Menuju konten utama
Piala Dunia 2018

Balas Dendam Romelu Lukaku

Melihat Lukaku mewujudkan mimpi dengan membalas dendam masa silam.

Balas Dendam Romelu Lukaku
Selebrasi gol Romelu Lukaku pada pertandingan Grup G antara Timnas Belgia vs Timnas Tunisia di Spartak Stadium, Moskow, Rusia, Sabtu (23/06/2018). AP Photo/Hassan Ammar

tirto.id - Saat masih kanak, Romelu Lukaku tumbuh di tengah keluarga yang melarat. Ayahnya seorang pesepakbola semenjana dari Zaire dengan penghasilan pas-pasan yang sudah berada di pengujung karier. Sementara ibunya, kendati berasal dari keluarga berkecukupan, hanya memiliki sedikit warisan yang kelak habis hanya dalam waktu singkat untuk menambal segala kebutuhan mereka.

Tiap Senin pagi, sang ibu selalu pergi ke kedai terdekat untuk berutang beberapa potong roti dan baru akan membayarnya pada hari Jumat. Satu per satu barang di rumah mulai dijual. Aliran listrik diputus karena menunggak pembayaran terlalu lama. Ketika musim dingin tiba, ibunya memasak air panas di dalam teko untuk kebutuhan keluarga. Demi menghemat persediaan, mereka pun mandi hanya dengan menggunakan cangkir.

Suatu hari, Lukaku secara tak sengaja memergoki ibunya sedang termenung di depan kulkas dengan sekotak susu di tangannya. Ketika keduanya saling bertatapan, ibunya tersenyum dan segera menuangkan susu ke gelas. Lukaku pun meminum susu tersebut dengan wajah yang juga dibuat sesemringah mungkin. Namun, di balik apa yang terjadi, keduanya sama-sama tahu: senyuman itu, tawa itu, hanyalah rekaan sementara untuk berkelit hidup yang kelewat pahit.

“Kami bukan lagi miskin, kami melarat. Saya tak ingin mengeluh dan membuatnya stres. Saya tetap meminum susu dan memakan bekal yang ia berikan. Tapi, demi Tuhan, saya berjanji kepada diri sendiri. Saya tahu apa yang harus lakukan kelak. Saya tidak dapat melihat ibu saya hidup seperti itu. Tidak, tidak, tidak. Saya tidak bisa,” ungkap Lukaku dalam tulisannya berjudul "I've Got Some Things to Say" yang tayang di Players Tribune pertengahan Juni lalu.

Sepakbola kemudian dipilih Lukaku sebagai senjata. Sejak usianya masih enam tahun, ia sudah memantapkan ikrar untuk menjadi pemain papan atas. Suatu hari, usai pulang sekolah, Lukaku mendapati ibunya tengah menangis. Ia pun bergegas menghampiri sang ibu. Sambil berusaha menenangkan ibunya, masih merujuk artikel di Players Tribune, ia menceritakan cita-citanya tersebut.

“Bu, semua akan berubah. Nanti kamu lihat. Saya akan bermain untuk Anderlecht, segera. Kita akan baik-baik saja. Kamu tak perlu khawatir. Saya masih berusia enam tahun saat itu. Saya bertanya kepada ayah, ‘Kamu menjadi pemain sepakbola profesional mulai usia berapa?’. Ia menjawab: ‘16’. Saya bilang: ‘Oke, kalau begitu’. Semua akan terjadi. Pasti.”

Jika kini Lukaku, yang baru berusia 25 tahun, sudah menjadi pemain termahal kedua di Manchester United, termahal nomor sembilan di dunia, mencatatkan diri sebagai topskorer Belgia sepanjang masa (40 gol dalam 70 pertandingan), dan sedikit lagi dapat mengantarkan negaranya tersebut meraih gelar Piala Dunia untuk kali pertama, maka Anda sudah tahu apa penyebabnya: dendam masa silam.

Tekad Kuat Si Tubuh Besar

Dengan tubuh tinggi kekar yang dimilikinya, amat mudah bagi siapapun untuk menganggap ada sesuatu yang “lain” dari Lukaku. Sejak kanak, ia sudah biasa mendapat ejekan terkait hal tersebut. Ada beberapa kejadian yang masih menancap betul di ingatannya hingga sekarang. Salah satunya ia ceritakan dalam tulisan di Players Tribune itu:

“Waktu tubuh saya mulai bertambah tinggi, beberapa guru dan orangtua murid membuat saya stres. [...] Waktu berumur 11 tahun, saya bermain untuk tim junior Lierse. Ada salah seorang orangtua yang berusaha mencegah saya agar tidak turun ke lapangan. Dia seperti bertanya, ‘Tuh anak umurnya berapa, sih? Mana KTP-nya? Dia berasal dari mana?’ Saya bengong, 'Dari mana saya berasal? Apa?' Saya lahir di Antwerp. Belgia."

Ia mengaku sampai harus memperlihatkan kartu identitas kepada seluruh orangtua yang berada di sana. Dia sendirian dalam situasi itu, tanpa ditemani ayahnya.

Mino Raiola, yang sempat menjadi agennya, menceritakan versi lain. Dikutip dari FourFourTwo, Mino mengatakan bahwa saat bertemu dengan ibunya Lukaku, ia mendengar bagaimana orang-orang meragukan usia Lukaku yang sebenarnya. Pangkal soalnya sebenarnya: karena Lukaku tampak terlalu bagus untuk usianya.

"Itu selalu merepotkan bahwa dia mencetak tiga atau empat gol. Dia lebih besar dan kuat secara fisik. Banyak yang berteriak bahwa dia bermain bukan di kelompok usia yang sebenarnya," kata Mino.

Lukaku kini memiliki tinggi 1,9 meter dan berat 94 kilogram. Dari yang semula dianggap olokan, Lukaku justru menjadikan kekuatan fisik sebagai aset utamanya untuk berkarier di lapangan hijau. Sejujurnya, dengan kondisi fisik sebesar itu, kecepatan dan kelincahan Lukaku tak ubahnya suatu anomali.

Jika Anda heran mengapa Ed Oliver, pemain NFL yang memperkuat Houston Cougars, dapat berlari kencang meski berat badannya mencapai 132 kilogram, atau tak percaya karena Tyron Smith mampu berperan sebagai offensive tackle untuk Dallas Cowboys dengan bobot tubuh sebesar 141 kilogram, Anda semestinya juga merasakan keterkejutan yang sama saat melihat Lukaku meliuk-liuk di lapangan.

Raphael Varane, bek Perancis yang akan menghadangnya di semifinal Piala Dunia 2018, mengakui kedahsyatan aspek fisik Lukaku. Dikutip dari Reuters, Varane mengatakan: "Fisik Lukaku bisa merepotkan pertahanan mana pun. Kami tak bisa membiarkannya mendapatkan ruang karena ia pemain berkualitas."

Dan kualitas itu tidak semata karena fisiknya. Dengan postur sebesar itu, ia bukan sekadar penyerang nomor 9 konvensional yang hanya mampu melindungi bola dengan badannya -- katakanlah seperti Hulk yang pernah bermain untuk timnas Brasil. Larinya pun amat cepat, pergerakannya pun gesit. Saat Belgia mencetak gol ketiga ke gawang Jepang, ia memperlihatkan kemampuan tersebut dengan sempurna.

Berasal dari serangan balik kilat oleh Kevin de Bruyne, Lukaku segera berlari kencang dari sisi kanan menuju kotak penalti Jepang untuk membuka ruang bagi Thomas Meunier yang turut melakukan penetrasi dari lini belakang. Saat Meunier hendak mengirimkan umpan silang, Lukaku kembali melakukan pergerakan ciamik agar Nacer Chadli dapat mengeksekusi bola. Hanya butuh waktu 15 detik bagi Belgia untuk mencetak gol ini.

Saat Belgia menghadapi Brazil di perempat final, Lukaku kembali mempertontonkan kelebihan lainnya sebagai striker. Menerima bola dari area pertahanan sendiri, ia segera melakukan penetrasi dengan menerabas hadangan double pivot Selecao: Fernandinho dan Paulinho. Di final third, Lukaku mengoper bola kepada De Bruyne yang lantas mengeksekusinya dengan sepakan jarak jauh.

Tyler Tynes memuji pergerakan Lukaku dengan cara yang plastis. Dalam artikel "The endless delight of watching Romelu Lukaku control the World Cup" yang tayang di SBNation, Tyler menulis: "Menonton gerakan Lukaku terasa seperti membaca esai [James] Baldwin atau melihat guratan dalam karya [Jean-Michael] Basquiat."

Lukaku mempersetankan semua yang terjadi dengan tubuhnya demi meraih kesuksesan. Dendam masa silam baginya harus ditebus benar-benar, dan untuk itu pula ia melatih dirinya agar tidak semata mengandalkan kekuatan fisik.

Yannick Ferrera, salah seorang pelatih di tim yunior Anderlecht, menyaksikan sendiri bagaimana Lukaku memperkaya dirinya dengan keterampilan dasar bermain bola.

"Dia ingin menjadi lebih baik dan ia tahu fisiknya tidak selalu bisa memberikan perbedaan. [Untuk itulah] ia selalu membuka diri, selalu menyimak orang-orang yang memberinya nasihat," kata Yannick, dikutip dari Bleacher Report.

Infografik Romelu Lukaku

Ditekan Bangsa Sendiri

Banyak orang akan kesulitan jika ditanya siapa saja pemain legendaris Belgia. Negara itu memang tidak identik dengan sepakbola, karenanya amat jarang orang yang menyimak nama-nama seperti Enzo Scifo, Jan Ceulemans, Jean-Marie Pfaff, Paul van Himst, atau Eric Gerets.

Tapi itu dulu. Dalam Piala Dunia 2018 sekarang, nyaris semua orang tahu siapa saja skuat inti Belgia. Eden Hazard, Kevin de Bruyne, Vincent Kompany, Dries Mertens, Alex Witsel, dan tentu saja Lukaku sendiri. Sederet nama yang dianggap sebagai Generasi Emas Red Devils--julukan timnas tersebut. Dengan posisi mereka kini di semifinal, Belgia pun diprediksi kuat dapat menjadi juara untuk kali pertama.

Dari sekian nama tersebut, Lukaku yang memiliki progres tercepat. Selain karena telah memainkan laga profesional pada usia yang baru 16 tahun, kepindahannya ke MU yang menjadikannya pemain termahal kesembilan di dunia membuat publik Belgia menaruh ekspektasi tinggi terhadapnya.

Namun, hal tersebut tak sepenuhnya membuat Lukaku bahagia. Dengan fakta bahwa ia merupakan pemain keturunan Kongo, amat mudah bagi para pendukung Belgia untuk mencaci Lukaku saban ia bermain buruk. Terlebih pemberitaan tentangnya kerap dibesar-besarkan.

“Saya memang benar-benar mengharapkan semua mimpi itu menjadi kenyataan, tetapi mungkin tidak dalam waktu secepat ini. Tiba-tiba saja media membebankan semuanya kepada saya. Terutama untuk timnas. Saya tidak selalu bermain bagus untuk Belgia, tapi, ayolah, saya masih berumur 17, 18, 19! Ketika semua berjalan lancar, saya membaca surat kabar dan mereka menyebut saya Romelu Lukaku, striker Belgia. Tapi ketika keadaan tidak berjalan dengan baik, mereka memanggil saya Romelu Lukaku, striker Belgia keturunan Kongo,” ujarnya, masih dari artikel Players Tribune.

Menghadapi hal semacam itu, Lukaku merasa geram. Ia membangun mimpinya dan menempa diri sekeras mungkin di Belgia. Sekalipun ia berkulit gelap, bukan seorang Kaukasian, dan seluruh leluhurnya berasal dari Afrika, Belgia adalah tanah airnya dan selamanya akan demikian. Lukaku berhak marah atas ketidakadilan yang ia rasakan.

“Jika Anda tidak menyukai gaya bermain saya, itu sah-sah saja. Tapi saya lahir di sini, saya tumbuh di Antwerp, dan Liege, dan Brussels. Saya bermimpi dapat bermain untuk Anderlecht. Saya bermimpi untuk menjadi Vincent Kompany. Saya memulai kalimat dengan bahasa Perancis dan mengakhirinya dengan bahasa Belanda, dan saya akan berbahasa Spanyol atau Portugis atau Lingala, tergantung di lingkungan mana saya berada.”

Dengan segala keterbatasannya, ia memang pembelajar yang tekun, bukan hanya dalam soal sepakbola namun juga bahasa. Ia memang bisa berbicara atau memahami banyak bahasa. Menurut Birmingham Mail, saat berusia 19 tahun, ia sudah mempunyai kecakapan multibahasa.

“Saya tak mengerti kenapa beberapa orang di negara ini menginginkan saya gagal. Sungguh, saya tidak ingin. Ketika saya di Chelsea dan tidak bermain, mereka menertawakan saya. Ketika saya dipinjamkan ke West Brom, mereka kembali menertawakan saya. Mereka adalah orang-orang yang tidak bersama saya ketika keluarga kami menuang air ke dalam sereal untuk dimakan. Jika Anda tidak bersama saya ketika saya tidak memiliki apa-apa, maka Anda tidak dapat benar-benar memahami saya.”

Bagi Lukaku, menjadi seorang pesepakbola papan atas bukanlah gol utamanya. Tentu ia bangga dapat bermain untuk Manchester United, merasakan atmosfer Piala Dunia, atau mencicipi sensasi Liga Champions, namun ada hasrat yang lebih suci di atas itu semua. Sebagaimana yang ia tulis di akhir kisahnya di Players Tribune.

“Saya sangat, sangat berharap kakek saya dapat menyaksikan bagaimana hidup kami sekarang. Saya berharap dapat meneleponnya sekali lagi untuk mengatakan kepadanya: “Kakek lihat, kan, sekarang? Aku sudah bilang, putrimu akan baik-baik saja. Tikus-tikus di apartemen kami juga sudah tidak ada. Kami juga sudah tidak lagi tidur di lantai. Kami sudah bahagia sekarang. Mereka tidak perlu mengecek KTP kami lagi. Mereka sudah mengetahui siapa kami.”

Hidupnya kini penuh dengan pemenuhan mimpi. Pada usia 16 tahun itu, ia bersama teman-teman sekolahnya sempat berkunjung ke Inggris, persisnya ke kandang Chelsea di Stamford Bridge. Ia sangat terkesan dengan atmosfer stadion tersebut. Ia mengatakan kepada guru yang mendampinginya bahwa ia kelak ingin bermain di Stamford Bridge.

"Nanti kau bisa bermimpi," tukas gurunya.

Lukaku membantahnya. Dikutip dari laporan The Independent, ia bilang: "Ini bukan impian. Aku akan merealisasikannya. Suatu hari aku akan bermain di sini. Jika satu hari dalam hidupku aku menangis, itu akan terjadi di hari ketika aku bermain di sini."

Suatu ketika Albert Einstein pernah berujar: “Perut yang kosong bukanlah penasihat politik yang baik.”

Einstein benar. Perut yang keroncongan lebih baik dijadikan energi untuk balas dendam. Lukaku telah membuktikan hal tersebut. Dan ia berhasil.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Zen RS