Menuju konten utama
Piala Dunia 2018

Resep di Balik Keberhasilan Kroasia ke Final Piala Dunia

Baru merdeka pada 1991, Kroasia sudah dua kali lolos ke semifinal Piala Dunia. Apa resepnya? Tidak ada.

Resep di Balik Keberhasilan Kroasia ke Final Piala Dunia
Selebrasi kemenangan Timnas Kroasia pada pertandingan Semifinal Piala Dunia 2018 antara Timnas Kroasia vs Timnas Inggris di Luzhniki Stadium, Moskow, Rusia, Kamis (12/07/2018). AP Photo/Francisco Seco

tirto.id - “Adu penalti adalah perjudian, Anda tidak pernah tahu apa yang akan terjadi,” kata pelatih Kroasia Zlatko Dalic setelah menang melawan Denmark. "Terkadang Anda menebak suatu sisi dengan benar. Kadang-kadang seorang pemain tidak menembak dengan baik. Tidak ada rumus, itu bisa menjadi hari yang buruk atau hari yang baik. Semuanya berdasarkan keberuntungan."

Di negara maju, jawaban seperti ini bisa saja dikritik dan diejek, namun orang Kroasia tampaknya tak peduli. Saat ditanya pendapatnya tentang jawaban sang pelatih, kiper Kroasia Danijel Subasic hanya menjawab polos: “Kami menang dan semuanya berjalan lancar."

Jurnalis olahraga terkemuka di Kroasia, Alexandar Holiga, dalam kolomnya di The Guardian berjudul "Masters of improvisation: how Croatia reached semi-finals without a plan" menyebut jawaban Dalic itu sebagai gambaran umum dari sepakbola Kroasia yang menurutnya penuh dengan improvisasi. Sepakbola mereka tak memiliki cetak biru atau rencana jangka panjang. Sistem pembinaannya pun biasa-biasa saja.

Kroasia memang punya pemain-pemain dengan keterampilan top seperti Mateo Kovacic, Ivan Rakitic, Luka Modric atau Ivan Perisic. Namun, mereka tidak muncul dari sebuah proyek jangka panjang yang rapi, matang dan berjenjang. Beberapa di antara mereka malah mengenal sepakbola di luar Kroasia, misalnya Rakitic yang tumbuh di Swiss.

Holga mengungkapkan tidak ada program yang secara sistematis mendidik atau mendistribusikan pemain muda di seluruh negeri. Dalam konteks infrastruktur, sangat sedikit stadion baru yang dibangun atau stadion lama yang direnovasi dengan baik dalam tiga dekade terakhir. Begitupun dalam fasilitas pelatihan.

Berbeda dengan negara lain pengembangan pemain mudanya ditopang banyak klub, Kroasia hanya bergantung pada satu klub yakni akademi Dinamo Zagreb yang memiliki pelatih terbaik dengan kualitas berlebih. Berkat pengaruh besar Dinamo dalam federasi sepakbola Kroasia, mereka tidak kesulitan mendominasi tim junior Kroasia. Pada tim U-17, misalnya, 11 pemain inti seluruhnya berasal dari Zagreb.

Namun, Holga mengatakan tak ada yang spesial dari Dinamo. Tak ada fasilitas canggih atau memadai di sana. Sistem mereka tidak ada apa-apanya dibanding La Masia Barcelona atau Ajax Youth Academy. Saban tahun mereka selalu gonta-ganti pelatih yang tentu saja memengaruhi kontinuitas pembinaan klub. Dalam 13 tahun terakhir, Zagreb sudah memecat 17 pelatih dan direktur teknik. Kultur ingin praktis ini juga merembet ke timnas Kroasia.

Saat babak kualifikasi, Kroasia sudah memecat tiga pelatih Igor Stimac, Niko Kovac dan Ante Cacic. Pemilihan Dalic pun boleh dibilang amat dadakan. Ia dilantik 48 jam sebelum pertandingan grup terakhir melawan Ukraina. Ia kali pertama bertemu pemainnya di bandara Zagreb sesaat sebelum terbang ke Kiev.

Faktor enggan bersabar pula yang membuat Romeo Jozak tersingkir. Romeo adalah jenius lokal yang diangkat jadi Direktur Teknik timnas Kroasia pada Maret 2017 lalu. Saat itu ia sedang menyusun rencana jangka panjang untuk pengembangan sepakbola Kroasia, sangat mirip dengan apa yang telah dilakukan Michel Sablon pada Belgia. Sialnya baru empat bulan bekerja, Jozak sudah dipecat. Ia dipecat hanya beberapa waktu sebelum ia mempresentasikan rencananya dalam merancang ulang pembinaan sepakbola Kroasia.

Itulah mengapa tak pernah ada asosiasi sepakbola dari negara luar yang ingin mengetahui rahasia di balik kesuksesan Kroasia saat ini. Banyak federasi yang ingin mengetahui formula Perancis, Jerman, Spanyol, Italia atau Belgia yang sukses mentransformasi kegagalan di masa lampau jadi kesuksesan pada masa kini.

Mengapa tidak ada yang ingin berbicara tentang perlunya mempelajari apalagi mengikuti model Kroasia? Kata Holga, karena memang tidak ada yang bisa ditiru dari Kroasia.

Mungkin terdengar aneh. Bagaimana pun Kroasia adalah kisah terbesar Piala Dunia dalam dua dekade terakhir. Bagaimana mungkin negara kecil dengan populasi hanya empat juta jiwa bisa lolos ke semifinal Piala Dunia hingga dua kali, pada 1998 dan 2018? Dua kali lolos hingga semifinal ini lebih baik dari, misalnya, Inggris, Argentina, Portugal bahkan Spanyol.

Romeo Jozak pun bingung. Ia mengaku sulit menjelaskan apa yang terjadi di Kroasia saat ini. "Jika kita bisa menemukan cara untuk membotolkannya dan menjualnya, tidak diragukan lagi ini akan jadi produk yang paling dicari di dunia," katanya kepada WP Sportowe.

Infografik Sepak Bola Kroasia

Holiga menganggap penyebab Kroasia bisa melenggang hingga final adalah improvisasi yang sudah menguratakar di kalangan para pemain Kroasia. Dan masa lalu di era perang yang membangun karakter itu. "Menjadi terbiasa dengan improvisasi sejak usia muda, dan telah menerimanya sebagai bagian dari mentalitas," tulisnya.

Hal sama juga diungkap wartawan New York Times, Rory Smith. Ia menulis artikel yang judulnya saja sudah menjelaskan isinya: "Belgium’s Blueprint, Croatia’s Chaos, and the Murky Path to World Cup Glory". Terkadang pemain yang sangat berbakat muncul karena tantangan yang mereka hadapi sejak kecil karena berbagai situasi sulit akibat perang.

"Bakat yang agung, seperti Modric, dia tidak memerlukan sistem pelatihan yang rapi atau jalur pengembangan yang dirancang dengan sempurna untuk bisa bersinar," katanya.

Kroasia merdeka pada 1991. Pada periode 1991-1995 mereka terlibat perang dengan Serbia. Modric punya memori kelam soal ini. Dia meninggalkan kampung halamannya Zadar pada usia enam tahun akibat rumahnya terbakar habis. Ayahnya kemudian bergabung dengan tentara Kroasia - dan kakeknya tewas ditembak pemberontak Serbia.

"Ini adalah masa-masa sulit," kenangnya pada Daily Mail. “Saya mengingatnya dengan jelas, tapi itu bukan sesuatu yang ingin Anda pikirkan. Perang membuat saya lebih kuat.”

Perang memengaruhi banyak generasi pemain Kroasia ini secara langsung. Masa kecil Mario Mandzukic, misalnya, banyak dihabiskan di Jerman. Ia baru kembali ke Kroasia pada usia 10 tahun. Sementara Ivan Rakitic lahir dan dibesarkan di Swiss dengan status imigran perang.

Banyak pemain muda yang tak merasakan langsung kondisi perang, tetapi memori dan mitos perang masih membayang di antara mereka. Ingatan kolektif ini jadi faktor lain yang menyatukan tim nasional Kroasia.

“Setidaknya, bagi saya, salah satu yang mengikat semuanya adalah semangat dan cinta untuk olahraga yang berakar pada semua orang Kroasia. Cinta untuk negara yang selalu diekspresikan saat pertandingan,” kata Jozak kepada Croatia Week.

Ucapan serupa dikatakan mantan pesepakbola Igor Stimac. Anggota skuat Kroasia di Piala Dunia 1998 itu berkata: “Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia, melalui olahraga, bahwa kami eksis. Olahragawan adalah duta terbaik bagi kami. Ini merupakan inspirasi besar untuk mewakili Kroasia. Ada banyak kebanggaan. Dengan perang dan semua yang terjadi, itu meningkatkan energi nasional. Dengan olahraga kami tidak harus mengajari anak-anak menyanyikan lagu kebangsaan untuk memunculkan rasa kebangsaan nasional,” katanya.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Zen RS