.

32 tahun setelah kejadian itu, jabang bayi Roberto kelak membawa Beto ke Rusia untuk menonton Meksiko beraksi di Piala Dunia 2018.

7 Mei 2010. Castillo dan Trejo, juga puluhan ribu penggemar Meksiko memadati tribun Stadion Meadowlands, New Jersey, untuk menyaksikan timnas Meksiko bertanding melawan Ekuador. Namun, pikiran mereka saat itu sudah melayang ke masa depan: baik Trejo maupun Castillo sudah memikirikan tentang Piala Dunia 2010. Jika lancar-lancar saja, Piala Dunia 2010 akan menjadi perjalanan Piala Dunia keenam bagi mereka.

Timnas sepakbola Meksiko memang membuat dua orang itu seperti orang tidak waras. Sementara Castillo mengatakan bahwa Trejo lebih memilih meninggalkan istrinya daripada melihat timnas Meksiko kalah, ia sendiri memilih tidak akan datang ke hari pernikahan anaknya jika berbarengan dengan pertandingan timnas Meksiko.

Katanya, “menonton timnas Meksiko seperti kecanduan.”

Belum lagi, saat kebanyakan orang rela menguras isi dompet mereka untuk berkunjung ke tempat-tempat aduhai di segala penjuru dunia, Trejo dan Castillo justru rela melakukannya hanya untuk datang ke stadion-stadion sambil menghabiskan suaranya untuk timnas kebanggaannya.

Di Meksiko orang-orang seperti Beto dan Roberto, juga Trejo dan Castillo, ternyata tidak langka. Mereka justru seperti penduduk Meksiko kebanyakan, yang mencintai El Tri lebih dari apapun. Menurut Adam R. Jacobson, mantan editor Hispanic Sport Bussiness, fenomena itu merupakan bagian dari fanatisme dan nasionalisme.

Saat kegilaan penggemar timnas Meksiko membuat kegilaan penggemar olahraga di Amerika Serikat terlihat tak ada apa-apanya, Jacobson mengatakan, “Ini adalah timnas Meksiko. Jadi Anda tidak hanya berurusan dengan orang-orang yang datang hanya untuk mendukung tim, tapi juga mendukung tanah kelahirannya.”

Meksiko, yang pada 2016 lalu mempunyai lebih dari 127 juta penduduk, mulai mengenal sepakbola dari orang-orang Inggris. Setelah perang kemerdekaan pada 1824, Meksiko mendatangkan orang-orang Cornwall untuk menambang emas di Real de Monte.

Dari situ, para penambang Inggris tersebut banyak yang menikah dengan penduduk lokal. Mereka mengenalkan sepakbola dan menjadi bagian penting dari berdirinya Pachuca, salah satu tim paling bersejarah dalam sepakbola Meksiko. Sejak saat itu, sepakbola pun menjamur dan mewabah di segala penjuru Meksiko; mereka menjadi negara gila bola.

Menariknya, antusiasme luar biasa orang-orang Meksiko itu kemudian menjadi salah satu alasan mengapa sepakbola bisa menjadi global seperti sekarang. Saat Meksiko menjadi tuan rumah Piala Dunia 1970 dan 1986, orang tidak hanya membicarakan umpan dari kaki ke kaki dan gol-gol indah, mereka juga membuktikan sepakbola bisa menjadi bisnis yang menguntungkan.

Piala Dunia 1970 bukan hanya tentang kehebatan Pele dan koleganya, tapi juga tentang televisi berwarna. Karenanya, orang-orang di segala penjuru dunia bisa menyaksikan pertandingan lebih nyaman daripada sebelumnya. Demi jam tayang menguntungkan di Eropa, beberapa pertandingan pun digelar di siang bolong. Sementara para pemain akan mengeluh karena sengatan matahari Meksiko yang tak tebang pilih, para penonton di rumah bisa menonton sambil makan popcorn.

Pada 1986, Meksiko secara mengejutkan kembali mejadi tuan rumah Piala Dunia. Meski setahun sebelumnya dilanda gempa bumi hebat, merenggut 20.000 nyawa dan membuat 150.000 orang tidak mempunyai tempat tinggal, FIFA tidak bisa mengelak saat Televisa, saluran televisi asal Meksiko, menawarkan diri untuk menjadi penyokong utama turnamen tersebut. Sekali lagi, pemain mengeluh dan penonton di rumah bergembira.

Keluhan Harlad Schumacher, kiper Jerman Barat, pun tak terdengar karena meriahnya tepukan penonton di atas tribun dan di depan layar televisi: “Saya berkeringat. Tenggorokanku kering. Rumput terlihat seperti kotoran kering: keras, aneh, bermusuhan. Matahari bersinar langsung dari atas stadion mengarah tepat ke kepala kami. Tidak ada bayangan. Katanya itu bagus untuk televisi.”

Menariknya, orang-orang Meksiko seperti tak peduli dengan semua itu. Mereka hanya peduli dengan timnas sepakbolanya. Saat Meksiko bertanding melawan Bulgaria pada babak-16 besar Piala Dunia 1986, laga yang tiketnya sudah dimiliki Beto Granados namun tak terpakai karena mesti menunggui istrinya melahirkan, Stadion Azteca dijubeli 114.580 orang. Jumlah itu hanya kalah 20 orang dari pertandingan final antara Jerman Barat melawan Argentina yang digelar di tempat yang sama.

Selain itu, penggemar Mexico juga memberi warna tersendiri dalam gelaran Piala Dunia 1986 tersebut. Konon, merekalah yang mulai mempopulerkan salah satu koreagrafi supoter paling terkenal di dunia: mexican wave. Dalam koregrafi tersebut, para penonton secara berurutan akan mengangkat kedua tangannya, membuatnya terlihat seperti ombak yang berjalan di seluruh tribun.

“Kore0grafi itu diciptakan oleh orang-orang Meksiko. Saya belum pernah melihatnya atau mendengarnya di Amerika Serikat sebelum Piala Dunia 1986,” jawab Jorge Perez, saat The Guardian mencoba mencari tahu dari mana koreografi itu berasal kepada para pembacanya. Perez bisa salah, begitu juga para pembaca yang sependapat dengannya. Namun koreografi tersebut benar-benar populer di Meksiko. Karenanya ia diberi nama mexican wave.

Cobalah mengetik "opening ceremony world cup 1986" di mesin pencari. Anda akan menemukan sejumlah gambar yang memperlihatkan betapa hidup, menggairahkan, penuh warna, seperti karnaval atau extravaganza, saat Meksiko mempersembahkan pertunjukan pembukaan.

Dan hampir selalu warna-warni itu pula yang tampak dari para pendukung Meksiko kapan pun mereka tampil di Piala Dunia. Dengan topi sombrero yang lebih terasa serebral ketimbang fungsional, dengan warna-warni pakaian yang menyolok, seperti yang dulu dikenakan kiper Jorge Campos, Meksiko selalu bergairah menyambut sepakbola -- bahkan walau sepakbola mereka di pentas dunia masih begitu-begitu saja.

Setelah berhasil menembus babak 16 besar dalam gelaran Piala Dunia 1986 tersebut, Meksiko memang pernah meraih gelar Olimpiade 2012 di London, Inggris. Namun, di ajang Piala Dunia, penampilan Meksiko hanya mentok di babak 16 besar. Hebatnya, penggemar Meksiko seperti selalu mempunyai jalan untuk terus mendukung tim nasionalnya. Salah satunya, melalui pemain-pemain yang bisa dikultuskan: Jorge Campos dan Cuauhtemoc Blanco.

Campos dipuja karena penampilan apiknya dalam gelaran Piala Dunia 1994. Selain itu, ia juga menjadi idola karena gayanya yang eksentrik. Selama di Piala Dunia 1994, kiper yang juga bisa bermain sebagai penyerang tersebut menggunakan kostum warna-warni, yang terlihat kedodoran karena perawakannya yang kecil. Belum lagi ia sering melakukan penyelamatan akrobatik.

Sementara bagi para penggemar Meksiko Blanco sudah dianggap seperti Maradona bagi Argentina. Ia memang pemain yang bermasalah, tetapi bakatnya, dan gairah yang dimilikinya saat bermain, membuatnya tak terlupakan.

“Bagi saya, bermain untuk timnas (Meksiko) merupakan kebanggaan tersendiri,” kata penyerang yang mencetak 39 gol dari 120 penampilannya bersama timnas Meksiko tersebut. “Dan saat lagu kebangsaan dinyanyikan, hati saya tersebut, saya selalu ingin menangis.” Tak heran jika ia kemudian masih bermain di Piala Dunia 2010 meski sudah berusia 37 tahun.

Setelah era Campos dan Blanco, sepakbola Meksiko memang masih seperti sebelumnya. Prestasi mereka begitu-begitu saja dan kontroversi datang silih berganti. Menyoal kontroversinya tersebut, dalam salah satu tulisannya di Guardian, Graham Parker bahkan pernah menulis: "Sepakbola Meksiko membutuhkan kontroversi. Jika tidak ada, mereka akan menciptakannya."

Hebatnya, sekali lagi, para penggemar Meksiko tahu bagaimana caranya mengatasi hal itu. Jika mereka sudah tidak lagi mempunyai timnas yang dapat diharapkan penampilannya atau pemain yang tidak dapat dikultuskan, mereka setidaknya mempunyai pelatih yang harus disalahkan setiap kali datang menonton pertandingan.

Juni 2018 lalu, saat menghadapi Skotlandia dalam partai uji coba menjelang Piala Dunia 2018, mereka melakukan hal itu. Tak puas dengan kinerja Juan Carlos Osorio, mereka beberapa kali menyanyikan lagu yang intinya menyuruh Osorio turun dari jabatannya.

Nyanyian memang terdengar saat Meksiko menghadapi Jerman di Piala Dunia 2018 kemarin (Minggu, 18/6/18). Namun bukan nyanyian menuntut Osorio mundur, melainkan nyanyian gembira karena mereka berhasil menumbangkan juara bertahan Jerman dengan skor tipis, 1-0.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Zen RS