tirto.id - Berdasarkan kalkulasi Swiss Bank UBS, Belgia ada di urutan kelima sebagai kandidat juara dengan persentase kemenangan mencapai 5,6 persen. Posisinya ada di bawah Jerman (24 persen), Brasil (19,8 persen), Spanyol (16,1 persen), Inggris (8,5 persen) dan Perancis (7,3 persen). Usai Jerman dan Spanyol tersingkir, otomatis unggulan hanya menyisakan Brasil, Belgia, Inggris dan Perancis.
Sedangkan Soccerbot, mesin analisis bikinan David Sumpter, matematikawan terkemuka Eropa yang menulis buku Soccermatic, menyebut Brasil sebagai kandidat juara. Peluang Brasil untuk menjadi juara mencapai 11-4. Sebagai satu-satunya tim peraih gelar Piala Dunia terbanyak dan tim terstabil karena selalu lolos ke perempatfinal dalam 30 tahun terakhir, analisis ini cukup masuk akal. Di bawah Brasil, kans juara paling besar dipegang Perancis, Belgia dan Inggris dengan peluang 4-1.
Belgia selalu muncul dalam berbagai prediksi. Meski belum pernah mencicipi gelar juara, Belgia kali ini datang dengan predikat sebagai unggulan dan bukan lagi kuda hitam. Dalam konteks rangking FIFA per 7 Juni lalu, Belgia ada di peringkat tiga di bawah Jerman dan Brasil. Belgia bahkan pernah ada di urutan satu rangking FIFA pada 2015 lalu. Jelas sebuah pencapaian hebat sebab pada 2009 ranking mereka sempat merosot hingga urutan 66.
Dalam konteks kedalaman skuat, jika ditinjau dari market value per individu, kapasitas pemain-pemain Belgia sama seperti tim-tim kuat lainnya. Mereka bahkan cenderung lebih merata ketimbang Portugal dan Argentina.
Merujuk data Transfermarkt, nilai pasaran 23 pemain Belgia yang dibawa ke Rusia menjadi keenam termahal dengan nilai mencapai 678,6 juta poundsterling. Di atas mereka ada Perancis (972 juta), Brasil (882 juta), Spanyol (876 juta), Inggris (786 juta), dan Jerman (794 juta).
Tingginya nilai pasaran ini disebabkan 22 dari 23 pemain Belgia bermain di luar negeri. Hanya seorang pemain saja, yakni Leander Dendoncker, yang bermain di liga domestik bersama klub Anderlecht. Tak hanya bermain di luar negeri saja, kebanyakan pemain Belgia bermain di klub-klub besar Liga Inggris, Spanyol dan Italia dengan status sebagai pemain inti di klub masing-masing.
Faktor-faktor di atas acap kali membuat tim ini disebut-sebut sedang menuai generasi emas. Dan generasi ini tak akan muncul tanpa buah pemikiran dari Michel Sablon yang merevolusi sepakbola Belgia pada awal dekade 2000-an.
Dilecut Kegagalan Euro 2000
Semua ini bermula saat Belgia berjumpa Turki pada grup H Piala Eropa 2000. Belgia saat itu berstatus tuan rumah bersama Belanda. Mereka harus menang agar lolos ke babak selanjutnya. Alih-alih menang, tim berjuluk Setan Merah tampil buruk. Bermain menggunakan formasi 4-4-2, dua ujung tombak Luc Nilis dan Emile Mpenza tak berdaya membongkar pertahanan lawan. Saat mereka dijauhkan dari gelandang Marc Wilmots, yang tampil baik saat melawan Swedia dan Italia, duet penyerang itu praktis tak berkutik.
Permainan 4-4-2 mereka amat kaku dan tanpa visi, apalagi memasuki sepertiga akhir lapangan. Alhasil Belgia pun kalah 2-0 dan tersingkir dari Piala Eropa dengan status sebagai tuan rumah. Ini adalah kegagalan berulang, empat tahun sebelumnya tim ini hancur lebur di Piala Dunia 1998.
"Timnas Belgia mencapai titik terendah. Ada kekosongan kualitas, dan sesuatu harus dilakukan," kata Sablon kepada Bleacherreport.
Tak lama setelah kekalahan dari Turki, presiden federasi Belgia, Michel D'Hooghe meneloponnya. "Ada yang salah di sini," kata D'Hooghe kepada Sablon. “Benar-benar salah. Ini pekerjaan Anda, Anda adalah direktur teknis, sekarang giliran Anda untuk mengubahnya. Dan tolong ubah ini menjadi lebih baik.”
Menjadi salah satu cerita paling menonjol dalam sejarah sepakbola modern, usai menerima telepon itu Sablon kembali ke kantornya dan mengambil selembar kertas dari laci meja. Ia pun merancang cetak biru pengembangan sepakbola Belgia. Kegagalan timnas senior bermula dari pembinaan usia muda yang amburadul.
“Ketika Anda melihat tim yang lebih muda, U-17, U-18 dan U-19, ada sesuatu yang salah secara fundamental. Bukan soal hasil, tapi juga kualitas permainan. Itulah alasan kami mengubah banyak hal," kata Sablon dikutip dari Irish Examiner.
Ia mulai mengobservasi dan belajar banyak dari negara tetangga. Di selatan, Sablon belajar banyak dari Perancis. Kala itu Perancis dianggap sukses dalam hal perombakan pendidikan olahraga, program akademi pemuda, dan teknik pelatihan. Perancis kala itu sedang menuai generasi emasi usai juara Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000.
Gerard Houllier dianggap tokoh penting di balik keberhasilan Perancis itu. Ia dianggap sukses saat menjabat sebagai Direktur Teknik periode 1988-1994. Dari tangan Houlier lahir bakat-bakat seperti Zinedine Zidan, Thiery Henry, David Trezeguet, Didier Deschamps, Claude Makalele dan lain-lain. Setiap dua kali dalam setahun, Sablon mengunjungi Houlier untuk berguru soal ini.
Di utara, Sablon pun belajar banyak dari Belanda terkait pengembangan individu dan taktikal permainan, khususnya gaya total football. Sablon pun belajar banyak kepada Johan Cruyff.
"Kami datang ke sana [Perancis dan Belanda] bukan untuk menyalin dan hanya meniru, tetapi untuk melihat gaya bermain sebagai sumber inspirasi. Sehingga dari gaya-gaya itu kami menemukan banyak topik pengembangan yang berharga," lanjutnya.
Soal urusan ini Sablon dibantu dua asistennya Marc Van Geersom dan Bob Browaeys. Setelah merasa cukup, ia lalu membikin formula pelatihan usia dini dengan mengaplikasikan formasi 4-3-3 sebagai pakem pembinaan usia dini.
4-3-3 yang Jadi Pakem sejak Usia Dini
Sablon mengajak Universitas Brussel dan Universitas Louvain untuk mengaudit sistem pembinaan di seluruh kelompok usia. Di antaranya dengan mengoleksi ribuan data detak jantung pemain serta menganalisis 1500 rekaman video pertandingan berbagai kelompok usia dan tindakan si atlet saat bermain, mulai dari passing, dribbling, crossing, dsb. Upaya mengumpulkan data ini membutuhkan waktu lebih dari 2,5 tahun dengan melibatkan 70 ahli di berbagai bidang. Tak melulu soal fisik namun soal mental dan psikologi juga. Dari ribuan data itulah Sablon akhirnya memutuskan menggunakan 4-3-3 sebagai pakem dalam pembinaan pemain muda.
Namun kurikulum taktik ini baru diberikan saat pemain memasuki kelompok umur U-12. Pada tiap kelompok umur ia merinci program yang berbeda.
"Pemain muda memulai kariernya pada usia empat atau lima tahun. Sangat penting pada fase ini membiarkan mereka bermain semau mereka," Kata Browaeys yang menyebut kebebasan eksplorasi dan kesenangan sebagai kunci program pada usia ini.
Lalu pada U-8, baru mereka diajari cara menggiring bola yang benar. Setelah itu baru diajari cari melakukan umpan-umpan pendek pada U-12. Dan baru pada U-13 diberi pembelajaran soal taktik. Dalam kurikulum pada U-8, permainan dimulai dengan 3 versis 3, lalu 5 versus 5, lalu naik jadi 8 versus 8 pada U-12. Baru pada umur 12 tahun pemain diberikan kesempatan bermain 11 melawan 11.
Permainan kecil ini diprediksi mampu merangsang anak-anak berlatih keterampilan dasar seperti dribbling dan passing diagonal yang merupakan kunci saat bermain 4-3-3. Permainan dengan sedikit orang dirancang untuk memaksimalkan skill individu sebagai fondasi dasar seorang pemain.
"Kemudian perlahan-lahan pada umur 12 atau 13 kita beralih ke taktik dan itu harus 4-3-3 dengan empat bek sejajar. Penelitian kami menunjukkan formasi ini adalah yang terbaik untuk belajar. Saat Anda bermain 4-4-2, akan ada banyak ruang dan peran yang tak berguna." kata Sablon. "Dalam 4-3-3 Anda harus terampil mencari solusi untuk masalah yang ditimbulkannya."
"4-3-3 sangat penting dalam mengasah pemain masa depan," kata Sablon yakin. "Nilai sistem bermain yang berbeda dan 4-3-3 akan menjadi yang paling efisien, karena Anda memiliki empat pemain datar di lini belakang, defensif dan ofensif di lini tengah, striker dan dua sayap. Kemampuan menggiring bola melewati lawan ini sangatlah penting. Belgia memainkan sepakbola usang dan ketinggalan zaman, Dengan 4-4-2 atau 3-5-2 Anda hanya akan menghasilkan pekerja dan pelari."
Namun dalam visi 4-3-3 yang berorientasi pada zonal, triangulasi di lini depan dan tengah memberikan banyak keuntungan: transisi cepat, tanggung jawab kolektif bersama dan distribusi fisik yang lebih adil - tak semata menitikberatkan pada posisi pemain tertentu.
"Kami sedikit visioner," kata Bob Browaeys kepada Bleacherreport. "4-3-3 memenuhi semua persyaratan untuk mengembangkan pemain yang unggul dalam sirkulasi bola dan tindakan individu. Jika pemain muda mengadopsi libero dan man-marking, apa artinya taktik? Anda hanya mengikuti lawan sepanjang pertandingan. Sedangkan jika Anda bermain di zona, Anda harus berpikir memposisikan diri Anda dalam kaitannya dengan lawan dan situasi permainan," katanya.
Ia pun mulai berkelana ke seluruh penjuru negeri, melakukan lebih dari 200 presentasi kepada sekolah sepakbola usia dini. Dari hasil risetnya dalam pembinaan usia muda, para pelatih selalu menekankan hasil ketimbang proses, ia selalu mengulang kalimat ini saat seminar.
"Jika tujuan anda hanya untuk memenangkan pertandingan, tolong berhenti saja jadi pelatih. Hentikan pembinaan, pergi saja memancing," katanya.
Butuh hampir 6,5 tahun agar kurikulumnya ini dipakai di seluruh negeri. Hasil formasi 4-3-3 tak langsung mulus. Sablon masih ingat, laga pertama usia dini yang dimainkan dengan 4-3-3 berbuah kekalahan cukup telak 6-1 bagi Belgia.
“Orang-orang di asosiasi mencibir kami. Namun kami meminta mereka bersabar. Dan benar saja empat tahun kemudian [Piala Eropa U-17 2007] kami masuk posisi empat besar. Itu adalah hasil mengesankan dari buah kesabaran,"
Tak melulu soal pembangunan karakter dan taktis, ia pun merekonstruksi habis-habisan infrastruktur di sana. Laba sebagai tuan rumah Piala Eropa 2000 diinvestasikan untuk membangun fasilitas pengembangan megah di luar kota Brussel. Tak lupa ia pun memberi subsidi dan membuka peluang seluas-luasnya bagi mereka yang ingin mengikuti kursus kepelatihan. Hasilnya, jumlah pelatih di Belgia naik lebih dari 10 persen dalam waktu singkat.
Eden Hazard dan Kevin De Bruyne adalah talenta yang langka, namun kedalaman skuat Belgia tak akan berhenti pada generasi mereka saja. Tim U-21 Belgia berada di puncak grup kualifikasi untuk Piala Eropa U-17 yang baru digelar Mei lalu. Belgia lolos ke semifinal dan menjadi tim yang mencetak gol paling banyak.
"Lihatlah tim U-21. Lihatlah tim U-17. Kami memiliki pemain bagus di kelompok U-16 juga. Saya minta maaf, tetapi ini [generasi Eden Hazard cs] bukan kebetulan. Kami memiliki sistem dan kami memiliki visi. Ini bukan hanya generasi emas. Dan generasi emas ini akan terus berlanjut," kata Browaeys kepada SkySports Mei lalu.
Peran Klub dan Tak Melulu soal 4-4-3
Sablon telah pergi. Ia kini menjadi Direktur Teknik Federasi Sepakbola Singapura (FAS) sejak 2015. Meski begitu, cetak biru yang dirancangnya masih terasa sampai sekarang. Salah satu kunci kesuksesan cetak biru Sablon adalah peran serta akademi klub dalam pengembangan ini.
Sablon berusaha menyelaraskan visi ini dengan tim-tim usia dini di klub-klub Belgia dengan bantuan orang-orang berdedikasi seperti Hans Galje di Club Brugge, Roland Breugelmans di KRC Genk, mendiang Dominique D'Onofrio di Standard Liege dan Jean Kindermans di RSC Anderlecht. Mereka membantu mengaplikasikan permainan lima vs lima dengan berlian tunggal, delapan vs delapan dengan berlian ganda dan akhirnya 11 vs 11 dengan formasi tetap 4-3-3.
Dari sekian banyak klub itu, Anderlecht punya andil lebih besar. Akademi tim terkuat di Belgia ini sekarang menyumbang 35 persen pemain timnas Belgia dari 23 pemain yang mewakili Belgia di Piala Dunia di Rusia. Romelo Lukaku, Vincent Kompany, Leander Dendoncker, Youri Tielemans, Dries Mertens, Adnan Januzaj, Michy Batshuayi dan Marouane Fellaini semuanya dikembangkan di Anderlecht.
Usai mendapat arahan dari Sablon, Anderlecht memulai program pencarian bakat bertajuk purple talent program - ungu di sini merujuk warna kebesaran klub.
Meski pada kurikulum dipatok memainkan formasi 4-4-3, bukan berarti pakem itu tak boleh berganti. Adaptasi taktik adalah pelajaran penting lain yang diajarkan di sini.
“Anak-anak berubah, sepakbola berubah. Saya selalu meminta mereka menonton pertandingan Liga Champions dan menganalisis pertandingan. Sangat penting untuk membuat Anda mengetahui permainan modern," kata Kindermann kepada The Guardian.
"Kami dulu hanya mencari 70% penguasaan bola, tapi apa gunanya memiliki bola jika Anda tidak melakukan apa-apa dengannya? Kami sekarang bekerja untuk mendapatkan 70% penguasaan bola yang progresif, penguasaan bola yang efisien. Kami telah menambahkan hal itu ke dalam kurikulum, jika tidak kami akan menguasai bola tetapi kalah 1-0. Filosofi pelatihan klub adalah 'Rebut bola. Jaga bola. Serang. Menangkan. Selesai. Menang'. Ini adalah siklus yang kami khotbahkan kepada semua orang di gedung ini,” lanjut Kindermand.
Dalam soal taktik, akademi Anderlecht juga relatif fleksibel. Mereka memiliki sistem 3-4-3 yang merupakan penajaman dari 4-3-3. Namun pengembangan ini dilakukan pada kelompok usia 17 atau 16. Sebelum itu, pakem 4-3-3 tak boleh lepas.
"Kami mengharapkan pemain kami menang dengan cara Anderlecht .Pemain muda kami nyaman bermain dalam bentuk 3-4-3. Namun kami pun memberi kebebasan pemain dalam mengubah posisi secara teratur," tukasnya.
Editor: Zen RS