Menuju konten utama

Mayoritas Pemain Sepak Bola di Dunia Tak Sejahtera

Survei menunjukkan bahwa banyak pemain sepak bola di dunia memiliki gaji rendah dan diperlakukan dengan buruk.

Mayoritas Pemain Sepak Bola di Dunia Tak Sejahtera
Ilustrasi. Pemain sepak bola Alvaro Morata dan Nemanja Vidic dalam aksi selama liga Italia serie A pertandingan FC Internazionale vs Juventus di stadion San Siro, Milan. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Pemain sepak bola mungkin merupakan salah satu pekerjaan yang paling diimpikan oleh banyak orang di dunia, baik karena bayangan ketenaran maupun kekayaan. Sayangnya, hasil survey yang dilakukan Persatuan Pemain Sepak Bola Dunia (FIFPro) menunjukan bahwa sebagian besar pesepakbola di dunia bergaji rendah. Aspek-aspek bisnislah yang justru menyebabkan kondisi ini terjadi.

“Industri sepak bola adalah bisnis milik masyarakat, dijalankan oleh faktor ekonomi yang sama dengan bisnis hiburan,” jelas FIFPro dalam pernyataannya, seperti diberitakan Forbes pada Senin (28/11/2016). “Ini [pemain sepak bola] merupakan salah satu pekerjaan terbaik di dunia, tapi orang-orang juga harus tahu bahwa sangat sulit untuk mencapai level yang tinggi dan hanya sedikit yang bisa sampai ke atas,” ujar seorang pemain anonim asal Italia dalam laporan tersebut.

"Persediaan dan permintaan memungkinkan pemain paling berbakat untuk memaksimalkan potensi mereka, sementara mayoritas pemain lainnya bersaing untuk jumlah pekerjaan yang terbatas. Hal ini membuat posisi mereka lemah dan kondisi kerja mereka sering tidak tetap, " lanjut FIFPro.

Dari 14 ribu pemain yang disurvei, hanya 40,3 persen yang berpenghasilan sekitar 2.000 dolar AS (Rp27 juta) per bulan. Sisanya, 14,5 persen bergaji antara 1.000-2.000 dolar AS (Rp13,5-27 juta); 24,6 persen berpenghasilan antara 300-1.000 dolar AS (Rp405 ribu-13,5 juta); dan 20,6 persen berpenghasilan 300 dolar AS (Rp405 ribu) ke bawah. Hanya kurang dari dua persen yang berpenghasilan sekitar 720.000 dolar AS per tahun (Rp9,7 miliar).

Klub juga kerap memerlakukan pemain dengan buruk. Empat puluh satu persen mengaku pernah terlambat dibayar dalam dua tahun terakhir. Beberapa lainnya harus menunggu sampai setahun untuk dibayarkan gajinya. Delapan persen dari para pemain mengaku tidak memiliki kontrak tertulis dengan klub mereka bahkan di Afrika angkanya mencapai 15 persen.

Selain itu, masalah gaji juga berkaitan dengan tak adilnya masa kontrak. Rata-rata masa kontrak pemain adalah 22 dan 23 bulan. Kontrak berdurasi lebih pendek diberikan kepada para pemain berbayaran rendah. Para pemain berbayaran rendah itu tentunya menghadapi tekanan akan masa depannya.

Sebanyak 29 persen mengaku pindah klub atas keinginan sendiri, terutama karena gaji rendah, karir yang tidak jelas, kontrak jangka pendek, dan kemungkinan menjadi korban manipulasi kontrak. Bahkan di Kroasia dan Ceko, 90 persen pemain dianggap sebagai wiraswastawan atau hanya diikat oleh kontrak hukum perdata ketimbang kontrak bisnis.

Parahnya, selagi menghadapi kondisi ekonomi yang tak seimbang, pemain juga kerap mengalami kekerasan fisik. Sekitar 10 persen tercatat menjadi korban kekerasan fisik dan 16 persen mengaku menerima ancaman kekerasan. Lima belas persen mengaku menjadi korban bully, lalu 7,5 persen menghadapi diskriminasi etnis, seksualitas atau agama.

Sekitar 50 persen kasus terkait dengan pendukung sepak bola, lalu 27 persen pemain karena kekerasan langsung yang dilakukan oleh pendukung, dan 23 persen kekerasan dilakukan oleh manajemen klub atau staf pelatih.

Baca juga artikel terkait FIFPRO atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Olahraga
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari